Kisah Kremasi Mayat Pria AS yang Tubuhnya Mengandung Zat Radioaktif

By Utomo Priyambodo, Kamis, 20 Mei 2021 | 07:00 WIB
Krematorium, ruang tempat kremasi mayat. (Marcin Białek/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Seorang pria di Arizona, Amerika Serikat (AS), meninggal dan mayatnya kemudian dikremasi. Kremasi adalah proses yang biasa dilakukan pada mayat-mayat di AS. Namun yang tidak biasa dari kisah mayat pria ini adalah dalam tubuhnya terkandung zat radioaktif yang berbahaya.

Kisah ini terjadi pada 2017 saat seorang pria berusia 69 tahun yang mengidap kanker pankreas pergi ke sebuah rumah sakit dengan keluhan tekanan darah rendah yang tidak normal. Dua hari kemudian, pria itu meninggal dan jenazahnya kemudian dikremasi.

Yang tidak diketahui oleh siapa pun di rumah sakit atau krematorium, adalah bahwa kunjungannya ke rumah sakit dengan keluhan darah rendah itu bukanlah satu-satunya perjalanan pria itu ke rumah sakit baru-baru ini.

Hanya sehari sebelumnya, sebenarnya, dia telah disuntik dengan senyawa radioaktif di rumah sakit lain untuk mengobati tumornya. Maka ketika jenazahnya dibakar untuk kremasi, dosis lutetium Lu 177 dotatate yang radioaktif dan berpotensi berbahaya ini masih berada di dalam tubuhnya.

Laporan kasus ini telah diterbitkan pada tahun 2019 di Journal of the American Medical Association (JAMA). Laporan kasus medis ini menggambarkan risiko tambahan yang berpotensi timbul oleh rata-rata 18,6 juta prosedur kedokteran nuklir yang melibatkan radiofarmasi yang dilakukan di AS setiap tahunnya.

Baca Juga: Takdir Bom Atom 'Ketiga' Sekutu dan Para Ilmuwan yang Jadi Korbannya

Aturan prosedur kedokteran nuklir di AS hanya mengatur bagaimana obat ini diberikan kepada pasien yang masih hidup. Namun gambarannya bisa menjadi kurang jelas ketika pasien tersebut meninggal, berkat tambal sulam dari hukum dan standar yang berbeda di setiap negara bagian. Situasi yang terjadi pada pria 69 tahun yang status radioaktifnya lolos begitu saja tersebut adalah contoh dampaknya.

"Radiofarmasi menghadirkan tantangan keamanan postmortem yang unik dan sering diabaikan," kata para peneliti dari Mayo Clinic menjelaskan dalam laporan kasus tersebut, seperti dilansir Science Alert.

"Mengkremasi pasien yang terpajan (radiofarmasi), menguapkan radiofarmasi tersebut, yang kemudian dapat dihirup oleh para pekerja (atau dilepaskan ke komunitas yang berdekatan) dan menghasilkan paparan yang lebih besar daripada dari pasien yang hidup."

Baca Juga: Sisa Radioaktif dari Uji Bom Nuklir Perang Dingin Ungkap Usia Hiu Paus

Dalam kasus di Arizona ini, setelah para dokter yang merawat pria tersebut dan departemen keamanan radiasi di rumah sakit awal mengetahui kabar kematian pria tersebut, mereka segera menghubungi pihak krematorium.

Hampir sebulan setelah kremasi dilakukan, mereka menggunakan penghitung Geiger untuk mendeteksi tingkat radiasi di dalam ruang kremasi dan peralatan-peralatan di dalamnya, termasuk oven, penyaring vakum, dan penghancur tulang.

Apa yang mereka temukan di ruang krematorium tersebut adalah tingkat radiasi yang rendah tetapi tetap tinggi dibanding di lingkungan sekitarnya. Adapun detektor radiasi pribadi spektroskopi mengidentifikasi penyebab utama tingkat radiasi itu adalah radionuklida - lutetium Lu 177, senyawa radioaktif yang sama yang digunakan untuk merawat pria yang telah meninggal tersebut.

Meskipun tidak ada bukti pasti yang secara spesifik mengaitkan dosis radiofarmasi pasien dengan tingkat radiasi yang terdeteksi di krematorium, ini jelas merupakan penjelasan yang paling mungkin tentang bagaimana tingkat jejak lutetium Lu 177 bisa ada di sana. Namun itu bukan bagian yang paling memprihatinkan dari kisah ini.

Ketika para peneliti menganalisis urine operator krematorium untuk melihat apakah karyawan tersebut juga telah terkontaminasi oleh paparan radiasi, mereka tidak dapat menemukan jejak lutetium Lu 177.

Namun, mereka menemukan sesuatu yang mengkhawatikan, yakni isotop radioaktif yang berbeda yang disebut technetium Tc 99m. Pekerja tersebut mengatakan bahwa mereka tidak pernah terpapar senyawa tersebut sebagai bagian dari prosedur pengobatan nuklir.

Baca Juga: Studi Tunjukkan Otak Astronaut Alami Kerusakan Jangka Panjang Akibat Radiasi

Karena itu, para peneliti mengatakan masuk akal bahwa operator bisa saja terpapar technetium Tc 99m yang mudah menguap saat mengkremasi jenazah manusia lainnya. Jika ini benar, kita dapat melihat masalah yang lebih luas di sini.

Mengingat lebih dari separuh orang Amerika akhirnya dikremasi, manajemen postmortem individu yang menerima obat radioaktif adalah area yang perlu ditangani oleh sistem kesehatan AS, kata para peneliti.

Manajemen yang dimaksud termasuk penerapan cara-cara yang lebih baik untuk mengevaluasi radioaktivitas pada pasien yang meninggal (sebelum mereka dikremasi), dan juga cara-cara standar untuk memberi tahu krematorium tentang klien mereka.