Nationalgeographic.co.id - Monyet ekor babi adalah primata langka Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia. Kini, kondisi mereka tergerus oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit yang membuatnya kadang berkonflik dengan petani, karena dianggap hama dengan merusak buahnya.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti Malaysia dan Jerman, monyet ekor babi sebetulnya punya manfaat untuk mengontrol tikus yang menjadi hama utama perkebunan sawit. Tetapi karena lingkungan berubah, perilaku sosial mereka turut berubah.
Temuan itu mereka publikasikan dalam Scientific Reports yang terbit 14 Mei lalu. Studi ini berfokus pada interaksi agresif, perilaku yang menunjukkan hubungan seperti perawatan dan permainan sosial remaja, jejaring sosial dalam kelompok, dan hubungan induk dengan bayinya.
Mereka melakukan pengamatan selama beberapa bulan pada 50 individu dari dua kelompok sosial monyet ekor babi (Macaca nemestrina) di Segari, Malaysia.
“Kami, di sisi lain, ingin melihat bagaimana habitat yang berbeda, termasuk habitat yang sangat dimodifikasi secara antropogenik seperti perkebunan kelapa sawit, mempengaruhi perilaku sosial kera,” kata Anna Holzner, penulis pertama studi University of Leipzig dalam rilis.
"Untuk sebagian besar spesies primata, interaksi sosial dalam kelompok sangat penting untuk berhasil bertahan hidup dalam kelompok sosial yang besar dan kompleks di habitat alami mereka."
Para peneliti memaparkan bahwa setiap harinya dua kelompok ini berpindah selama tiga jam, dari hutan ke perkebunan. Padahal hutan tropis yang memiliki vegetasi harusnya menjadi pelindung mereka, berbeda dengan kondisi perkebunan kelapa sawit di tepinya yang berbahaya.
Kedua lokasi memiliki banyak makanan seperti buah kelapa sawit dan tikus, tetapi juga meningkatkan potensi konglik dengan manusia. Meski demikian di tepi perkebunan memberikan peluang jalur aman bagi monyet ekor babi untuk mundur ke hutan terdekat jika terancam.
Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan
Makanan itu diperoleh dari perkebunan sawit, dan lokasi ini dijadikan sumber makanan tambahan mereka. Perilaku mereka di perkebunan, maupun di tepinya, menghabiskan sekitar dua per tiga waktunya untuk makan dan mencari makanan.
Namun perubahan ini bukan hanya dipicu aktivitas makan monyet ekor babi yang meningkat di perkebunan. Melainkan, perkebunan sangat berperan dalam lingkungan. Lingkungan yang tak seperti hutan tropis menawarkan sedikit perlindungan bagi mereka, dan membuatnya berada dalam tekanan.
Pada gilirannya, dapat memicu peningkatan agresi mereka kepada manusia dan perkebunan itu sendiri, tulis para ilmuwan.
Selain itu pola perilaku sosial monyet lainnya juga nampak dalam pengamatan. Monyet ekor babi ketika memasuki areal perkebunan ikatan interaksi sesamanya jadi berkurang.
"Bahkan selama periode yang tidak digunakan untuk mencari makan, monyet-monyet di sana hampir tidak menunjukkan perilaku saling merawat atau bermain," papar Holzner.
Alasannya, karena perkebunan yang membahayakan mereka, para monyet harus mewaspadai ancaman-ancaman yang ada. Kemungkinan mereka bisa bertemu dengan predator potensial seperti manusia dan anjing liar di perkebunan, berbeda signifikan dengan kondisi aman di hutan.
Sebagai tindakan waspada, mereka akan berkompormi dengan perilaku sosial mereka yang semestinya, dan mengubah interkasi sosialnya yang memakan waktu untuk kembali ke hutan.
"Yang mengejutkan kami adalah frekuensi saling merawat hampir tiga kali lebih tinggi di tepi perkebunan daripada di hutan," kata Anja Widdig, salah satu penulis makalah.
Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas
"Kami menduga bahwa ini setidaknya salah satu alasan peningkatan investasi dalam interaksi sosial di tepi perkebunan. Terutama sebelum atau segera setelah mengunjungi lingkungan perkebunan yang penuh tekanan dan kompetitif, pengurangan stres akan menjadi sangat penting bagi hewan."
Perilaku sosial mereka pun jauh berdampak antara hubungan induk dan bayinya. Peneliti menemukan, di perkebunan maupun di tepi, para induk lebih banyak menjaga kontak tubuh dengan anak-anaknya. Hal ini berimplikasi untuk perkembangan anak-anaknya.
"Jika perkembangan keturunan tertunda, maka induk harus menginvestasikan lebih banyak waktu dan energi, yang pada gilirannya dapat memperpanjang rentang waktu antar-kelahiran," papar Holzner.
"Justru kelangsungan hidup spesies yang populasinya sudah terancam, makin terancam di masa depan yang berakibat jangka panjang."
Baca Juga: Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan