Tatanan kepemerintahan Soeharto memanfaatkan Golkar (Golongan Karya) yang pada masanya bukan sebagai partai politik. Golkar, sesuai namanya, hanyalah golongan untuk menampung gagasan dan aspirasi masyarakat, yang kemudian dijadikan alat bagi Soeharto
Reeves menjelaskan lebih lanjut dalam webinar Evolusi Golkar dan Seabad Soeharto yang diadakan Karavan Cendikia dan Komunitas Bambu, Selasa (08/05/2021).
"Golkar adalah alat, Suhato bukan pendirinya dan penciptanya, Soeharto tidak begitu tertarik dengan konsep awal yang dicetuskan Supomo, Sukarno, dan lainnya," ujarnya.
"Mungkin tidak begitu dihargainya. Saya untuk makan punya sendok garpu dan pisau. Saya kalau punya museum tidak akan memasukannya ke dalam museum. Bagi Soeharto golkar adalah alat, jadi tidak begitu penting untuk diingat," tambahnya.
Baca Juga: Patahnya Palu Sidang dan Firasat Harmoko Mengenai Kejatuhan Soeharto
Golkar sendiri pada awalnya berdiri berkat pemikiran beberapa intelektual yang tidak menyukai sistem partai. Beberapa tokoh itu antara lain Sukarno, Ki Hajar Dewantara, dan A.H Nasution. Bahkan pada 1945, Supomo yang menciptakan konsep UUD tak menyebutkan partai melainkan golongan sebagai perwakilan rakyat.
Pada 1950-an, Sukarno mencetuskan konsep itu tentang golongan fungsionil atau golongan karya, untuk melemahkan partai-partai yang terbentuk sejak awal revolusi kemerdekaan. Tetapi TNI AD--dibawah AH Nasution,dengan cepat membangun organisasi-organisasi yang dipikirkan Sukarno.
"Untuk membela dirinya, Sukarno kembali pada partai-partai dengan konsep NASAKOM yang mengesahkan kembali sistem partai di Indonesia. Anehnya dia yang anti-partai berubah jadi pro partai," terang Reeves.
Baca Juga: Kudeta Militer hingga Parpol, Mengapa Banyak Orang Haus Kekuasaan?