Menurut putra bungsu Abdullah, Murad Aidit, ayahnya kemudian terbang ke Belitung atas bantuan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh. Namun ia jatuh sakit selama tinggal tiga tahun di sana. Ia akhirnya meninggal dan jenazahnya membusuk tiga hari karena rumahnya kosong. Istri keduanya, Marisah tengah menginap di rumah saudara dan tetangga sekitar jarang ke rumah itu karena takut terkena getah peristiwa 30 September.
Setelah beberapa hari setelah Basri Aidit, Adik D.N Aidit, pindah kerja ke kantor Central Comittee PKI di Kramat, Jakarta Pusat dari pegawai di kantor Dinas Pekerjaan Umum Tanah Abang, peristiwa 30 September meletus.
Sehari setelah kejadian itu ia dibekuk bersama sejumlah anggota PKI lainnya. Ia ditahan di penjara Kramat, kemudian pada 1969 dibuang ke Pulau Buru. Anak istrinya menjual habis barang di rumah untuk bertahan hidup selama Basri di penjara. Setelah semua ludes, hidup mereka bergantung kepada bantuan saudara, kenalan, dan teman.
Basri keluar dari Buru pada 1980 atas bantuan keluarganya di Belitung. Dia pun membeli rumah di Bogor dan berkebun sambil mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak tetangga. Saat meninggal dunia, ia hanya mewariskan Rp2,5 juta kepada anak cucunya.
Murad Aidit bernasib seperti saudaranya yang lain. Ia datang ke Jakarta setelah tamat sekolah menengah zaman Belanda dan ikut Aidit sejak remaja. Murad banyak mengenal teman Aidit di Menteng 31, asrama mahasiswa saat itu.
Pada peristiwa 30 September ia menginap di rumah Aidit sebelum pergi dengan tiga orang tentara yang menjemputnya. Aidit hanya memberikan pesan singkat kepada Murad. "Matikan lampu depan."