Studi: Bangun Tidur Satu Jam Lebih Pagi Bisa Kurangi Risiko Depresi

By Utomo Priyambodo, Kamis, 10 Juni 2021 | 19:30 WIB
Ilustrasi bangun tidur (Lutfi Fauziah)

"Kami telah mengetahui untuk beberapa waktu bahwa ada hubungan antara waktu tidur dan suasana hati, tetapi pertanyaan yang sering kami dengar dari dokter adalah: Seberapa awal kita perlu mengubah orang untuk melihat manfaatnya?" kata penulis senior Celine Vetter, asisten profesor fisiologi integratif di CU Boulder.

"Kami menemukan bahwa waktu tidur satu jam lebih awal dikaitkan dengan risiko depresi yang jauh lebih rendah," ujar Vetter lagi seperti dilansir oleh Science Daily.

Studi observasional sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang yang suka tidur di malam hari dua kali lebih mungkin menderita depresi daripada yang bangun pagi—terlepas dari berapa lama mereka tidur. Namun, karena gangguan mood dapat mengganggu pola tidur, para peneliti mengalami kesulitan untuk menguraikan apa penyebabnya.

Baca Juga: Ilmuwan Temukan Cara Komunikasi Lewat Mimpi dengan Orang yang Tidur

Sulit bangun pagi berkaitan dengan gen yang ada di dalam tubuh kita. Apakah mereka yang memiliki varian genetik yang membuat mereka bangun pagi juga memiliki risiko depresi yang lebih rendah? Jawabannya adalah tegas: Ya! (SaraBerdon/Getty Images/iStockphoto)

Penelitian-penelitian lainnya memiliki ukuran sampel yang kecil, mengandalkan kuesioner dari satu titik waktu. Atau, tidak memperhitungkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi waktu tidur dan suasana hati. Hasil dari penelitian-penelitian semacam itu tentu berpotensi membingungkan.

Pada 2018, Vetter menerbitkan sebuah studi jangka panjang yang besar terhadap 32.000 perawat yang menunjukkan bahwa "orang-orang yang bangun pagi" memiliki kemungkinan 27 persen lebih kecil untuk mengalami depresi selama empat tahun. Namun hasil studi tersebut menimbulkan pertanyaan: Apa artinya menjadi orang yang bangun pagi?

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas apakah mengubah waktu tidur lebih awal benar-benar melindungi, dan berapa banyak perubahan yang diperlukan, penulis utama Iyas Daghlas, M.D., beralih ke data dari perusahaan pengujian DNA 23 and Me dan database biomedis UK Biobank. Daghlas kemudian menggunakan metode yang disebut "pengacakan Mendelian" yang memanfaatkan asosiasi genetik untuk membantu menguraikan sebab dan akibat.

"Genetik kita ditetapkan sejak lahir sehingga beberapa bias yang mempengaruhi jenis penelitian epidemiologi lainnya cenderung tidak mempengaruhi studi genetik," kata Daghlas, yang lulus pada Mei dari Harvard Medical School.

Baca Juga: Teori Baru Ini Ungkap Cara Memunculkan Mimpi Saat Kita Tidur