Nationalgeographic.co.id—Menurut data dari All-China Women's Federation, organisasi perempuan terbesar di Tiongkok, sekitar satu dari empat perempuan di negara tersebut pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika jumlah kasus KDRT yang mereka ketahui dibagi dengan rentang waktu kasus-kasus itu terjadi, setiap 7,4 detik sekali ternyata ada perempuan di negara terpadat di dunia itu yang mengalami KDRT?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Kenapa tingkat KDRT terhadap perempuan di Tiongkok sangat tinggi?
Sebuah laporan dari Channel News Asia (CNA) mengungkapkan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan tingkat KDRT terhadap perempuan di Tiongkok bisa itu sangat tinggi. Faktor pertama adalah budaya patriarki yang begitu kuat di negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia itu.
Pada dasarnya Tiongkok tetap merupakan masyarakat tradisional yang menghargai keharmonisan dalam rumah tangga yang muncul dari patriarki Konfusianisme. Dan di beberapa daerah, pemukulan istri adalah simbol “kekuatan patriarki”, kata Ma Sainan, kepala pengacara yang menangani kasus pernikahan dan keluarga di Firma Hukum Jiali.
“(Beberapa pria) tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan bahkan mungkin bangga karenanya," ujar Ma seperti dilansir CNA.
Banyak perempuan mengalami lebih dari 30 episode kekerasan sebelum mereka mencari bantuan atau pergi ke polisi, kata Lin Shuang, seorang sukarelawan anti kekerasan dalam rumah tangga di Shanghai selama delapan tahun. Bahkan setelah bercerai atau meninggalkan pelakunya, beberapa korban tidak dapat membebaskan diri.
Baca Juga: Perkembangan Otak Anak yang Pernah Dipukul Mirip Otak Korban Pelecehan
Pada bulan September lalu Lamu Douyin, seorang vlogger berusia 30 tahun dari provinsi Sichuan, disiram dengan bensin dan dibakar oleh mantan suaminya saat dia melakukan streaming langsung di rumah. Kematian Lamu, setelah dia menderita luka bakar 90 persen, memicu kemarahan publik.
Meskipun proporsi korban yang lebih tinggi berada di daerah pedesaan, kekerasan dalam rumah tangga sangat banyak terjadi di kota-kota. Namun, para pelaku kekerasan mungkin lebih “rahasia” untuk tetap tampil “glamor” di depan tetangga dan rekan-reka kerja mereka, kata Ma.
Penduduk Shanghai bernama Wei La (bukan nama sebenarnya), seorang pengusaha sukses, mengatakan bagaimana pria "berjiwa sensitif" yang ia temui pada tahun 2019 dengan cepat berubah menjadi pria yang manipulatif. Suatu malam ketika dia terlambat beberapa menit tiba di rumahnya, kecurigaan si suami tentang keberadaannya berubah menjadi kekerasan. Dia menghujani kepalanya dengan pukulan, menendang perutnya, dan duduk di atasnya.
"Saya merasa seperti akan mati," katanya.
Ketika dia mengambil kesempatan untuk kabur dari rumah, si suami mengejarnya dan menariknya keluar dari taksi. Dia berhasil sampai ke tempat temannya setelah ada pasangan di jalan berhenti untuk membantunya.
Sang suami melecehkannya dan mengancam akan menyakiti keluarganya dan membuat keributan di perusahaannya. “Teman saya bertanya mengapa saya tidak meninggalkannya, dan saya tidak punya apa-apa untuk dikatakan,” katanya.
“Bukannya aku tidak ingin meninggalkannya, tapi dia seperti permen karet. Bahkan setelah Anda merobeknya, masih ada sisa-sisanya.”
Faktor kedua tingginya KDRT di Tiongkok adalah kesenjangan hukum. Pihak berwenang telah mengambil langkah-langkah dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, tetapi para aktivis mengatakan kesenjangan hukum terkait itu masih ada.
Baca Juga: Cerita Kejam Keluarga Kanibal dan Inses Sawney Bean Berjumlah 48 Orang
Sekitar 157.000 wanita di Tiongkok melakukan bunuh diri per tahun. Dan dalam sebuah studi tahun 2016 oleh All-China Women's Federation, 60 persen dari kasus tersebut terkait dengan kekerasan dalam keluarga.
Tahun itu, pemerintah memperkenalkan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang memungkinkan para korban mendapatkan perintah perlindungan terhadap pelaku kekerasan mereka. Media pemerintah melaporkan bahwa pengaduan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang disampaikan kepada federasi perempuan menurun sebesar 8,4 persen pada 2019 dibandingkan 2018. Tetapi para pengamat mengatakan ini bukan gambaran lengkapnya.
“Bila terjadi kerugian yang sangat berat, hakim tetap mempertimbangkan konflik keluarga sebagai faktor yang meringankan untuk hukuman yang lebih ringan,” kata Ma, yang merasa bahwa hukum tidak berjalan cukup jauh.
“Sulit dimengerti. Jika Anda memukul seseorang di jalan, Anda mungkin menghadapi hukuman penjara tiga sampai tujuh tahun. Namun, untuk kekerasan dalam lingkungan keluarga, seseorang mungkin hanya mendapatkan tiga tahun, dan hampir tidak pernah sampai tujuh tahun.”
Beberapa petugas polisi juga dianggap tidak cukup terlatih untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya, mereka mungkin memberi tahu korban bahwa luka mereka "terlalu kecil", kata Lin. Menurutnya, korban harus melakukan “banyak pekerjaan” setelah melapor ke polisi, seperti mengumpulkan bukti dan mendokumentasikan luka-lukanya.
Saat ini memang ada lebih banyak korban yang mau menghubungi hotline polisi. Dan undang-undang mengharuskan semua telepon itu diterima, kata Feng Yuan, salah satu pendiri Equality, organisasi non-pemerintah yang bergerak di isu hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di Beijing.
“Tapi apa masalahnya sekarang? Telepon tidak ditanggapi dengan benar. Ketika polisi mendengar bahwa itu adalah masalah keluarga, mereka hanya akan memberi Anda beberapa nasihat biasa," katanya.
“Atau bahkan ketika mereka mendengar bahwa itu adalah kekerasan dalam rumah tangga, mereka hanya menganggapnya sebagai masalah keluarga dan tidak menanganinya dengan baik.”