Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka

By Agni Malagina, Minggu, 13 Juni 2021 | 16:00 WIB
Klenteng Tien Shang Miao atau Vihara Akar. Diba­ngun pada tahun 1811 oleh kapitan Senggarang Chiao Chen sebagai tempat tinggalnya. Senggarang pada abad 18-19 merupakan pusat penanaman gambir dan lada di Kepulauan Riau. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

 

Pada awal abad ke-19 antara 1830 sampai 1850, gambir pun mendunia. Dalam buku A General History of The Chinese in Singapore (2019) disebutkan bahwa Inggris tercatat sebagai pengimpor gambir terbesar mulai 1849. Saat itu gambir digunakan sebagai penyamak kulit. Singapura menjadi simpul perdagangan terbesar sebelum dipasarkan Eropa. Singapura melakukan impor gambir dalam jumlah besar dari Bintan.

Bintan pernah terkenal sebagai tempat Sultan Mahmud memindahkan kekuasaannya ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Bintan, yang terletak di Selat Singapura atau Selat Riau, merupakan nama legendaris yang tercatat dalam kronik beberapa pejalan seperti Marco Polo dan Ibn Said, setidaknya sejak abad ke-13. Bahkan Marco Polo menyebut Bintan dengan julukan ‘Pasar Rempah’. Demikian juga Bintan tercatat dalam kronik Cina abad ke-14 sampai abad ke-19. Bintan sendiri telah memiliki hubungan tributial pada masa Dinasti Yuan (1259–1368). Tanjungpinang menjadi titik ramai pelabuhan antarbangsa perdagangan rempah.

Menurut tutur warga lokal, nama Tanjungpinang diambil dari posisi yang menjorok ke laut, yang banyak ditumbuhi sejenis pohon pinang. Pohon yang berada di tanjung itu menjadi petunjuk bagi pelayar yang akan memasuki Sungai Bintan.

Kota ini merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan. Di sinilah kesibukan Kerajaan Bentan dan pusat kebudayaan Melayu, serta lalu lintas perdagangan. Tanjungpinang tidak terlepas dari Kerajaan Melayu Johor–Riau.

Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Tanjungpinang merupakan tilas Kerajaan Melayu Riau Lingga nan masyur di Pulau Bintan. Tidak lengkap rasanya, jika kita tidak me­ngun­jungi kawasan pecinan di wilayah ko­tanya dan Pulau Senggarang.

Senggarang merupakan permukiman tua yang dibangun oleh komunitas Cina suku Teociu mulai awal abad ke-18, sekitar 1722. Ketika itu penguasa Kerajaan Melayu di Kepulauan Riau mulai membuka lahan perkebunan gambir. Yang Dipertuan Muda Daeng Celak, seorang keturunan Bugis, mengundang dan mendatangkan orang Cina ke Senggarang dan memberikan mereka lahan untuk bermukim. Setelah itu, Kompeni mendatangkan orang Cina ke Senggarang secara besar-besar­an untuk membuka per­kebunan gambir.

Pecinan ini berada di seberang kota Tanjungpinang, yang sekarang meru­pakan Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau sejak 1958. Sebelumnya, pecinan ini merupakan Ibu kota Provinsi Riau yang kini Ibu kotanya telah pindah ke Pekanbaru, Riau daratan.