Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka

By Agni Malagina, Minggu, 13 Juni 2021 | 16:00 WIB
Klenteng Tien Shang Miao atau Vihara Akar. Diba­ngun pada tahun 1811 oleh kapitan Senggarang Chiao Chen sebagai tempat tinggalnya. Senggarang pada abad 18-19 merupakan pusat penanaman gambir dan lada di Kepulauan Riau. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Bintan dan Riau, bukan nama asing dalam perjalanan sejarah masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Ketiganya sukses membawa area Strait Settlement, yang sekarang sering disebut Singapura, Johor, Riau (kini sohor dengan sebutan Sijori) pada konstelasi wilayah bersama sejak abad ke-8 sampai awal abad ke-16.

Bintan, nama kuno yang tak dimung­kiri tercatat dalam kronik Sejarah Dinasti Yuan (Yuan Shi tahun 1274 bulan 2) bab ke-28 tertulis: “Pada hari ulang tahun kaisar, Bin(g) Tan dan negara lainnya datang untuk memberi penghormatan.”

Bin(g) Tan mengacu pada Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Nama lain Bintan yang tercatat dalam kronik Cina Shun Feng Xiang Song (1403-1424), Zhi Nan Zheng Fa (1405 – 1433), dan Dong Xi Yang Kao (1618) adalah Luo Han Yu (Pulau Luo Han). Bintan tak lepas dengan Kesultanan Melayu Riau Lingga. Tidak kalah tua dengan nama Bintan, nama Lingga pun tercatat dalam naskah kun0 Cina Zhi Nan Zhi (1304), Dong Xi Yang Kao, Shun Feng Xiang Song, Zhen Nan Zheng Fa, dan Yingyai Shenglan karya Mahuan (1433) dengan nama Long Ya Men (Gerbang Gigi Naga).

Willem Pieter Groeneveldt dalam bukunya Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources menjelaskan bahwa nama Long Ya Men terletak di sebelah barat daya Palembang. Di daerah itu terdapat dua gunung (bukit tinggi) saling berhadapan seperti gigi naga. Kapal-kapal akan melewati di antara keduanya.

Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara

Batik Lasem terkenal dengan warna merah ‘darah ayam’. Dahulu, gambir (Uncaria gambir roxb atau terra Japonica) dari Kepulauan Riau digunakan sebagai penguat warna sekaligus pewarna untuk batik bernuansa merah dan soga. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Imigran Cina mulai menghuni Kepulauan Riau pada awal abad ke-18. Mereka adalah suku Teochiu yang dibawa oleh VOC sekitar 1734-1740. Tujuannya, untuk membuka perkebunan gambir. Saat itu Bintan (di Tanjungpinang) merupakan bandar besar tempat pertukaran beras dan gambir dari Jawa. Pulau ini juga tempat berlabuh kapal-kapal internasional. Akhirnya, perdagangan gambir dikuasai oleh keluarga bangsawan Riau Lingga dan peng­usaha Cina.

Di Tanjungpinang pun pernah terdapat beberapa gudang gambir berskala besar yang terletak di pesisir kota. Letaknya yang berdekatan dengan laut menjadikan gudang-gudang ini mudah diakses melalui laut untuk pemasaran internasional.

Namun, pada awal abad ke-20, permintaan dunia akan gambir menurun. Akibatnya, perkebunan gambir yang sempat menyebar luas ke daratan Pulau Sumatra pun tak lagi marak.

Saat ini gambir Indonesia dinobatkan sebagai gambir berkualitas terbaik di dunia. Kita memasok 80 persen kebutuhan gambir dunia. Terlebih kini gambir kembali berperan sebagai isian dalam aneka produk kese­hatan seperti obat untuk jerawat, luka bakar, sampai diare.   Demikian pula gambir mulai harum namanya pada kalangan pengguna warna alami yang mendukung keberlanjutan lingkungan.