Nationalgeographic.co.id - Perkembangan wawasan mengungkap misteri migrasi manusia ke Amerika lewat Siberia terus berlanjut. Para ilmuwan memperkuat pengetahuan itu lewat studi DNA yang luput dari sebelumnya: bakteri usus.
Bagaimana bisa bakteri usus menjelaskan teori migrasi itu? Kelompok penelitian dari berbagai negara itu, lewat laporan PNAS Juni 2021, mengungkap bakteri Helicobacter pylori telah hidup di perut manusia bersama evolusi dan migrasinya dalam 100.000 tahun terakhir.
Bakteri yang menjadi penyebab sakit maag itu bahkan menemani kita sejak migrasi keluar dari Afrika menuju benua-benua lainnya, tak terkecuali ke Amerika.
Temuan ini menambahkan lebih banyak detil pada catatan fosil yang tidak lengkap terkait bagaimana dan sejak kapan manusia bermigrasi ke Amerika lewat Siberia. Mereka mengungkapkannya lewat rekonstruksi perjalanan evolusi H. pylori yang hidup di dalam perut manusia purba.
Lewat rekonstruksi itu, para peneliti mengungkap bahwa orang-orang Siberia di masa lalu mengalami cuaca terburuk dari zaman es terakhir. Akibatnya, mereka yang membawa bakteri itu bermigrasi.
Yoshan Moodley bersama tim menulis, fokus penelitian ini juga membantu mengungkap rute migrasi itu antara jembatan es atau jalur besar pesisir yang tenggelam. Kemudian apakah saat gletser trans-Siberia mencair, atau mereka tiba lebih awal.
Karena studi yang dilakukan berdasarkan genomik DNA manusia pubra, mereka akui bahwa temuan fosil yang diawetkan dan sulit ditemukan. Cara inilah yang membuat mereka harus menelusuri langkah lambat dalam evolusi manusia, tetapi dapat memberi informasi begitu banyak.
Petunjuk sejarah kemudian terjawab lewat urutan DNA bakteri yang ada dalam tubuh manusia hingga kini. Moodley dan tim menulis, sampel yang digunakan adalah 550 galur H. pylori yang berbeda dari 16 etnis dan berbagai kelompok bahasa tradisional yang kini tinggal di Siberia dan Mongolia.
Baca Juga: Temuan Arkeologis Anjing Jadi Bukti Jejak Migrasi Manusia ke Amerika
Lebih dari separuh populasi dunia saat ini terinfeksi H. pylori, tetapi sedikit yang diketahui tentang keberadaan atau keragaman kutu usus di daerah terpencil ini.
"Keragaman keluarga bahasa yang digunakan di wilayah tersebut yang menandakan sejarah migrasi dan isolasi yang kompleks," tulis para ilmuwan.
"Pola keragaman manusia di antara kelompok etnis ini juga sebagian besar belum dipelajari," tambah mereka.
Sebagai bakteri, H. pylori bereplikasi sangat cepat di usus manusia, berkembang sedikit seiring berjalannya waktu. Ini menjadikannya penanda migrasi manusia yang berguna, karena perbandingan strain yang berbeda dapat mengungkapkan bagaimana beragam kelompok orang di seluruh dunia sebenarnya terkait.
Moodley dan tim merekonstruksi sejarah evolusi sampel H. pylori di Siberia dan di Amerika, kemudian memodelkan bagaimana manusia bersama bakteri yang menurun itu mungkin bermigrasi melintasi belahan benua.
Karena orang-orang di kawasan Siberia berbagi H. pylori dengan orang-orang di Amerika Utara, ini menunjukkan bahwa memungkinkan bila peristiwa migrasi terjadi pada 12.000 tahun yang lalu, tulis mereka.
Namun, mereka juga megklaim dalam makalahnya, bukti arkeologi yang meningkat bersama peninggalan kuno dan genetik ini menunjukkan migrasi bisa mungkin jauh lebih awal. Mereka memperkirakan rentang terjauh itu pada 23.000--13.000 tahun yang lalu.
Tetapi dalam perdebatan dengan penelitian lain adalah apakah orang yang pertama kali muncul di Siberia pada 45.000 tahun yang lalui bertahan saat zaman es terakhir yang ekstrim? Atau mereka harus mundur lebih jauh ke selatan seperti Manchuria, Mongolia, dan Tiongkok?
Baca Juga: Rumah Tertua dalam Sejarah Manusia Ditemukan, Usianya Dua Juta Tahun
Hal itu menambah teka-teki tentang rute yang dipilih. Sebab selama masa maksimum glasial terakhir, lapisan es menutup seperempat luas darat Bumi dan sepertiga Alaska. Tentunya mempengaruhi batas laut dan menciptakan jembatan yang membentang di Laut Bering dari Rusia ke Alaska.
Sebagai jawabannya, sekaligus hasil identifikasi varian campuran H. pylori di seluruh wilayah Siberia dan Mongolia, mereka mengungkap bahwa populasi yang terisolasi tinggal di Siberia tengah atau selatan.
Kemungkinan mereka begabung kembali dalam kelompok besar manusia di belahan utara saat cuaca menghangat di masa itu, sekitar 12.000 tahun yang lalu.
Baca Juga: Kabar Paul Salopek, Jurnalis yang Susuri Jejak Jalur Migrasi Manusia