Teori Kognisi Komplementer, Rantai Pelengkap Teka-teki Evolusi Manusia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 21 Juni 2021 | 18:00 WIB
Ilustrasi manusia purba (1971yes/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Kajian terkait teka-teki evolusi leluhur manusia terus berlanjut. Sebelumnya, dilaporkan bahwa selain gen, budayalah yang sangat berkontribusi bagi manusia untuk berevolusi.

Kini, para ilmuwan dari University of Cambridge mengusulkan teori baru bahwa ada kemampuan kognitif yang berevolusi dalam upaya beradaptasi nenek moyang kita. Mereka menulisnya sebagai "Kognisi Komplementer", dalam makalah yang terbitkan, Rabu (16/06/2021) di Cambridge Archaeological Journal.

"Sistem kognisi komplementer ini berfungsi dengan cara yang mirip dengan evolusi pada tingkat genetik tetapi alih-alih mendasari adaptasi fisik, mungkin mendasari kemampuan besar spesies kita untuk menciptakan adaptasi perilaku, budaya dan teknologi," kata Helen Taylor, penulis utama studi dalam rilis.

 

"Ini memberikan wawasan tentang evolusi adaptasi manusia yang unik seperti bahasa yang menunjukkan bahwa ini berevolusi seiring dengan spesialisasi dalam kognisi manusia."

Kongnisi komplementer dapat menjadi alasan mengenai tingkat adaptasi budaya yang luar biasa dalam spesies kita, dan membantu bagaimana munculnya bahasa.

Bahasa dapat dilihat sebagai cara berkembang yang baik sebagai sarana mewadahi pencarian kooperatif dan sebagai mekanisme pewarisan agar dapat berbagi hasil yang lebih kompleks dari pencarian kognitif komplementer. Bahasa dipandang sebagai bagian integral dalam sistem itu.

Lantaran, teori ini berasumsi manusia secara kooperatif beradaptasi dan berevolusi secara budaya. Semua dilakukan berkat sistem pencarian kognitif kolektif, di samping pencarian genetik yang memungkinkan adaptasi fenotipik. 

 

Baca Juga: Charles Darwin Ungkap Bagaimana 'Kecantikan' Dapat Terbentuk

Ilustrasi ini dibuat tahun 1870, menggambarkan manusia purba menggunakan tongkat kayu dan kapak batu yang menggambarkan kinerja kognitif pelengkapnya untuk seleksi alam. (Citra Anastasia)

Hal itu senada dengan teori evolusi Darwin terkait seleksi alam dapat ditafsirkan sebagai proses 'pencarian'. Selain itu kemampuan sistem juga memungkinkan pencarian kognitif yang memungkinkan adaptasi perilaku.

Taylor menjelaskan, "Masing-masing sistem pencarian ini pada dasarnya adalah cara beradaptasi menggunakan gabungan yang membangun dan mengesploitasi solusi di masa lampau dan mengeskplorasi untuk meperbaruinya."

Dia juga mengungkapkan, "Ini adalah studi pertama untuk mengeksplorasi gagasan bahwa anggota individu spesies kita secara neurokognitif terspesialisasi dalam strategi pencarian kognitif komplementer."

 

Taylor menjelaskan bahwa temuannya bersama tim menyatukan pengamatan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Menunjukkan, kalau pandangan-pandangan ilmiah iini memiliki fenomena mendasar yang sama.

"Misalnya, suatu bentuk kognisi yang saat ini dipandang sebagai gangguan, disleksia, terbukti menjadi spesialisasi neurokognitif yang sifatnya memprediksi bahwa spesies kita berevolusi dalam lingkungan yang sangat bervariasi," ia berpendapat.

"Ini sependapat dengan kesimpulan banyak lainnya terkait disiplin ilmu, termasuk bukti paleoarkeologi yang menegaskan bahwa wadah evolusi spesies kita sangat bervariasi."

Baca Juga: Kajian Baru: Budaya Lebih Berperan dalam Evolusi Manusia daripada Gen

 Meski kognisi komplementer telah memungkinkan manusia untuk beradaptasi, di sisi lain para ilmuwan berpendapat hal itu menjadi merupakan kerentanan spesies kita.

"Tantangan [manusia] untuk berkolaborasi dan beradaptasi secara kooperatif dalam skala besar menciptakan banyak kesulitan dan kita mungkin tanpa disadari telah menerapkan sejumlah sistem dan praktik budaya, khususnya dalam pendidikan, yang melemahkan kemampuan kita beradaptasi," tambah Taylor.

"Keterbatasan yang dipaksakan sendiri ini mengganggu kemampuan pencarian kognitif komplementer kita dan dapat membatasi kapasitas kita untuk menemukan dan bertindak berdasarkan solusi inovatif dan kreatif."