"Namun pada awal abad ke-19, jumlah Tionghoa di Pulau Timor [masih] sangat sedikit," kata Kammen. Dalam catatannya, diperkirakan hanya ada 300 orang Cina di wilayah Timor Belanda dan 100 orang di Timor Portugis, yang separuhnya tinggal di Dili.
"Sebagian adalah penduduk penutur bahasa Hokkian, [sementara] ada juga penutur bahasa Hakka," kata Kammen. Orang Hakka di Timor berasal dari dua tempat, yakni Jiayingzhou (sekarang Meixian) dan Kanton (sekarang Guangdong).
Meskipun jumlahnya terbilang sedikit, orang-orang Cina Timor cukup memiliki solidaritas satu sama lain. Hal ini terlihat dengan keberadaan kelenteng. "Di akhir abad ke-19, sudah ada sebuah kelenteng Tionghoa di kota Dili, yang dibuat untuk Dewa Mazu," kata Kammen. Selain kelenteng, terdapat pula kuburan Tionghoa di Kupang dan Dili.
Baca Juga: Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor
Akan tetapi, angka populasi ini mulai meningkat pesat pada tahun 1911. Revolusi 1911 yang menggulingkan Dinasti Qing berdampak pada gelombang migrasi besar-besaran, salah satunya ke Timor. Populasi Cina yang sebelumnya hanya berkisar 534 orang pada sensus 1907 meningkat menjadi 2.587 orang pada tahun 1935.
Gerakan republikan di Tiongkok yang menggaungkan modernitas juga menular ke orang-orang Cina Timor. "Beberapa tahun setelah Revolusi 1911, seorang pemimpin komunitas Hakka di Dili memutuskan menghancurkan Kelenteng Mazu," ungkap Kammen. Kelenteng ini kemudian diganti dengan sekolah bernama Zhonghua. "Alasannya adalah sebagai orang modern, dia dan teman-teman komunitas Hakka ingin memberantas mitos-mitos di kalangan [Cina Timor]," jelasnya.