Jejak Cina Timor: Dari Cendana, Kuomintang, Hingga Masa Kini

By Eric Taher, Rabu, 23 Juni 2021 | 22:20 WIB
Keluarga Bitin Berek di Desa Jenilu, Atapupu, Atambua merupakan salah satu keturunan Cina Timor yang masih merayakan Imlek (saja) setiap tahunnya dengan tradisi Katolik Timor. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Diaspora orang Tionghoa ternyata juga terdapat di Pulau Timor. Kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota pesisir utara, baik di Timor Barat maupun di Timor Leste. Mereka menyebut diri mereka "Cina Timor", yang menandakan warisan keturunan mereka dari masa ke masa.

Cerita mengenai Cina Timor menjadi topik yang dibahas dalam webinar bertajuk Keliling Indonesia Yuk! Cina Timor yang diselenggarakan oleh Roemah Bhinneka pada 21 Juni 2021. Webinar ini menghadirkan Douglas Kammen, profesor sejarah dari National University of Singapore, untuk membedah bukunya yang berjudul Cina Timor: Baba, Hakka and Cantonese in the Making of Timor.

Menurut Kammen, kedatangan orang Cina ke Timor dapat ditelusuri dari perdagangan kayu cendana di masa lalu. "Pulau Timor dikenal sebagai salah satu sumber terbaik kayu cendana sejak abad ke-13 atau 14," jelasnya, "Pedagang dari Sulawesi, Jawa, maupun Malaka sempat memperdagangkan kayu cendana dari pulau Timor, salah satunya kepada Cina." 

 

Pernyataan Kammen selaras dengan jurnal ilmiah yang ditulis Roderich Ptak pada tahun 1983. "[Timor] pertama kali disebut tahun 1250 dalam tulisan Chu-Pan Chih (Zhu Fan Zhi), dengan nama Ti-wu dan Ti-men," jelas Ptak dalam tulisan bertajuk Some References to Timor in Old Chinese Records. Zhu Fan Zhi adalah karya dari Zhao Rukuo, pejabat dan sejarawan Dinasti Song. Ptak melanjutkan, bahwa Zhu Fan Zhi juga "memiliki catatan tentang keberadaan cendana di Timor".

Di Timor, orang Cina membeli cendana dan menukarkannya dengan porselen, perak, dan kain sutra. Oleh orang Cina, cendana digunakan sebagai bahan baku pembuatan dupa untuk ibadah. Selain itu, cendana juga dapat disuling menjadi minyak untuk obat-obatan.

Namun, keberadaan orang Cina yang menetap di Timor baru terekam ratusan tahun setelahnya. "Dari sumber sejarah yang kita miliki, penduduk Tiongkok mulai menetap di Pulau Timor pada abad ke-18," kata Kammen. Menurut penelitiannya, setidaknya sudah ada empat puluh laki-laki Tiongkok yang menetap di Kupang saat itu. "Sebagian dari mereka menikah dengan orang setempat, sebagian hanya berdagang dan berharap untuk pulang ke tempat asal mereka."

Baca Juga: Rempah Timor: Dari Kronik Cina Sampai Kedatangan Penjelajahan Eropa

Pasangan Cina Timor yang mengenakan baju tradisional Hakka. Foto ini diambil di Kupang pada tahun 1870-an. (KITLV)

Permukiman Cina di Timor tidak hanya terbatas di Kupang saja. Keberadaan mereka juga tersebar di kota-kota pesisir utara, yang meliputi Lifau, Atambua, Batugade, Maubara, Liquica, Manatuto, dan Dili.

"Yang tinggal di kota cenderung mencari keuntungan dari Portugis," ujar Kammen. Para orang Tionghoa di kota mencoba berhubungan baik dengan penguasa untuk mempermudah perdagangan mereka. Uniknya, pemerintahan Timor Portugis juga sering meminta pinjaman uang kepada orang Tionghoa untuk membayar gaji pegawai negeri dan tentaranya.

Selain bermukim di kota, sebagian kecil dari mereka mencoba peruntungan di pedalaman. "Orang Cina yang masuk ke pedalaman justru menjadi pelopor sektor kopi," jelasnya.

Kegiatan dari orang Cina Timor yang tinggal di pedalaman ini cenderung bertujuan menghindari kendali Portugis. Mereka juga mencari akal untuk menghindari pajak dengan berdagang tanpa melalui pelabuhan Portugis.

"Namun pada awal abad ke-19, jumlah Tionghoa di Pulau Timor [masih] sangat sedikit," kata Kammen. Dalam catatannya, diperkirakan hanya ada 300 orang Cina di wilayah Timor Belanda dan 100 orang di Timor Portugis, yang separuhnya tinggal di Dili.

"Sebagian adalah penduduk penutur bahasa Hokkian, [sementara] ada juga penutur bahasa Hakka," kata Kammen. Orang Hakka di Timor berasal dari dua tempat, yakni Jiayingzhou (sekarang Meixian) dan Kanton (sekarang Guangdong).

Meskipun jumlahnya terbilang sedikit, orang-orang Cina Timor cukup memiliki solidaritas satu sama lain. Hal ini terlihat dengan keberadaan kelenteng. "Di akhir abad ke-19, sudah ada sebuah kelenteng Tionghoa di kota Dili, yang dibuat untuk Dewa Mazu," kata Kammen. Selain kelenteng, terdapat pula kuburan Tionghoa di Kupang dan Dili.

Baca Juga: Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor

Kelenteng Hokkian di Dili, 1901. (Douglas Kammen)

Akan tetapi, angka populasi ini mulai meningkat pesat pada tahun 1911. Revolusi 1911 yang menggulingkan Dinasti Qing berdampak pada gelombang migrasi besar-besaran, salah satunya ke Timor. Populasi Cina yang sebelumnya hanya berkisar 534 orang pada sensus 1907 meningkat menjadi 2.587 orang pada tahun 1935.

Gerakan republikan di Tiongkok yang menggaungkan modernitas juga menular ke orang-orang Cina Timor. "Beberapa tahun setelah Revolusi 1911, seorang pemimpin komunitas Hakka di Dili memutuskan menghancurkan Kelenteng Mazu," ungkap Kammen. Kelenteng ini kemudian diganti dengan sekolah bernama Zhonghua. "Alasannya adalah sebagai orang modern, dia dan teman-teman komunitas Hakka ingin memberantas mitos-mitos di kalangan [Cina Timor]," jelasnya.

Komunitas ini juga membina hubungan baik dengan Kuomintang, partai yang berkuasa di Republik Tiongkok pascarevolusi. "Cabang Kuomintang [di Timor] didirikan dan partai Kuomintang juga mendukung pembangunan sekolah di Dili dan 13 distrik Timor Portugis," kata Kammen.

Pada saat pemerintahan Kuomintang pindah ke Taiwan pun, kedua pihak ini masih berhubungan baik. Perwakilan Cina Dili bahkan sempat menemui Chiang Kai-shek di Taiwan pada 17 November 1956. "Taiwan juga menyediakan beasiswa bagi Timor untuk melanjutkan pendidikan tinggi, dan selama tahun 1950 hingga 1960-an sudah ada 1.000-2.000 anak Cina Timor yang dikirim ke Taiwan untuk belajar," tuturnya.

Akan tetapi, orang-orang Cina Timor juga pernah menghadapi masa kelam. Pada Perang Dunia II, pasukan Jepang memasukkan mereka ke dalam kamp tahanan di distrik Liquica. "Perempuan [Cina] Timor juga dipaksa melayani pasukan dan perwira Jepang juga," ungkap Kammen.

Mateos Anin dan seorang kerabatnya berada di rumah adat keluarganya. Ruangan rumah bulat tersebut memiliki filosofi yang erat dengan kehidupan masyarakat di kawasan Fatumnasi, Gunung Mutis, Timor Tengah Selatan. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Pada masa invasi Timor pada tahun 1975, puluhan orang Cina Timor dibunuh oleh pasukan ABRI. "Orang Cina di Dili sangat pro-Kuomintang, antikomunis, tapi pasukan Indonesia tidak memahami itu," ujar Kammen.

Terlepas dari kekelaman tersebut, orang Cina Timor tetap bertahan. Saat ini diperkirakan ada 500-3.000 orang Cina Timor yang mendiami Timor Leste. Jumlah Cina di Timor Barat sendiri tidak diketahui, akan tetapi Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 mencatat adanya 8.039 penduduk Tionghoa di Nusa Tenggara Timur.