Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 23 Juni 2021 | 21:35 WIB
Para jurnalis muda beraksi di depan kantor pusat PWI dan Dewan Pers, menolak untuk pembredelan terhadap pers. (DeTIK)

 

Malari 1974

Namun, pemberedelan terjadi kembali pada 1974 pada 14 koran, termasuk Indonesia Raya. 14 media saat itu secara kritis memberitakan investasi Jepang yang dianggap memicu Malari (Malapetaka 15 Januari).

Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?

Sedangkan di kalangan masyarakat, sentimen anti-Jepang menjadi umum. Ditambah pemberitaan itu, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa berujung pada kerusuhan, dan merusak perusahaan transportasi Jepang.

Pemberdelan itu berupa pencabutan surat ijin cetak hingga pencabutan surat ijin terbit.

Kompas dan Tempo

Ignatius menambahkan terjadi pula pembredelan sementara yang terjadi pada 1978. Hal itu lantaran terkait isu aksi mahasiswa uang meluas di UI dan ITB menolak pencalonan Suharto sebagai presiden kembali. 

Sejumlah koran, termasuk Kompas sempat ditutup sekitar dua minggu. Mereka diperintahkan untuk menulis pernyataan minta maaf kepada Suharto dan berjanji untuk tidak mengangkat masalah Suharto, serta tentang militer dalam pemberitaannya.

Baca Juga: Seabad Soeharto: Selain Kontroversinya, Ada Siasat Politik Cerdik

 

Persitiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. (Kompas)

Pemberdelan sementara pun terjadi pada Tempo pada 1982 karena meliput kerusuhan di masa Pemilu. Sama seperti yang dialami KompasTempo diminta untuk minta maaf, lalu setelah menandatangani perjanjian, diperbolehkan kembali terbit.

"Waktu itu ada Pemilu, jadi kemudian para pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), para pendukung Golkar itu—ya biasalah, kampanye di lapangan. Lalu kedua pihak saling bertemu dan panas-panasan, sampai akhirnya terjadi kerusuhan," terang Ignatius.

Monitor

Tak melulu soal menyinggung presiden Soeharto atau pemerintahan Orde Baru, pemberedelan media akibat rubrik dari Tabloid Monitor. Tabloid itu mengadakan angket yang merupakan ide iseng Arswendo Atmowiloto, Pemred Monitor.

Pada 1990, angket dengan judul "Kagum 5 Juta" ingin mengetahui siapakah tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasilnya, dalam publikasi tanggal 15 Oktober, peringkat satu adalah presiden Soeharto dengan 5.003 kiriman pembaca, dan nomor 11 adalah Nabi Muhammad dengan 616 kartu pos pembaca.

Baca Juga: Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi

Kalangan Islam seperti Mohammad Natsir, Amien Rais, Rhoma Irama, hingga Cak Nur memberikan reaksi dan menganggap angket ini menghina agama. Akibatnya, Menteri Penerangan Harmoko mencabut surat izin majalah monitor. Arswendo sendiri dipenjara hingga 1993.