Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 23 Juni 2021 | 21:35 WIB
Para jurnalis muda beraksi di depan kantor pusat PWI dan Dewan Pers, menolak untuk pembredelan terhadap pers. (DeTIK)

Televisi dan Radio

Selain media cetak, media elektronik tak terlepas dari tindakan pemerintah. SCTV pada 1995 memiliki program talkshow Perspektif yang dibawakan Wimar Witoelar.

"Takshow yang bagus, yang memang pintar [Wimar Witoelar], enak ngajakin ngobrol narasumbernya. Tetapi dia juga sering mengundang tokoh-tokoh kritis," papar Ignatius.

Narasumber yang diundang Perspektif adalah Mochtar Lubis salah satunya. Dalam program itu, ia berpendapat bahwa pemerintah merangkap banyak jabatan. Pada pembredelan pers, pemerintah bertindak sebagai jaksa sekaligus hakim.

Baca Juga: Kabar Paul Salopek, Jurnalis yang Susuri Jejak Jalur Migrasi Manusia

Wimar Witoelar (Wawan H Prabowo/Kompas)

Program ini pun hanya bertahan satu tahun hingga dilarang tayang pada 1996.

Hal serupa pun terjadi pada Jakarta Round Up, sebuah program dari radio Trijaya yang kerap mengulas berita-berita kritis.

Tempo, DeTIK, dan Editor

Kasus pemberedelan terkahir terjadi pada 21 Juni 1994 pada Tempo yang mengangkat skandal pembelian 39 kapal perang Jerman Timur. Dalam penelusurannya, kapal selam perang ini secara birokrasi cacat, karena Soeharto menunjuk langsung Habibie untuk membeli, tanpa sepengetahuan TNI AL.

Pembeliannya juga dikritik lantaran harganya yang USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar.

Ignatius menambahkan, "Setelah ditelusuri dari spesifikasi kapal ini, ternyata enggak cocok untuk perairan tropis. Kemudian Menkeu Mar'ie Muhammad menyampaikan duit anggaran tidak ada, karena tidak direncakan sebelumnya."

Keributan itu juga terjadi di kalangan menteri, sehingga Soeharto melalui Harmoko, mencabut izin Tempo.

Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah 21 Mei 1998: Soeharto Lengser Keprabon dan Kronologi Desakan Gerakan Reformasi

Menteri Penerangan Harmoko, lewat dirinyalah keputusan untuk membredel media massa era Orde Baru dilakukan. (Kompas)

 

Tempo tak sendiri, DeTIK dan Editor juga ikut dibredel lantaran isinya yang kritis, dan memuat pendapat para kritikus Orde Baru. Pada masa itu juga DeTIK diisi oleh para mahasiswa yang baru lulus dan memiliki idealisme mengkritik pemerintah.

Sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mengatakan bahwa pembredelan media hanya menjadi refleksi pers, dicecar oleh kalangan jurnalis muda. Para jurnalis muda dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak pemberedelan itu.

Beberapa jurnalis, khususnya Tempo, akhirnya beberapa pindah bekerja ke Media Indonesia, dan Majalah Gatra. Pasca Reformasi 1998, Tempo kembali berdiri dengan mengajak beberapa bekas jurnalisnya.