Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 23 Juni 2021 | 21:35 WIB
Para jurnalis muda beraksi di depan kantor pusat PWI dan Dewan Pers, menolak untuk pembredelan terhadap pers. (DeTIK)

 

Nationalgeographic.co.id - Selama masa kepresiden Suharto, ada banyak fenomena pembredelan terhadap media, baik cetak maupun elektronik. Pemberedelan terjadi demi menghalangi berita atau narasi kritis terhadap pemerintah.

Menurut Ignatius Haryanto, dosen sejarah jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, pembredelan sudah dilakukan pada pasca 1965 pada sekitar 70 surat kabar. Pembredelan itu dilakukan militer terhadap media yang berafilisasi kiri, dekat dengan PKI, atau berafiliasi dengan presiden Sukarno.

"Banyak wartawan-wartawan media itu yang ditangkap, masuk penjara, sampai dibuang ke Pulau Buru. Bahkan ada yang tidak boleh bekerja lagi di media. Itu gelombang pertama [pemberedelan]," katanya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Selasa (22/06/2021).

T. Sigit Wijanarko dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam skripsinya menulis, pada 1973 Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik dalam tiga partai besar; Golkar, PDI, dan PPP.

Peraturan itu menghentikan hubungan partai dan organisasi massa terhadap pers, yang diharapkan media tidak lagi dapat didanai oleh parpol. Pemerintah juga melarang pers untuk memuat tulisan pemberitaan yang dapat menciptakan permusuhan, keonaran, pertikaian, dan kekacauan di masyarakat.

 

Baca Juga: Mengenang G30S, Bagaimana Reaksi Media Asing Saat Peristiwa Ini Terjadi?

 

Malari 1974

Namun, pemberedelan terjadi kembali pada 1974 pada 14 koran, termasuk Indonesia Raya. 14 media saat itu secara kritis memberitakan investasi Jepang yang dianggap memicu Malari (Malapetaka 15 Januari).

Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?

Sedangkan di kalangan masyarakat, sentimen anti-Jepang menjadi umum. Ditambah pemberitaan itu, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa berujung pada kerusuhan, dan merusak perusahaan transportasi Jepang.

Pemberdelan itu berupa pencabutan surat ijin cetak hingga pencabutan surat ijin terbit.

Kompas dan Tempo

Ignatius menambahkan terjadi pula pembredelan sementara yang terjadi pada 1978. Hal itu lantaran terkait isu aksi mahasiswa uang meluas di UI dan ITB menolak pencalonan Suharto sebagai presiden kembali. 

Sejumlah koran, termasuk Kompas sempat ditutup sekitar dua minggu. Mereka diperintahkan untuk menulis pernyataan minta maaf kepada Suharto dan berjanji untuk tidak mengangkat masalah Suharto, serta tentang militer dalam pemberitaannya.

Baca Juga: Seabad Soeharto: Selain Kontroversinya, Ada Siasat Politik Cerdik

 

Persitiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. (Kompas)

Pemberdelan sementara pun terjadi pada Tempo pada 1982 karena meliput kerusuhan di masa Pemilu. Sama seperti yang dialami KompasTempo diminta untuk minta maaf, lalu setelah menandatangani perjanjian, diperbolehkan kembali terbit.

"Waktu itu ada Pemilu, jadi kemudian para pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), para pendukung Golkar itu—ya biasalah, kampanye di lapangan. Lalu kedua pihak saling bertemu dan panas-panasan, sampai akhirnya terjadi kerusuhan," terang Ignatius.

Monitor

Tak melulu soal menyinggung presiden Soeharto atau pemerintahan Orde Baru, pemberedelan media akibat rubrik dari Tabloid Monitor. Tabloid itu mengadakan angket yang merupakan ide iseng Arswendo Atmowiloto, Pemred Monitor.

Pada 1990, angket dengan judul "Kagum 5 Juta" ingin mengetahui siapakah tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasilnya, dalam publikasi tanggal 15 Oktober, peringkat satu adalah presiden Soeharto dengan 5.003 kiriman pembaca, dan nomor 11 adalah Nabi Muhammad dengan 616 kartu pos pembaca.

Baca Juga: Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi

Kalangan Islam seperti Mohammad Natsir, Amien Rais, Rhoma Irama, hingga Cak Nur memberikan reaksi dan menganggap angket ini menghina agama. Akibatnya, Menteri Penerangan Harmoko mencabut surat izin majalah monitor. Arswendo sendiri dipenjara hingga 1993.

Televisi dan Radio

Selain media cetak, media elektronik tak terlepas dari tindakan pemerintah. SCTV pada 1995 memiliki program talkshow Perspektif yang dibawakan Wimar Witoelar.

"Takshow yang bagus, yang memang pintar [Wimar Witoelar], enak ngajakin ngobrol narasumbernya. Tetapi dia juga sering mengundang tokoh-tokoh kritis," papar Ignatius.

Narasumber yang diundang Perspektif adalah Mochtar Lubis salah satunya. Dalam program itu, ia berpendapat bahwa pemerintah merangkap banyak jabatan. Pada pembredelan pers, pemerintah bertindak sebagai jaksa sekaligus hakim.

Baca Juga: Kabar Paul Salopek, Jurnalis yang Susuri Jejak Jalur Migrasi Manusia

Wimar Witoelar (Wawan H Prabowo/Kompas)

Program ini pun hanya bertahan satu tahun hingga dilarang tayang pada 1996.

Hal serupa pun terjadi pada Jakarta Round Up, sebuah program dari radio Trijaya yang kerap mengulas berita-berita kritis.

Tempo, DeTIK, dan Editor

Kasus pemberedelan terkahir terjadi pada 21 Juni 1994 pada Tempo yang mengangkat skandal pembelian 39 kapal perang Jerman Timur. Dalam penelusurannya, kapal selam perang ini secara birokrasi cacat, karena Soeharto menunjuk langsung Habibie untuk membeli, tanpa sepengetahuan TNI AL.

Pembeliannya juga dikritik lantaran harganya yang USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar.

Ignatius menambahkan, "Setelah ditelusuri dari spesifikasi kapal ini, ternyata enggak cocok untuk perairan tropis. Kemudian Menkeu Mar'ie Muhammad menyampaikan duit anggaran tidak ada, karena tidak direncakan sebelumnya."

Keributan itu juga terjadi di kalangan menteri, sehingga Soeharto melalui Harmoko, mencabut izin Tempo.

Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah 21 Mei 1998: Soeharto Lengser Keprabon dan Kronologi Desakan Gerakan Reformasi

Menteri Penerangan Harmoko, lewat dirinyalah keputusan untuk membredel media massa era Orde Baru dilakukan. (Kompas)

 

Tempo tak sendiri, DeTIK dan Editor juga ikut dibredel lantaran isinya yang kritis, dan memuat pendapat para kritikus Orde Baru. Pada masa itu juga DeTIK diisi oleh para mahasiswa yang baru lulus dan memiliki idealisme mengkritik pemerintah.

Sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mengatakan bahwa pembredelan media hanya menjadi refleksi pers, dicecar oleh kalangan jurnalis muda. Para jurnalis muda dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak pemberedelan itu.

Beberapa jurnalis, khususnya Tempo, akhirnya beberapa pindah bekerja ke Media Indonesia, dan Majalah Gatra. Pasca Reformasi 1998, Tempo kembali berdiri dengan mengajak beberapa bekas jurnalisnya.