Nationalgeographic.co.id – Pada Kamis, 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, bangsa Indonesia terhenyak. Sejak malam sebelumnya, perhatian publik tertuju pada sosok penting negeri ini, Soeharto.
Pada pagi itu, saat seluruh perhatian warga negara Indonesia ke Istana Merdeka, Jakarta, Soeharto menyatakan secara resmi meletakkan jabatan Presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun. Istilah pengunduran diri Soeharto itu, yang kemudian dikenal sebagai "lengser keprabon".
Pengumuman pengunduran diri Soeharto pada Kamis pagi itu sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan, karena sehari sebelumnya sudah ramai dibicarakan bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri.
Lantas, apa yang mendorong Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur?
Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi
Karena, beberapa hari sebelumnya, Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan.
Kejutan ke arah mundurnya Soeharto diawali oleh keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko usai Rapat Pimpinan DPR, Senin (18/5/1998) lalu.
Tanggal 18 Mei 1998
Pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana.
Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Namun, kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu, tidak berlangsung lama.
Karena malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif.
Walaupun sikap ABRI itu disampaikan setelah Wiranto memimpin rapat kilat dengan para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri serta para panglima komando.
Tetapi diketahui bahwa pukul 17.00 WIB Panglima ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana.
Dengan demikian, muncul dugaan bahwa apa yang dikemukakan Wiranto itu adalah pendapat Presiden Soeharto.
Pukul 21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan.
Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle.
Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya."
Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Baca Juga: Patahnya Palu Sidang dan Firasat Harmoko Mengenai Kejatuhan Soeharto
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | KOMPAS/EDDY HASBY |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR