Etos tersebut diperkuat melalui kebangkitan gerakan Pan-Afrika moderen pada akhir abad ke-19 dan khususnya ajaran Marcus Garvey, kelahiran Jamaika, yang dilaporkan mengatakan kepada para pengikutnya "lihatlah ke Afrika di mana seorang raja kulit hitam akan dinobatkan, dia akan menjadi raja Penebus." Selain itu, tahun 1920-an membawa teks proto-Rastafarian yang berpengarih seperti "The Holy Piby" dan "The Royal Parchment Scroll of Black Supremacy to Jamaica".
Pada 2 November 1930, Ras Tafari Makonnen dimahkotai sebagai Kaisar Haile Selassie I dari Etiopia. Ia diyakini sebagai keturunan Raja Salomo dan Ratu Sheba, Selassie mengambil gelar Raka segala Raja, Tuan di atas segala Tuan dan Singa Penakluk dari Suku Yehuda, untuk beberapa memenuhi nubuat Alkitab tentang raja kulit hitam yang telah ditekankan oleh Garvey.
Pengkhotbah Jamaika mulai mempromosikan otoritas penguasa Selassie atas Raja George V dan pada pertengahan 1930-an kaisar Etiopoa dianggap oleh pengikutnya sebagai perwujudan Tuhan yang hidup.
Baca Juga: Intip Studio Terakhir yang Masih Membuat Bola Dunia dengan Tangan
Meskipun tidak ada gereja pusat formal yang terwujud, fraksi-fraksi Rastafarianisme yang mulai tumbuh menemukan landasan bersama melalui kepercayaan mereka pada garis keturunan yang berasal dari bangsa Israel kuno, superioritas kulit hitam dan pemulangan diaspora dari tanah "Babel" yang menindas ke Afrika.
Gerakan mereka mencerminkan berbagai pengaruh, termasuk instruksi Perjanjian Lama tentang menghindari makanan tertentu dan kepercayaan lokal pada kekuatan spiritual ganja. Sementara praktik Rastafarian menyebar dengan migrasi Jamaika ke Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat dari 1950-an hingga 1970-an, pertumbuhannya di seluruh dunia dibantu oleh pengaruh penganut musik populer.
Kontributor awal di bidang ini adalah Count Ossie, yang mulai bermain drum di sesi spiritual Nyahbinghi dan membantu mengembangkan gaya yang kemudian dikenal sebagi ska.
Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?
Belakangan, gerakan itu menemuka duta besarnya yang paling penting dalam diri Bob Marley, seorang mualaf ke Rastafari dan pendiri musik reggae, Marley yang karismatik tanpa malu-malu merujuk keyakinannya pada lagu-lagunya. Hingga akhirnya mencapai pengakuan luas pada 1970-an dengan tema persaudaraan, penindasan, dan penebisan yang menarik secara universal.
Buku tahun 1970-an Dread: The Rastafarians of Jamaica oleh imam Katolik Roma dan pekerja sosial, Joseph Owens, menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi gerakan tersebut. Dengan beberapa sekte memilih untuk tidak menekankan pentingnya superioritas kulit hitam demi pesan kesetaraan.
Pada 2012, diperkirakan ada sekitar 1 juta Rastafarian di seluruh dunia menurut laman History. Tradisinya berlanjut di masyarakat AS, Inggris, Afrika, Asia, dan Jamaika, di mana pemerintah telah mengkooptasi banyak simbolismenya melalui upaya memasarkan pariwisata.