Jejak Kuburan Massal Korban Pembantaian Perang Dunia II di Singapura

By Utomo Priyambodo, Rabu, 23 Juni 2021 | 15:25 WIB
Sekelompok pasukan Inggris, Australia, India dan Cina ditangkap oleh pasukan Jepang selama jatuhnya Singapura, 15 Februari 1942. (Paul Popper)

Mengingat pentingnya sejarah kompleks rumah sakit tersebut, pihak berwenang sekarang akan "melakukan penelitian dan penilaian arkeologi, serta mendokumentasikan warisan situs sebelum pembangunan kembali yang direncanakan," ujar juru bicara dari National Heritage Board (NHB) Singapura dan ISEAS-Yusof Ishak Institute, sebuah organisasi pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Singapura, seperti dikutip dari Live Science.

Invasi Jepang ke Singapura dari Semenanjung Malaya merupakan salah satu kekalahan terburuk bagi Inggris dalam Perang Dunia II. Jepang menginvasi Malaya pada bulan Desember 1941, dan tentara Jepang mengusir pasukan Inggris dari semenanjung tersebut hanya dalam 70 hari setelah pertempuran.

Dengan dukungan luas dari pesawat-pesawat tempur dan artileri, pasukan penyerang Jepang menyeberangi Selat Johor, yang memisahkan ujung selatan Semenanjung Malaya dari Singapura pada 8 Februari 1942. Setelah seminggu pertempuran sengit, Jepang secara jelas akan mengambil alih pulau tersebut.

Baca Juga: Pertempuran Tarakan, Jejak Mengusir Jepang di Akhir Perang Dunia II

Pembuatan poster film propaganda kepada penonton tentang apa yang terjadi pada masa pendudukan Jepang. (Public Domain)

Pembantaian di tempat yang sekarang menjadi Alexandra Hospital dimulai pada 14 Februari dan berakhir pada pagi hari tanggal 15 Februari 1942, hanya beberapa jam sebelum pasukan Inggris di Singapura menyerah kepada Jepang. Ini merupakan penyerahan Inggris terbesar dalam sejarah, seperti yang dilaporkan oleh BBC.

Rumah sakit itu untuk sementara waktu berada di garis depan antara pasukan Jepang yang menyerang dan Inggris yang mundur. Para saksi mata mengatakan bahwa keberadaan rumah sakit itu jelas ditandai dengan lambang palang merah dan bahwa seorang perwira Inggris yang membawa bendera putih telah mencoba untuk secara resmi menyerahkannya. Sebagai gantinya, tentara Jepang menikamnya sampai mati dengan bayonet. Beberapa tentara Jepang kemudian mengklaim bahwa mereka telah ditembak dari halaman rumah sakit.

Salah satu saksi yang selamat dari pembantaian itu adalah Arthur Haines, seorang tentara Inggris yang dirawat karena malaria di rumah sakit tersebut. Menurut Haines, pasukan Jepang mengamuk di rumah sakit dan menembaki atau menembak lebih dari 200 pasien dan staf di bangsal dan ruang operasi.

Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup