Upaya Para Arkeolog Menjaga Kelestarian Cagar Budaya Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 30 Juni 2021 | 12:59 WIB
Seorang pria membersihkan Candi Borobudur dari lumut menggunakan sapu lidi kecil. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

 

Nationalgeographic.co.id - Memang mudah saat ini untuk melihat berbagai peninggalan sejarah di Indonesia yang terlihat gagah untuk dikunjungi sekedar wisata, budaya, atau belajar sejarah. Dari berupa artefak pusaka, naskah, hingga bangunan peninggalan masa lalu seperti Candi Borobudur yang dikenal di dunia.

Bangunan peninggalan sejarah utuh yang kita lihat bukanlah pekerjaan mudah, pembangunannya di masa lalu begitu rumit. Dari masa ke masa, berbagai bangunan sempat roboh, berantakan, tertutup tanah, sehingga harus dipugar setelah ditemukan kembali.

Pada Candi Borobudur, bangunan suci umat Buddha itu dibangun sejak masa raja Samaratungga bertahta di Mataram Kuno. Ada banyak orang yang tentunya berperan pada pembangunanya, kata Wahyu Indrasana dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia .

Baca Juga: Borobudur, Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa dalam Ekspresi Bermusik

Terdapat kemiripan antara alat-alat musik pada relief Borobudur dengan sejumlah alat musik di Asia Tenggara, baik di penjuru Indonesia maupun banyak negara lain. (KEMENDIKBUD)

"Ini yang harus dimaknai," Wahyu berpendapat dalam diskusi Dilema Pelestarian di siniar Balai Konservasi Borobudur, Selasa (29/06/2021)

"Kita harus mengenang jasa-jasa mereka, apakah candi yang dulu itu runtuh gitu aja, terus (ditemukan tegak kembali) begitu saja ibarat Bandung Bondowoso yang bangun candi satu malam. Kan bukan begitu."

Marsis Sutopo dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional dalam forum yang sama juga menambahkan, penghargaan pendahulu juga bisa diberikan pada para ahli yang memugar bangunan peninggalan sejarah.

Pemugaran Candi Borobudur sendiri pertama kali dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1907 hingga 1911 oleh Theodoor van Erp. Kemudian dilanjutkan lagi pada 1975 hingga 1985, pada masa ini juga turut dikampanyekan penyelamatan candi ke dunia internasional.

Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?

Usai hujan lebat, malam mulai melingkupi Candi Tinggi di percandian Muarojambi. Kompleks ini diduga dibangun secara bertahap, sejak masa sebelum dan selama masa Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Sebelumnya, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) masih berbentuk Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Yang berubah, ujar Wahyu, adalah upaya pengembangan pemanfaatan yang sebelumnya tidak ada.

Orientasi pemanfaatan juga berupa perlindungan untuk menjaga kelestariannya. Meski demikian urusan pelestarian bukanlah hal yang mudah. Wahyu memberi gambaran untuk menjaga batu tangga candi yang tergerus bisa ditangani dengan penutupnya.

"Kadang-kadang ya, ada komplain 'ah, ini sudah tidak asli'. Padahal itu prinsipnya untuk melindungi," ujar Wahyu.

Pengembangan itu tertera dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang juga harus bermanfaat pada kesejahteraan masyarakat, terutama di sekitar situs.

Marsis berpendapat, masyarakat kini sudah merasakan potensi cagar budaya bisa dimanfaatkan. Peningkatan kesejahteraan pada masyarakat sendiri bisa berdampak secara fisik, seperti pendapatan dari pariwisata, dan non fisik seperti pemahaman terkait cagar budaya.

Baca Juga: Pelan Tapi Pasti, Misteri dalam Kompleks Candi Tertua di Indonesia Makin Terkuak. Tinggalan Ini Juga Buktikan Teknologi Tinggi Leluhur Kita

Marsis mengenang bahwa sempat diadakan upaya pelestarian yang bergandengan dengan masyarakt sekitar. Kegiatan itu sempat dilakukan ketika Candi Borobudur sempat ditutup selama 45 hari, karena terpapar erupsi Gunung Merapi pada 2010.

"Dan itu tidak bisa dikerjakan sendiri oleh balai konservasi. Tetapi justru masyarakat sekitar yang ikut serta membantu," kata Marsis. "Setiap hari itu masyarakat sekitar Borobudur dan beberapa stakeholder dari mana-mana hingga dalam 45 hari itu bersih kembali."

Partisipasi masyarakat dalam relawan pembersihan itu ada karena mengetahui manfaatnya, tambahnya. Dengan kesadaran itu sendiri mereka akhirnya dapat mempelajari cara membersihkan, dan upaya pelestarian benda bersejarah yang sebelumnya tidak pernah diajarkan.

Senada dengan Marsis, Wahyu menyampaikan hal itu juga terjadi pada candi-candi lainnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Candi Prambanan misalnya, kepedulian akan cagar budaya itu dijaga dengan pegawainya yang berasal dari masyarakat sekitar. Cara itu dinilai efektif untuk menularkan kepedulian dan memahami betapa susahnya merawat cagar budaya.

Baca Juga: Catatan Ursula Suzanna tentang Candi Sewu Pascakecamuk Perang Jawa

Tampak Candi Prambanan disinari pancaran warna-warni bak menari-nari saat video Mapping ditayangkan (Lutfi Fauziah)

Melalui kerjasama dengan melibatkan kepedulian masyarakat setempat juga menjadi ide untuk pemanfaatan situs sejarah untuk kegiatan lainnya.

Contohnya, dengan masuknya unsur masyarakat, kegiatan berskala internasional bisa dilakukan di sekitar situs. Tetapi juga harus mempertimbangkan kepantasan yang harus dikaji, karena perspektifnya yang subjektif.

"Di sekitar kan ada living culture yang dalam bentuk tradisi, kesenian, tradisional, yang diberikan peran, apalagi living culture-nya ada kaitannya dengan Candi Borobudur [atau situs sekitar lainnya]," kata Marsis.

"Studi kepantasan juga tidak mudah, karena ada yang dianggap pantas oleh masyarakat, [pantas] bagi pelestarian, atau [menurut] nilai budayanya sendiri. Bukan pekerjaan yang mudah untuk suatu kelayakan ini."

"Makanya ada SOP (standar operasional prosedur) yang mengatur utnuk pemanfaatan ini tidak kontraproduktif dengan pelestarian ini yang jadinya tidak terkendali," tambahnya. "Kalau bisa bikin SOP setiap candi karena bnelum tentu semua candi sama kepantasannya."

Baca Juga: Simbol-simbol Relief Gereja Puh Sarang dalam Bingkai Hindu-Jawa