Menurut Sigit, ini terjadi karena proses budi daya yang belum profesional. Diperkirakan 90 persen bahan baku masih berasal dari tumbuhan liar, tanaman hutan atau hasil pekarangan. Para petani juga belum mampu menjaga kualitas dan mutu tanaman obat karena minimnya bimbingan dan pelatihan yang diberikan.
Di sisi lain, industri tanaman obat belum memberikan perhatian serius terhadap hasil penelitian ilmiah terkait upaya pengembangan produk di pasar. Dalam praktiknya, masih ada beberapa kendala mutu dan keberlanjutan bahan baku. Misalnya, ketidakseimbangan ketersediaan dan kebutuhan bahan baku.
“Pada akhirnya banyak negara-negara lain menganggap kualitas rempah dan jamu Indonesia masih rendah. Ini yang kerap terjadi,” papar Sigit. Padahal, jamu berbasis rempah Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Berada di wilayah tropis yang didukung tanah subur dan iklim yang sesuai, Indonesia menjadi salah satu pusat budi daya rempah dan herba dunia.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Mikrobioma, Jasad Renik si Penghuni Tubuh Manusia
Dari total sekitar 40 ribu jenis tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30 ribunya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90 persen tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Sebesar 25 persen di antaranya, atau sekitar 7.500 jenis, sudah dipastikan memiliki khasiat.
Sri Astutik, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan: ”Intinya, kita masih kaya. Indonesia termasuk salah satu bangsa yang kaya akan tanaman obat,” tuturnya.
Menurut Sri, negara-negara di dunia sangat membutuhkan produk yang berbasis rempah dan tanaman obat. Salah satu yang paling terkenal adalah kunyit yang dimanfaatkan dalam banyak hal, mulai dari keperluan memasak, kosmetik, sesajen, upacara pernikahan, hingga obat-obatan.
Baca Juga: Renungan Hidup dari Jamu dan Perdebatan Persepsinya di Masyarakat