Ia berinvestasi pada mesin yang membantu produksi, mulai dari alat ekstraksi hingga pengering. Selain mengolah lebih banyak, prosesnya pun menjadi lebih cepat. “Para pengusaha jamu tidak boleh pesimis, jangan tutup mata dengan teknologi,” ungkap Rachmat.
Selain teknologi, Sigit kembali menambahkan, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan potensi jamu di masa depan. Pertama-tama, standarisasi mutu sesuai dengan standar negara tujuan ekspor. Perkara ini meliputi beberapa spesifikasi seperti kebersihan, kadar suhu, jumlah cemaran mikroorganisme, sampai ukuran partikel. Kedua, daya telusur, yaitu kemampuan untuk penelusuran balik atau mendapatkan kembali informasi mengenai asal usul (lokasi dan proses) produk melalui identifikasi nomor registrasi yang sudah dibuat sebelumnya. Ketiga, kesinambungan pasokan—bisa dilakukan dengan sinergitas, akses pasar, dan kemitraan. Pemerintah juga memiliki peran di sini karena mampu membuat kebijakan yang mendukung hal tersebut.
“Dari sisi perekonomian, rempah dan jamu sebenarnya berpotensi besar bagi pendapatan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyesuaian lapangan kerja. Dengan bahan baku yang tersedia dari dalam negeri, maka jamu dinilai mampu membawa multiplier effect yang cukup signifikan dari hulu hingga hilir,” jelas Sigit.
Meski begitu, Nuning mengingatkan, peningkatan jaminan mutu itu tidak boleh mengabaikan lingkungan. Ia menggalakkan green science agar pengembangan jamu berbasis rempah dapat berkelanjutan. Sebagai contoh, jika ingin menggunakan akar dari tanaman obat, sebaiknya pilih dari tumbuhan semusim. Untuk tanaman-tanaman yang hanya tumbuh satu tahun sekali, maka pilih daun atau buahnya sehingga tidak membuat mereka cepat mati.
“Intinya bagaimana bahan baku yang digunakan aman dan berkelanjutan,” kata Nuning. “Riset dan pengembangan produknya juga dipastikan tidak mencemari lingkungan.”