“Sulu di abad ke-15 berurusan dengan produk non-Filipina,” kata Ariel C. Lopez, ilmuwan Asian Center University of the Philippines. “Seperti rempah-rempah, aromatik, sutra, dan porselen,” katanya pada International Forum on Spice Route 2020 sesi Spice Route: A Southeast Asian Perspective.
Jaringan Tionghoa-Islam berkembang pada tahun 1419 di rute Campa-Manila-Tuban. Muslim Tionghoa Hanafi saat itu berkembang pesat dan menyebar di sepanjang negara Nan Yang. Saat itulah Laksamana Haji Sam Po Bo (Cheng Ho) menunjuk Haji Bong Tak Keng di Campa untuk mengendalikan komunitas muslim itu.
Komunitas muslim itu juga tumbuh di Jawa. Maka, Haji Bong Tak Keng menunjuk Haji Gan Eng Cu di Manila untuk mengontrol komunitas Muslim Hanafi Tionghoa di Tuban. Tujuannya, untuk mengendalikan perkembangannya di pelabuhan utama Jawa kekuasaan Kerajaan Majapahit itu.
Baca Juga: Bagaimana Masa Depan Ribuan Jenis Tumbuhan Rempah Obat Indonesia?
Hubungan segitiga Campa-Manila-Tuban menurut Ariel sangatlah penting karena melibatkan Muslim Tionghoa dalam perdagangan regional. Bahkan, sejarah ini juga mencatat perkawinan penting yang menguatkan pengaruh Islam dalam jaringan perdagangan.
“Haji Gan En Cu mempunyai seorang putri bernama Nyi Ageng Manila. Yang kemudian menikah dengan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel), seorang pedagang yang terkenal sebagai salah satu Wali Songo sebagai agen Islam di Jawa. Jadi hubungan ini adalah sesuatu jaringan perdagangan regional. Tidak hanya Tionghoa tapi juga Islami,” kata Ariel.
Tome Pires juga pernah beriwayat soal hubungan perdagangan Tionghoa-Islam saat itu. Disebutkan bahwa orang-orang Luzon di Filipina melakukan perdagangan di Brunei dan Malaka. Mereka juga mengumpulkan kayu cendana dari Timor ketika kapal Magellan berada di sana saat memasok perdagangan Tiongkok di abad ke-16.
Baca Juga: Gara-gara Rempah: Pencurian Peta Hingga Ekspedisi Compagnie van Verre