Jalur Rempah Utara-Selatan: Simpul Filipina, Tiongkok, dan Nusantara

By Fikri Muhammad, Selasa, 29 Juni 2021 | 21:29 WIB
Peta Asia Tenggara abad ke-16 yang dibuat oleh kartografer Portugis Diogo Homem (lahir 1521 -1576) antara tahun 1555 dan 1559. Naskah tersebut diperkirakan dibuat Raja Philip II dari Spanyol (memerintah 1556–1558), sebagai hadiah untuk Ratu Mary I dari Inggris (memerintah 1553–1558). (The British Library)

 

 

 

Nationalgeographic.co.idFilipina menjadi simpul penting jalur perdagangan utara-selatan dengan Tiongkok dan Nusantara. Jaringan komersialnya diperkuat oleh afiliasi keagamaan yang jaya sebelum persaingan monopoli Eropa datang.

Filipina telah terikat dengan perdagangan rempah-rempah (rute Maluku-Tiongkok) sebelum kebangkitan pasar barat abad ke-13. Kebijakan perdagangan saat itu melibatkan Butuan, Manila, Mindoro, dan Sulu sebagai wilayah perdagangan.

Hal itu dibuktikan dengan adanya catatan Dinasti Song (960-1279) dengan bukti-bukti keramik dan perahu layar bertanggalan 1250 M. Saat itu, Filipina juga giat membeli cengkih dari Sriwijaya dan Jawa.

Sekitar abad ke-14 dan ke-15, Kesultanan Sulu mulai bangkit dan membebaskan diri dari supremasi Majapahit. Bahkan, Sulu mencoba menguasai tetangganya, Brunei.

Raja Sulu pada masa itu memang sering terlibat misi maritim di bawah Laksamana Cheng Ho dari Kekaisaran Ming. Bahkan cerita yang terkenal saat seorang Paduka Batara (1417) gugur dalam perjalanan pulang ke Sulu dari ibu kota kekaisaran karena misi tersebut.

 

“Sulu di abad ke-15 berurusan dengan produk non-Filipina,” kata Ariel C. Lopez, ilmuwan Asian Center University of the Philippines. “Seperti rempah-rempah, aromatik, sutra, dan porselen,” katanya pada International Forum on Spice Route 2020 sesi Spice Route: A Southeast Asian Perspective.

Jaringan Tionghoa-Islam berkembang pada tahun 1419 di rute Campa-Manila-Tuban. Muslim Tionghoa Hanafi saat itu berkembang pesat dan menyebar di sepanjang negara Nan Yang. Saat itulah Laksamana Haji Sam Po Bo (Cheng Ho) menunjuk Haji Bong Tak Keng di Campa untuk mengendalikan komunitas muslim itu.

Komunitas muslim itu juga tumbuh di Jawa. Maka, Haji Bong Tak Keng menunjuk Haji Gan Eng Cu di Manila untuk mengontrol komunitas Muslim Hanafi Tionghoa di Tuban. Tujuannya, untuk mengendalikan perkembangannya di pelabuhan utama Jawa kekuasaan Kerajaan Majapahit itu.

Baca Juga: Bagaimana Masa Depan Ribuan Jenis Tumbuhan Rempah Obat Indonesia?

Permukaan air Candi Tikus, Trowulan, menyurut kala pertengahan musim kemarau. Sejatinya bangunan tersebut merupakan petirtaan agung untuk Raja Majapahit. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Hubungan segitiga Campa-Manila-Tuban menurut Ariel sangatlah penting karena melibatkan Muslim Tionghoa dalam perdagangan regional. Bahkan, sejarah ini juga mencatat perkawinan penting yang menguatkan pengaruh Islam dalam jaringan perdagangan.

“Haji Gan En Cu mempunyai seorang putri bernama Nyi Ageng Manila. Yang kemudian menikah dengan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel), seorang pedagang yang terkenal sebagai salah satu Wali Songo sebagai agen Islam di Jawa. Jadi hubungan ini adalah sesuatu jaringan per­dagang­an regional. Tidak hanya Tionghoa tapi juga Islami,” kata Ariel.

Tome Pires juga pernah beriwayat soal hubung­­an perdagangan Tionghoa-Islam saat itu. Disebutkan bahwa orang-orang Luzon di Filipina melakukan perdagangan di Brunei dan Malaka. Mereka juga mengumpulkan kayu cendana dari Timor ketika kapal Magellan berada di sana saat memasok perdagangan Tiongkok di abad ke-16.

Baca Juga: Gara-gara Rempah: Pencurian Peta Hingga Ekspedisi Compagnie van Verre

 

Perdagangan Tionghoa-Islam diganggu oleh Spanyol yang datang pada abad ke-16. Spanyol mengetahui bahwa Filipina, tanpa hubungan dagang dengan Nusantara dan Tiongkok, tidak akan bisa bertahan. Usaha ini dilakukan untuk melancarkan aksi penjajahan mereka.

Pelabuhan-pelabuhan komersial utama Islam pun ditaklukkan. Pertama, Spanyol menaklukkan Mindoro (1570) untuk menguasai Luzon. Kemudian Manila (1571) untuk menguasai perdagang­­an Tiongkok. Begitu juga Kalimantan (1578) untuk mengerem koneksi Malaka. Serta Sulu dan Mindanao (1579) yang dinetralkan untuk merebut akses langsung ke pulau rempah-rempah di selatan.

Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya

Sebuah ruangan di bawah bastion Fort Tolucco yang diduga sebagai gudang mesiu. Fransesco Serao disebut-sebut sebagai orang Portugis yang memprakarsai pendirian benteng di pesisir Pulau Ternate ini. Dia adalah orang Portugis pertama yang sampai ke Kepulauan Rempah. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Apa yang sebenarnya dilakukan Spanyol adalah untuk memotong dan mendapatkan keuntungan dari bekas jaringan perdagangan Islam. Mereka tahu bahwa tanpa hubungan dagang antara Filipina dengan wilayah yang lebih luas, politik negara Manila, Mindoro, Kalimantan, dan lain-lain ini tidak akan bertahan. Orang Spanyol perlu memutus, menghancurkan hubungan Filipina dengan Nusantara dan Tiongkok agar mereka bisa berhasil dalam usaha penjajahan mereka,” kata Ariel.

Usaha Spanyol akhirnya dihentikan oleh Belanda pada 1663, yang memaksa mereka keluar dari Maluku dan Sulawesi Utara. Hal ini menandakan era baru monopoli rempah oleh Belanda. Mengusir kompetisi antara Spanyol dan Portugis yang ada sebelumnya.

Baca Juga: Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara