Bagaimana Krisis Oksigen di Gelombang Kedua Pagebluk Bisa Terjadi?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 7 Juli 2021 | 10:39 WIB
Beberapa masyarakat kesulitan mencari oksigen dikarenakan kurangnya kesiapan dalam mengantisipasi angka kasus Covid19 yang kembali meninggi di Indonesia. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Sabtu lalu (03/07/2021), Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sorotan publik karena adanya kekurangan oksigen untuk mengatasi pagebluk Covid-19.

Kabar yang beredar dipublik, sebanyak 63 pasien meninggal lantaran kehabisan oksigen, dari Sabtu hingga Minggu pagi. Namun demikian, Bagian Hukum dan Humas RSUP dr. Sardjito, Banu Hermawan menegaskan bahwa sejumlah 33 pasien yang meninggal setelah oksigen central habis pada pukul 20.00 WIB.

Ramainya perbincangan masalah oksigen di RSUP Dr. Sardjito ini menjadi pintu pembuka pembahasan isu kekurangan oksigen nasional, terang Irma Hidayana pimpinan LaporCovid-19 saat dihubungi National Geographic Indonesia, Selasa (06/07/2021).

Irma memaparkan bahwa pihaknya sering mendampingi pasien ke rumah sakit, tetapi kendalanya selalu terkait oksigen yang habis.

"Dari tanggal 14 Juni sampai 29 Juni kami juga sangat kekurangan oksigen. Kami mengantarkan pasien di IGD, tapi tanggapannya juga kehabisan oksigen," katanya.

 

"Jadi harus menunggu dulu, atau tidak [sebagai pilihan pasien]? Dan pindah ke rumah sakit pun percuma, karena sudah keliling beberapa rumah sakit harus mengantre panjang. Kalau pindah-pindah jadinya sulit mendapatkan rumah sakit."

LaporCovid-19 bahkan harus menggunakan tabung oksigen pinjaman dari dermawan. Itu pun harus dari bantuan Puskemas setempat untuk memasang hingga memantau penderita yang terpaksa melakukan perawatan di rumahnya sendiri.

Kurangnya pasokan tabung oksigen di sejumlah tempat lantaran jumlah kasus Covid-19 meningkat drastis dalam dua-tiga pekan belakangan. Kondisi in sangat terlihat khususnya di Pulau Jawa.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi memaparkan, peningkatan itu secara bersamaan mendatangkan pasien lebih banyak. Sedangkan penambahan sarana dan prasarana fasilitas di rumah sakit tidak bisa hadir dalam waktu yang cepat untuk memenuhi kebutuhan.

Baca Juga: Seberapa Bahaya Varian 'Delta Plus'? Apa yang Kita Ketahui Sejauh Ini?

Tabung Oksigen milik pembeli yang disusun oleh pekerja Bio Medical Gas Jalan Panjang, Jakarta Barat akibat tingginya permintaan pengisian oksigen akibat kembali tingginya kasus Covid19 di Indonesia. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Salah satunya untuk oksigen. Jadi biasanya kebutuhan rata-rata itu enam ton per hari, itu meningkat menjadi 3.000 sampai 4.000 ton," terangnya saat dihubungi, Senin (05/07/2021).

"Bisa dibayangkan peningkatan yang luar biasa terjadi ini, yang tentunya walaupun kita sudah optimalkan tidak bisa mengejar kondisi-kondisi tersebut. Apa lagi kita tidak bisa memprediksikan jumlah pasien yang tiba-tiba datang pada hari yang bersamaan itu."

Pihak Kementerian Kesehatan mengklaim telah megnetahui akan adanya peningkatan kasus, dan membuat buffer stock atau stok pengamanan untuk RSUP Dr Sardjito. Akan tetapi, pada kenyatannya, stok tersebut tidak dapat memenuhi saat kebutuhan melonjak.

Masalah lainnya juga, Nadia memaparkan, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak memiliki industri penyedia oksigen. Sehingga oksigen jarus dikirimkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang membutuhkan waktu.

Baca Juga: Menilik Upaya Daerah Menerapkan PPKM Darurat Demi Tekan Lonjakan Kasus

Terkait prediksi akan lonjakan di masa sekarang benar-benar tidak diduga oleh pihak Kementerian Kesehatan, lanjut Nadia. Kebutuhan akan oksigen pada Desember 2020 hingga Januari 2021 ini tidak sebesar sekarang pula.

Berdasarkan data statistika pagebluk di Indonesia, sepanjang Februari hingga Mei, Indonesia mengalami penurunan jumlah kasus. Namun di India, terjadi pelonjakan kasus yang meningkat, dan mengalami krisis kekurangan oksigen. Saat itu, pemerintah Indonesia mengirimkan bantuan pasokan oksigen pada bulan April dan Mei.

"Siapa yang bisa memprediksi pandemi? Pada April kasus kita rendah 4.000, dan kematiannya di bawah 150. Kalaupun prediksi dilakukan, mungkin tidak setinggi ini," jelas Nadia.

Irma menanggapi apa yang dilakukan pihak Indonesia mengekspor oksigen adalah hal yang baik. Meski demikian, kegiatan pengeksporan itu semestinya disiapkan perencanaan mitigasi yang matang-matang.

Baca Juga: Sejumlah Pakar Buka Suara soal Kondisi 'Panic Buying' Susu Bear Brand

Oksimeter, alat untuk mendeteksi kadar oksigen dalam darah, dan biasa digunakan untuk pemeriksaan sebelum vaksinasi. (Freepik)

Mengingat, pada April pintu pariwisata dibuka bersamaan dengan kegiatan mudik yang tidak dilarang dengan sungguh-sungguh, sehingga menyebabkan kerumunan. Itulah yang menyebabkan angka penularan terus bertambah, dan berlanjut hingga saat ini.

"Kita juga harus lihat pengalaman-pengalam negara lain yang melibatkan banyak orang. Itu berpotensi untuk membuat ledakan," terangnya. "Plus, apa lagi kalau tidak ada pembatasan untuk warga asing. Itu faktor risiko yang sangat tinggi."

"Apa dia tidak lihat apa yang ada di India? Jawaban yang sangat tidak bertanggung jawab."

Melansir Vox, India mengalami permasalahan oksigen pada bulan Maret hingga Mei. Permasalahannya bermula saat angkanya sempat menyusut pada akhir 2020 dan awal 2021, sehingga fokus pemerintah India berubah menjadi kepentingan politik dan ekonomi, yang sebelumnya menekankan hanya pada aspek kesehatan.

Baca Juga: Faskes Indonesia Kolaps, Sebulan Ini 265 Pasien Isoman COVID-19 Wafat

"Mereka [pemerintah India] merayakan kemenangan prematur melawan pandemi" papar jurnalis Scroll.in Vijayta Lalwani dalam wawancara dengan Vox.

Akhirnya, pandemi di India melonjak lebih drastis dari gelombang pertamanya, dan menyebabkan kematian yang sangat besar.

Merujuk pada masalah yang terjadi di Indonesia, Irma menyebut pemerintah tidak berhasil dalam penangan pandemi. Mereka harus bertanggung jawab untuk membuat solusi, karena membuka 'keran' mobilitas sampai banyak yang tewas.

Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?

Pada 17 April 2020, tenaga kesehatan di Kepulauan Sangihe memulihkan tenaga sebelum memindahkan jenazah akibat Covid-19. Kacamata penuh embun adalah salah satu hal yang sering dihadapi oleh mereka, di balik alat pelindung diri yang mereka kenakan. (Stenly Pontolawokang/National Geographic Indonesia)

"Kalau membuka keran, semestisnya harus tahu kemana air akan mengalir, dan tindakan apa yang mau diambil. Ya harus membersihkan dan harus diatasi," kata Irma. "Solusi konkritnya adalah memberi bantuan medis pada siapapun yang mebutuhkan. Sesak itu kondisi yang sangat perlu ditolong."

Dia menambahkan, sebaiknya berhentilah membuat citra seolah kondisi pagebluk di Indonesia sedang baik-baik saja. Sebab ada banyak pasien dan tenaga kesehatan yang meninggal akibat krisis ini.

Untuk mengatasi krisis ini, Nadia menyampaikan, Kementerian Kesehatan sudah melakukan tiga upaya.

Yakni memastikan pasokan oksigen nasional untuk memenuhi kebutuhan di pulau Jawa, mengkonversi kebutuhan industri untuk kebutuhan medis, dan meminta supply tambahan dari beberapa BUMN yang menghasilkan gas untuk industri agar memenuhi kebutuhan oksigen medis.

Baca Juga: LIPI Tawarkan Solusi untuk Masalah Limbah Masker Sekali Pakai