Nationalgeographic.co.id—Beberapa hari ini berseliweran video yang menunjukkan beberapa orang berebut membeli susu bermerek Bear Brand di sebuah supermarket di Indonesia. Kemudian ada juga laporan bahwa beberapa penjual online mulai menjual susu tersebut dengan harga tak wajar. Ada yang menjualnya dengan harga Rp50.000 per kaleng kecil (189 mililiter) susu Bear Brand.
Kondisi panic buying ini terjadi karena ada rumor bahwa susu Bear Brand dapat mengobati penyakit COVID-19. Meskipun rumor tersebut terlalu tidak logis, sejumlah pakar merasa perlu buka suara untuk menanggapi rumor tak bertanggung jawab tersebut. Salah satu ilmuwan yang turut buka suara adalah Dr. Faheem Younus, MD, dokter sekaligus pakar kesehatan dari Amerika Serikat.
Dalam salah satu cuitan di akun Twitternya, Younus mengunggah gambar susu Bear Brand. "Susu ini (Bear Brand), atau vitamin, atau ivermectin tidak memiliki peran dalam pengobatan COVID." tulis Younus dalam cuitan di akun Twitternya itu.
Ada pula pakar dari dalam negeri juga turut mengomentar panic buying susu Bear Brand di Indonesia. Dr. Epi Taufik, Kepala Divisi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Tekologi, Peternakan Fakultas Peternakan IPB, menegaskan bahwa "susu bukanlah obat atau vaksin." Susu adalah bahan pangan. "Sebagaimana bahan pangan lainnya, susu merupakan sumber nutrisi bagi tubuh untuk menjaga proses metabolisme normal termasuk mencegah inflamasi juga meningkatkan imunitas tubuh," ujar Epi Taufik dalam keterangan pers tertulisnya.
Epi menjelaskan bahwa prinsip dasar dari kualitas nutrisi bahan pangan, termasuk susu, adalah semakin segar bahan pangan tersebut saat dikonsumsi, maka kandungan nutrisinya relatif masih lengkap. Dalam konteks susu, maka susu pasteurisasi masih memiliki kandungan gizi alami yang relatif masih lengkap dibandingkan susu UHT/steril.
Proses pengolahan susu ini memang akan mempengaruhi kandungan nutrisi. Namun pengaruhnya tentu tergantung metode dan proses pengolahannya. Ada yang sangat minim, ada juga yang cukup besar penurunannya.
Adapun terkait susu Bear Brand, menurut Epi, "Susu dengan 'merek tertentu', yang sempat menjadi berita viral di medsos, adalah salah satu jenis susu steril. Dalam konteks kandungan nutrisinya, tidak berbeda nyata dengan jenis susu sejenis (steril dan/atau UHT) dari merek-merek lainnya."
Perbedaan yang ada biasanya pada bahan baku atau formulasi susu steril/UHT tersebut. "Susu 'merek tertentu' ini dalam kemasannya mencantumkan 100% berbahan baku susu segar," kata Epi. Namun demikian, menurutnya, susu sejenis dari “merek lain” pun ada yang berbahan baku 100% susu segar juga. Adapun beberapa susu sejenis dari “merek lain” memang ada yang menggunakan bahan tambahan lain selain susu segar, misalnya susu bubuk skim, laktosa, penstabil, dan lain-lain.
Baca Juga: Faskes Indonesia Kolaps, Sebulan Ini 265 Pasien Isoman COVID-19 Wafat
"Dengan demikian," Epi menegaskan, "masyarakat tidak perlu panik, karena semua jenis olahan susu cair baik itu pasteurisasi, steril dan/atau UHT dari berbagai merk yang beredar di pasaran memiliki kandungan nilai gizi yang hampir sama sehingga manfaat kesehatan yang didapatkan pun relatif sama."
Epi menyarankan perlunya kesadaran masyarakat/konsumen untuk mengonsumsi susu dan juga produk olahan susu lainnya dalam rangka menjaga status kesehatan termasuk imunitas tubuh. "Bagi masyarakat/konsumen, teruskan mengkonsumsi susu dan protein hewani lainnya (daging, telur) juga protein nabati (sayur, sereal dan buah) sebagai sumber serat yang tidak dimiliki susu, dalam rangka melakukan pola makan yang sehat beragam dan seimbang," imbau Epi.
Ia juga mengimbau kepada para pelaku pasar untuk tidak mengambil keuntungan sesaat dengan menaikkan harga jual produk susu di luar kewajaran dengan memanfaatkan kepanikan masyarakat disaat kondisi pandemi. Ia juga turut mengimbau agar pemerintah bersama pengusaha industri pangan dan peternak/petani untuk dapat menjamin pasokan produk-produk olahan pangan. Artinya, ada itikad untuk berupaya menjaga ketersediaan dan keterjangkuan harga belinya bagi masyarakat secara umum.
Baca Juga: Data Twitter Bisa Bantu Prediksi Wilayah yang Akan Terdampak COVID-19