Para arkeolog meyakini bahwa penduduk asli Algonkia mengukir petroglif antara tahun 900 dan 1400. Seni cadas yang dibuat masyarakat prasejarah ini tidak bisa menentukan penanggalan secara akurat karena kurangnya bahan karbon dan artefak.
Biasanya, penanggalan yang ditemukan di dekat situs hanya mengungkapkan informasi tentang orang terakhir yang berada di sana. Mereka bisa ribuan tahun lebih tua dari yang diizinkan para arkeolog.
Ada beberapa misteri lain seputar petroglif yang luar biasa ini. Ukiran perahu tidak memiliki kemiripan dengan perahu tradisional penduduk asli Amerika. Seorang profesor Harvard percaya bahwa petroglif adalah prasasti yang ditinggalkan oleh seorang raja Nordik bernama Woden-lithi dan diyakini telah berlayar dari Norwegia menyusuri Sungai St. Lawrence sekitar 1700 SM, jauh sebelum Penjelajahan Viking Greenland.
Kapal lain yang digambarkan dalam petroglif adalah kapal besar dengan dayung dan figur kepala di haluan dan buritan. Ada dayung kemudi besar di buritan, fitur yang diperlukan hanya untuk kapal yang panjangnya 100 kaki atau lebih.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
Namun, orang-orang Algonkian yang mendiami wilayah itu tidak pernah menghasilkan sesuatu yang lebih layak daripada kano kulit pohon birch. Para arkeolog berspekulasi bahwa kapal-kapal itu hanyalah gagasan dukun tentang kano ajaib yang menjelajahi alam semesta.
Keunikan lainnya adalah figur kepala di haluan dan buritan yang menyerupai burung. Desain yang sama dapat dilihat pada karya emas repousse Etruscan abad ke-9 SM. Kapal berkepala burung digambarkan 200 tahun sebelumnya, ketika seniman Mesir mengukir gambar mereka ke dinding "Kuil Kemenangan" Firaun Ramses III di Lembah Para Raja.
Namun misteri lain adalah kehadiran di petroglif sosok tinggi atau 'dewa' yang berdiri dengan lengan akimbo dan dengan sinar halo memancar. Seperti diketahui, halo adalah lingkaran sinar putih yang ada pada Matahari. Para ilmuwan berpikir sosok itu mungkin mewakili emas matahari tetapi tidak ada kasus pemujaan matahari yang diketahui di antara penduduk asli wilayah tersebut.
Beberapa sejarawan dan peneliti percaya ada lebih banyak petroglif daripada yang terlihat. Sebagian berpendapat bahwa mereka sebenarnya adalah peta langit berdasarkan tradisi Eropa dari 3100 SM. Kini, petroglif Peterborough tetap menjadi teka-teki menarik, semacam kode yang kuncinya masih hilang.
Baca Juga: Di Antara Perairan Surgawi Papua, Leluhur Nusantara Membuat Coretan Unik Tentang Perjalanan Manusia