Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 10 Juli 2021 | 12:00 WIB
Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken. (Djuli Pamungkas/National Geographic Indonesia)

 

Partisipan dalam riset ini meliputi 68 perempuan yang diwawancarai dari beberapa kelompok seperti pekerja, aktivis di bidang sosial-keagamaan, kalangan minoritas, dan penyandang disabilitas.

Karena bidang kajian ini berfokus pada keagamaan, para responden itu terdiri dari 35 muslim, 15 kristiani, 10 beragama Katolik, lima beragama Hindu, satu beragama Buddha, dan dua penganut kepercayaan leluhur. Mereka juga menyertakan tiga orang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

Hasilnya, para peneliti menemukan adanya pergeseran otoritas keagamaan domestik yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki.

"Perpindahan itu terjadi sangat halus. Meski demikian, infrastruktur teologis tetap saja tidak berubah dan tidak banyak memberi apresiasi terhadap peranan mereka, terlebih pada perempuan penyandang disabilitas," ungkap Leonard, penulis pertama penelitian itu di media sosialnya.

 

Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?

Pengantin perempuan nan cantik dalam upacara ciotau yang masih kerap dijumpai di Cina Benteng, Tangerang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sebagai contohnya, Ida memaparkan fenomena ini terjadi pada informan perempuan Muslim. Ketika pagebluk, ibadah dilakukan di dalam rumah, dan ternyata para suami sedikit memiliki hafalan.

Padahal mereka semestinya menjadi imam untuk shalat Tarawih yang memiliki bacaan doa yang banyak. Di sini, para istri berperan untuk membantu suami menghafal doa, karena kemampuan tersebut umum dimiliki mereka.

"Kemudian anak kan nurut sama ibu ketika disuruh beribadah di rumah. Jadi otoritas ini bergeser, meski secara halus, memengaruhi keluarga," Ida menambahkan. "Para ibu ini juga ngoprak-ngoprak (mendorong) keluarganya untuk mengikuti Misa online bagi yang beragama Kristen atau Katolik."

 

Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?

Yopince Hanasbey (51), warga Kampung Enggros dan seorang guru sekolah dasar. Bersama kaum perempuan lainnya, ia biasa mencari kerang di Hutan Perempuan, Teluk Youtefa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Sedangkan perempuan dari kalangan penyandang disabilitas mengalami tantangan yang semakin berat. Sebelum pagebluk terjadi, mereka mendapat stigma atas ketidakmampuannya.

Padahal sebenarnya mereka beraktivitas untuk menunjang ekonominya, papar Ida. Tetapi saat pagebluk merambah untuk menjaga jarak, akibatnya bantuan pihak lain tidak bisa mendukung aktivitasnya, penggunaan ojek sebagai misalnya.

Pada hasil terkait kelompok minoritas seperti Sunda Wiwitan, Hakka, dan Ahmadiyah, mereka lebih cenderung aktif lewat kegiatan sosial.

 

Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara