Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 10 Juli 2021 | 12:00 WIB
Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken. (Djuli Pamungkas/National Geographic Indonesia)

 

Dalam laporan para peneliti, aktivitas kelompok minoritas ini membuat mereka lebih bisa diterima secara sosial. Kecenderungan ini muncul lantaran mereka sendiri kerap mendapatkan sambutan yang kurang baik di kalangan masyarakat.

Sedangkan kelompok pekerja, perempuan mendapatkan tantangan lain. Mereka mendapatkan beban ganda karena harus bekerja dari rumah (work from home), sekaligus menangani urusan keseharian rumah tangga.

Kegiatan rutin para perempuan Nagari Pariangan di sektor domestik. Pekerjaan rumah tangga didominasi oleh para parempuan, seperti berbelanja kebutuhan mingguan dari pasar Simabur yang berjarak tiga kilometer dari Jorong Pariangan setiap hari Senin. (Muhammad Alzaki Tristi)

Ida menyebut, perempuan harus menjadi ahli gizi, guru untuk anak-anaknya yang sekolah, mengajarkan nilai agama, dan harus menjadi psikolog bagi suaminya yang tertekan karena PHK.

Akibatnya, tidak mudah bagi mereka untuk mengerjakan pekerjaan. Terutama, dalam keluarga yang tidak memiliki ruang kerja atau kamar sendiri-sendiri, membuat situasi bekerja makin tidak kondusif.

Salah satu rangkaian mararik dalam tradisi pernikahan di suku Sasak. Tradisi merari’ diawali dengan pinangan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan pada malam hari. Gadis yang dipinang kemudian dibawa lari untuk dijadikan sebagai istri. Di era modern seperti saat ini, budaya merari' masih lestari. (Samana)

 

"Ketika mempresentasikan hasil riset ini di ISRL (International Symposium on Religious Life) 2020, kami mendapat masukan yang bagus, bahwa membicarakan perempuan seharusnya juga melibatkan laki-laki. Karena situasi perempuan hanya akan berubah jika kedua pihak melakukan perubahan,” Ida menerangkan.

"Jadi laki-laki harus dilibatkan dalam diskusi untuk hal seperti itu, yaitu berbagi beban dan peran. Tidak ada cara lain. Suami bolehlah juga mencuci, memasak, dan sebagainya, jika diperlukan. Apalagi, itu tujuannya demi keluarga."

 

Baca Juga: Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

Beberapa orang perempuan berpakaian tradisional sedang melihat salah satu pertunjukan Pasa Harau Art & Culture Festival di Lembah Harau. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Leonard mengaku, bahwa penelitian ini masih awal, terbatas, dan tidak bisa merangkum respons semua perempuan di masa pagebluk. Kendati demikian, temuan ini dapat memberi gambaran apa yang dialami.

Ida menambahkan, “Dari riset ini terlihat bagaimana situasinya dan manuver yang mereka lakukan. Harapannya kita semua bisa mengetahui, lalu berbagi beban dan peran,” Ida menambahkan.

Merupakan hal yang sangat mungkin untuk mengembangkan penelitian ini. Ida menduga akan adanya perempuan yang semakin tertekan dan rentan, terutama yang harus berperan dalam penanganan penderita anggota keluarganya di rumah saat isolasi mandiri.

Baca Juga: Prajurit Estri, Perempuan Perkasa yang Ditakuti Pemerintah Kolonial