Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 10 Juli 2021 | 12:00 WIB
Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken. (Djuli Pamungkas/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Selama pagebluk Covid-19, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat berdasarkan laporan Komnas Perempuan. Grafik laporan pengaduan selama 2020 menunjukkan kecenderungan mulai meningkat pada Maret, dan angkanya relatif stabil hingga Desember. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, salah satu kelompok yang rentan terjadi di sektor rumah tangga.

Dalam paparan bertajuk Women, Religion and COVID-19: Cohesive Agency, Resilience-Building and Inter-spatial Performance dalam International Symposium on Religious Life pada November 2020, para peneliti multidisiplin mengemukakan temuan berbeda. Perempuan selama pagebluk melakukan manuver dengan ragam kegiatan pemberdayaan, hingga keagamaan, demikian ungkap mereka.

"Perempuan itu memang rentan, tapi penelitian kami menunjukkan mereka bermanuver," ujar Ida Fitri Astuti dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, salah satu penelitinya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Jumat (09/07/2021).

"Perempuan ini berdaya, bermanuver, tidak hanya diam," ujar Ida.

Riset itu dilaksanakan selama Mei hingga Agustus 2020, bersama Leonard Chrysostomos Epafras dari Universitas Kristen Duta Wacana, empat mahasiswa, dan lima peneliti daerah.

 

Untuk mendapatkan hasil, masing-masing mengumpulkan data dari 10 kota; Bandung, Banda Aceh, Denpasar, Madiun, Malang, Pontianak, Ruteng-Labuan Bajo, Salatiga, Tomohon-Manado, dan Yogyakarta.

Perempuan Aru mengenakan pakaian tradisional, lengkap dengan manik dan penutup kepala. (Feri Latief/ National Geographic Traveler)

 

 

Partisipan dalam riset ini meliputi 68 perempuan yang diwawancarai dari beberapa kelompok seperti pekerja, aktivis di bidang sosial-keagamaan, kalangan minoritas, dan penyandang disabilitas.

Karena bidang kajian ini berfokus pada keagamaan, para responden itu terdiri dari 35 muslim, 15 kristiani, 10 beragama Katolik, lima beragama Hindu, satu beragama Buddha, dan dua penganut kepercayaan leluhur. Mereka juga menyertakan tiga orang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

Hasilnya, para peneliti menemukan adanya pergeseran otoritas keagamaan domestik yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki.

"Perpindahan itu terjadi sangat halus. Meski demikian, infrastruktur teologis tetap saja tidak berubah dan tidak banyak memberi apresiasi terhadap peranan mereka, terlebih pada perempuan penyandang disabilitas," ungkap Leonard, penulis pertama penelitian itu di media sosialnya.

 

Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?

Pengantin perempuan nan cantik dalam upacara ciotau yang masih kerap dijumpai di Cina Benteng, Tangerang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sebagai contohnya, Ida memaparkan fenomena ini terjadi pada informan perempuan Muslim. Ketika pagebluk, ibadah dilakukan di dalam rumah, dan ternyata para suami sedikit memiliki hafalan.

Padahal mereka semestinya menjadi imam untuk shalat Tarawih yang memiliki bacaan doa yang banyak. Di sini, para istri berperan untuk membantu suami menghafal doa, karena kemampuan tersebut umum dimiliki mereka.

"Kemudian anak kan nurut sama ibu ketika disuruh beribadah di rumah. Jadi otoritas ini bergeser, meski secara halus, memengaruhi keluarga," Ida menambahkan. "Para ibu ini juga ngoprak-ngoprak (mendorong) keluarganya untuk mengikuti Misa online bagi yang beragama Kristen atau Katolik."

 

Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?

Yopince Hanasbey (51), warga Kampung Enggros dan seorang guru sekolah dasar. Bersama kaum perempuan lainnya, ia biasa mencari kerang di Hutan Perempuan, Teluk Youtefa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Sedangkan perempuan dari kalangan penyandang disabilitas mengalami tantangan yang semakin berat. Sebelum pagebluk terjadi, mereka mendapat stigma atas ketidakmampuannya.

Padahal sebenarnya mereka beraktivitas untuk menunjang ekonominya, papar Ida. Tetapi saat pagebluk merambah untuk menjaga jarak, akibatnya bantuan pihak lain tidak bisa mendukung aktivitasnya, penggunaan ojek sebagai misalnya.

Pada hasil terkait kelompok minoritas seperti Sunda Wiwitan, Hakka, dan Ahmadiyah, mereka lebih cenderung aktif lewat kegiatan sosial.

 

Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara

 

Dalam laporan para peneliti, aktivitas kelompok minoritas ini membuat mereka lebih bisa diterima secara sosial. Kecenderungan ini muncul lantaran mereka sendiri kerap mendapatkan sambutan yang kurang baik di kalangan masyarakat.

Sedangkan kelompok pekerja, perempuan mendapatkan tantangan lain. Mereka mendapatkan beban ganda karena harus bekerja dari rumah (work from home), sekaligus menangani urusan keseharian rumah tangga.

Kegiatan rutin para perempuan Nagari Pariangan di sektor domestik. Pekerjaan rumah tangga didominasi oleh para parempuan, seperti berbelanja kebutuhan mingguan dari pasar Simabur yang berjarak tiga kilometer dari Jorong Pariangan setiap hari Senin. (Muhammad Alzaki Tristi)

Ida menyebut, perempuan harus menjadi ahli gizi, guru untuk anak-anaknya yang sekolah, mengajarkan nilai agama, dan harus menjadi psikolog bagi suaminya yang tertekan karena PHK.

Akibatnya, tidak mudah bagi mereka untuk mengerjakan pekerjaan. Terutama, dalam keluarga yang tidak memiliki ruang kerja atau kamar sendiri-sendiri, membuat situasi bekerja makin tidak kondusif.

Salah satu rangkaian mararik dalam tradisi pernikahan di suku Sasak. Tradisi merari’ diawali dengan pinangan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan pada malam hari. Gadis yang dipinang kemudian dibawa lari untuk dijadikan sebagai istri. Di era modern seperti saat ini, budaya merari' masih lestari. (Samana)

 

"Ketika mempresentasikan hasil riset ini di ISRL (International Symposium on Religious Life) 2020, kami mendapat masukan yang bagus, bahwa membicarakan perempuan seharusnya juga melibatkan laki-laki. Karena situasi perempuan hanya akan berubah jika kedua pihak melakukan perubahan,” Ida menerangkan.

"Jadi laki-laki harus dilibatkan dalam diskusi untuk hal seperti itu, yaitu berbagi beban dan peran. Tidak ada cara lain. Suami bolehlah juga mencuci, memasak, dan sebagainya, jika diperlukan. Apalagi, itu tujuannya demi keluarga."

 

Baca Juga: Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

Beberapa orang perempuan berpakaian tradisional sedang melihat salah satu pertunjukan Pasa Harau Art & Culture Festival di Lembah Harau. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Leonard mengaku, bahwa penelitian ini masih awal, terbatas, dan tidak bisa merangkum respons semua perempuan di masa pagebluk. Kendati demikian, temuan ini dapat memberi gambaran apa yang dialami.

Ida menambahkan, “Dari riset ini terlihat bagaimana situasinya dan manuver yang mereka lakukan. Harapannya kita semua bisa mengetahui, lalu berbagi beban dan peran,” Ida menambahkan.

Merupakan hal yang sangat mungkin untuk mengembangkan penelitian ini. Ida menduga akan adanya perempuan yang semakin tertekan dan rentan, terutama yang harus berperan dalam penanganan penderita anggota keluarganya di rumah saat isolasi mandiri.

Baca Juga: Prajurit Estri, Perempuan Perkasa yang Ditakuti Pemerintah Kolonial