Emi juga menyatakan bahwa kematian nakes mungkin juga dikontribusikan oleh banyaknya bidan yang dilibatkan sebagai vaksinator tanpa APD yang lengkap. Keterpaparan yang meningkat juga menyumbang pada kematian di kalangan bidan. “Padahal seluruh bidan sudah divaksin,” ucap Emi.
Harif Fadhilah, S.Kp, SH, M.Kep, MH, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), mengatakan bahwa tekanan yang dipikul oleh perawat juga sangat besar. “Dengan kasus yang meningkat, dan jumlah perawat yang berkurang, maka beban fisik dan mental juga bertambah. Dalam satu minggu, perawat bahkan mengalami mengalami kekerasan fisik saat pelayanannya.”
Harif juga menyoroti beban ganda yang dipikul oleh perawat di puskesmas. “Mereka harus melakukan vaksinasi, dengan target vaksinasi yang tinggi, belum lagi tugas-tugas lainnya."
Ia juga menyoroti pada perlindungan yang sangat rendah bagi perawat, seperti permasalahan pada insentif dan juga fasilitas kesehatan bagi perawat yang terpapar. “Perlindungan bagi perawat perlu dijamin sedemikian rupa. Vaccination booster mungkin juga perlu diusulkan, tentunya setelah mendapat persetujuan ilmiah dan kajian studi.”
Baca Juga: Cerita Syafiq, Tim Relawan Penjemput Jenazah Covid-19 Yogyakarta
Senada dengan Harif, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih, S.Kp., M.Kes, perwakilan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PPNI Jawa Timur, juga memohon perlindungan bagi nakes. “Perawat 24 jam bersama pasien, sehingga diperlukan tenaga tambahan. Karena, kami bisa melihat antrean di IGD hingga 40-50 pasien.”
Jawa Timur sendiri merupakan provinsi yang menyumbang kematian perawat tertinggi di Indonesia. Dari 373 perawat di Indonesia yang gugur, 140-nya adalah perawat dari Jawa Timur, dengan 22 kematian pada bulan Juli 2021.
Sri Suhardiningsih juga menyoroti sulitnya mendapatkan tenaga tambahan. “Insentif yang sulit dicairkan membuat relawan enggan menjadi tenaga tambahan," katanya.
Baca Juga: Efek Transplantasi Tinja pada Pasien COVID-19 Akan Diuji Klinis
Ia mencatat, penambahan relawan tidak cukup apabila penanganan pada hulu tidak berjalan. Jadi, ia menegaskan, pelaksanaan PPKM darurat harus dilakukan ketat, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat oleh warga.
Menutup konferensi pers, dr. Aldila S. Al Arfah, dari Muhammadiyah Covid-19 Command Centre, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki manajemen komunikasi publik dan transparansi komunikasi. “Komunikasi yang ditujukan bukan untuk menenangkan, namun untuk menstimulus sense of crisis agar fokus kita pada COVID-19. Kami berharap kehadiran pemimpin untuk bertanggung jawab dalam hal komunikasi sehingga transparansi keadaan pandemi Covid-19 tercapai”.
Selain itu, Aldila juga menyarankan perlu adanya mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa-Bali agar nakes tidak kelelahan. Menurutnya, pasokan serta harga gas oksigen dan obat juga menjadi masalah yang perlu harus diatasi. “Pemerintah perlu hadir untuk memastikan ketersediaan stok ini,” tegasnya.