Alarm Bahaya dari Tenaga Kesehatan: 'Ini Sudah Functional Collapse'

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 10 Juli 2021 | 11:00 WIB
Perlunya komunikasi publik yang ditujukan bukan untuk menenangkan, tetapi untuk menstimulus 'sense of crisis' agar kita fokus pada penanganan COVID-19. (DWI OBLO)

Nationalgeographic.co.id—Selama 9 hari pertama bulan Juli 2021 per pukul 14.00 WIB, LaporCovid-19 mencatat setidaknya 86 tenaga kesehatan (nakes) yang berpulang akibat COVID-19. Total jumlah kematian tenaga kesehatan yang tercatat oleh LaporCovid-19 per 9 Juli puku 14.00 WIB adalah 1.183 tenaga kesehatan.

Konferensi pers bersama dengan beberapa organisasi profesi menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap nakes diperlukan. Sebab, sudah semakin banyak nakes yang terpapar Covid-19, terutama di bulan Juni dan Juli ini. Upaya perlindungan ini dapat diimplementasikan dengan membuat zonasi fasilitas kesehatan, sistem shift, pasokan APD, suplemen, dan vitamin kepada tenaga kesehatan.

Di dalam konferensi pers tersebut, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis LaporCovid-19, dr. Adib Khumaidi, Sp.OT, ketua Tim Mitigasi Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), mengatakan bahwa per 8 Juli 2021 terdapat 458 dokter yang meninggal akibat COVID-19. “Di bulan Juni 2021 kenaikan kematian dokter meningkat 7 kali lipat di dibandingkan bulan Mei 2021, dengan di bulan Juli saja sudah tercatat 35 dokter meninggal.”

Dokter Adib Khumaidi, Sp.OT juga menjelaskan bahwa ada banyak dokter yang terpapar di tengah ledakan kasus saat ini. “Banyak nakes yang terpapar dan ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah, terutama di wilayah Jawa Timur. 124 dokter yang sakit di Surabaya, beberapa kritis dan bahkan meninggal. Di Yogyakarta, 167 dokter terpapar, dengan beberapa juga meninggal. Hal ini mempengaruhi layanan kesehatan yang dapat diberikan kepada warga di lapangan.”

Melihat kondisi ini, dr. Adib Khumaidi mengatakan bahwa kondisi "ini adalah functional collapse". Dia menambahkan, “Kebutuhan masyarakat sangat tinggi (pasien yang terus mengalir), namun banyak dokter yang sudah sakit, sehingga jika tidak ada intervensi di hulu, maka akan terus memberikan risiko kepada nakes.”

Demi perlindungan dan keamanan di fasilitas kesehatan, diperlukan zonasi di fasilitas kesehatan dan triase pre-RS, “Harus ada fasilitas khusus COVID-19 saja. Selain itu harus ada upaya pemberdayaan nakes dengan sistem shift dan memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan masyarakat”

Baca Juga: Faskes Indonesia Kolaps, Sebulan Ini 265 Pasien Isoman COVID-19 Wafat

Empat varian berkumpul di Jakarta, sehingga mengakibatkan angka pagebluk Covid-19 melonjak. Apakah dosis vaksinasi ketiga menjadi jawabannya? (pharmaceutical-technology)

Mengenai program vaksinasi yang sudah diberikan kepada dokter namun tingkat kematian masih tinggi, dr. Adib membenarkan tapi angka kematiannya lebih rendah dibanding yang belum divaksin. Ia menjelaskan bahwa pada 86 dokter yang meninggal dari Februari hingga 24 Juni 2021, 17 orang dari mereka telah menerima vaksin lengkap dan 4 orang telah menerima vaksin 1 dosis. “Ada sekitar 41% yang belum divaksin, dengan alasan faktor komorbid atau sedang sakit, namun kami masih telusuri,” tuturnya.

Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dr. Emi Nurjasmi, M.Kes, juga turut buka suara. Ia mengatakan bahwa selama pandemi ini total bidan yang meninggal akibat COVID-19 adalah 208 orang, dengan 39 bidan meninggal selama bulan Juli 2021 berdasarkan data per 8 Juli.

“Permasalahan untuk bidan adalah ketika ibu hamil positif tidak dapat dirujuk RS, maka pasien harus ditangani oleh bidan, padahal risiko sudah tinggi terutama karena fasilitas untuk COVID-19 belum memadai khususnya untuk klinik mandiri. Bahkan karena banyaknya pasien, bidang yang sedang isolasi mandiri juga harus masuk,” beber dr. Emi di konferensi pers tersebut.

Baca Juga: Satu Tahun Corona di Indonesia: Pandemi Ini Diprediksi Jadi Endemik

Emi juga menyatakan bahwa kematian nakes mungkin juga dikontribusikan oleh banyaknya bidan yang dilibatkan sebagai vaksinator tanpa APD yang lengkap. Keterpaparan yang meningkat juga menyumbang pada kematian di kalangan bidan. “Padahal seluruh bidan sudah divaksin,” ucap Emi.

Harif Fadhilah, S.Kp, SH, M.Kep, MH, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), mengatakan bahwa tekanan yang dipikul oleh perawat juga sangat besar. “Dengan kasus yang meningkat, dan jumlah perawat yang berkurang, maka beban fisik dan mental juga bertambah. Dalam satu minggu, perawat bahkan mengalami mengalami kekerasan fisik saat pelayanannya.”

Harif juga menyoroti beban ganda yang dipikul oleh perawat di puskesmas. “Mereka harus melakukan vaksinasi, dengan target vaksinasi yang tinggi, belum lagi tugas-tugas lainnya."

Ia juga menyoroti pada perlindungan yang sangat rendah bagi perawat, seperti permasalahan pada insentif dan juga fasilitas kesehatan bagi perawat yang terpapar. “Perlindungan bagi perawat perlu dijamin sedemikian rupa. Vaccination booster mungkin juga perlu diusulkan, tentunya setelah mendapat persetujuan ilmiah dan kajian studi.”

Baca Juga: Cerita Syafiq, Tim Relawan Penjemput Jenazah Covid-19 Yogyakarta

Pemakaman yang dilakukan oleh relawan MCCC kepada jenazah pasien Covid-19 pada 27 Juni 2021. (MDMC)

Senada dengan Harif, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih, S.Kp., M.Kes, perwakilan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PPNI Jawa Timur, juga memohon perlindungan bagi nakes. “Perawat 24 jam bersama pasien, sehingga diperlukan tenaga tambahan. Karena, kami bisa melihat antrean di IGD hingga 40-50 pasien.”

Jawa Timur sendiri merupakan provinsi yang menyumbang kematian perawat tertinggi di Indonesia. Dari 373 perawat di Indonesia yang gugur, 140-nya adalah perawat dari Jawa Timur, dengan 22 kematian pada bulan Juli 2021.

Sri Suhardiningsih juga menyoroti sulitnya mendapatkan tenaga tambahan. “Insentif yang sulit dicairkan membuat relawan enggan menjadi tenaga tambahan," katanya.

Baca Juga: Efek Transplantasi Tinja pada Pasien COVID-19 Akan Diuji Klinis

 

Ia mencatat, penambahan relawan tidak cukup apabila penanganan pada hulu tidak berjalan. Jadi, ia menegaskan, pelaksanaan PPKM darurat harus dilakukan ketat, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat oleh warga.

Menutup konferensi pers, dr. Aldila S. Al Arfah, dari Muhammadiyah Covid-19 Command Centre, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki manajemen komunikasi publik dan transparansi komunikasi. “Komunikasi yang ditujukan bukan untuk menenangkan, namun untuk menstimulus sense of crisis agar fokus kita pada COVID-19. Kami berharap kehadiran pemimpin untuk bertanggung jawab dalam hal komunikasi sehingga transparansi keadaan pandemi Covid-19 tercapai”.

Selain itu, Aldila juga menyarankan perlu adanya mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa-Bali agar nakes tidak kelelahan. Menurutnya, pasokan serta harga gas oksigen dan obat juga menjadi masalah yang perlu harus diatasi. “Pemerintah perlu hadir untuk memastikan ketersediaan stok ini,” tegasnya.