Harga Sejati Emas

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

Harta emas yang dikenakan Nagavi—bersama perhiasan dan kain sari yang dikemas di dalam bagasi mobil SUV yang membawanya ke gedung pernikahan—bukanlah mas kawin tradisional. Di kalangan pekebun kopi di kota Chikmagalur, tidak seperti di banyak bagian yang lebih miskin di negeri ini, dianggap tidak pantas jika keluarga pengantin pria menyatakan tuntutan secara gamblang. “Perhiasan emas ini dipandang sebagai ‘bagian’ saya dalam kekayaan keluarga,” kata Nagavi, sambil menatap jutaan dolar dalam bentuk perhiasan emas.

Tidak ada obsesi terhadap emas di dunia ini yang lebih kental secara budaya daripada di India. Penghasilan per kapita di negara berpenduduk satu miliar jiwa ini adalah sekitar 27 juta rupiah, tetapi India adalah pemimpin terdepan di dunia dalam hal permintaan akan emas selama beberapa dasawarsa ini. Pada tahun 2007, India mengonsumsi 773,6 ton emas, sekitar 20 persen pasar emas dunia dan lebih dari dua kali lipat jumlah yang dibeli oleh pengikutnya yang terdekat, China (363,3 ton) dan AS (278,1 ton). India sendiri menghasilkan sedikit sekali emas, tetapi warganya menumpuk hingga 18.000 ton logam kuning ini—lebih dari 40 kali jumlah yang disimpan di bank sentral negara itu.

Kecintaan India akan emas ini tidak semata-mata berasal dari kesukaan untuk bermewah-mewah atau karena meningkatnya kemakmuran masyarakat kelas menengah yang sedang muncul. Bagi umat Muslim, Hindu, Sikh, dan Kristiani pun, emas berperan penting dalam hampir setiap perubahan dalam kehidupan—terutama ketika sepasang anak manusia menikah. Terdapat sekitar sepuluh juta pernikahan di India setiap tahun, dan dalam hampir semua pernikahan itu, emas amatlah penting, baik sebagai ajang pameran maupun transaksi yang sarat oleh budaya antara keluarga dan generasi. “Sudah tertulis dalam DNA kami,” kata K. A. Babu, seorang manajer toko perhiasan Alapatt di barat daya kota Cochin. “Emas sama dengan masa depan yang cerah.”

Persamaan ini terwujud paling gamblang pada pesta musim semi di Akshaya Tritiya, yang dianggap sebagai hari paling baik untuk membeli emas dalam kalender Hindu. Jumlah perhiasan emas yang dibeli orang India pada hari tersebut—49 ton pada tahun 2008—jauh melampaui jumlah yang dibeli di hari lain sepanjang tahun di seluruh dunia, sehingga sering memacu lonjakan harga emas.!break!

Namun, sepanjang tahun, pusat konsumsi emas adalah Kerala, negara bagian yang relatif makmur di ujung selatan India yang penduduknya hanya 3 persen dari populasi negara, tetapi pasar emasnya mencakup 7 sampai 8 persen. Ini karakteristik yang tidak lazim bagi suatu wilayah yang memiliki satu dari sejumlah pemerintahan Marxis yang dipilih secara demokratis di dunia tetapi hal ini sudah mengakar dalam sejarah. Sebagai pelabuhan penting dalam perdagangan rempah-rempah global, Kerala terpapar cukup dini pada emas, mulai dari bangsa Romawi yang menawarkan koin untuk mendapatkan lada, kapulaga, dan kayu manis hingga arus para penjajah berikutnya, bangsa Portugis, Belanda, Inggris. Namun, para sejarawan lokal mengatakan bahwa pemberontakan kawasan itu terhadap sistem kasta Hindu-lah (sebelum pemberontakan ini, kasta terendah diperbolehkan menghiasi diri mereka hanya dengan bebatuan dan tulang-belulang yang dikilapkan), dan konversi besar-besaran ke Kristen dan Islam yang terjadi selanjutnya, yang mengubah emas menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar perdagangan: lambang yang kuat dalam hal gerakan kemerdekaan dan kemajuan.

Meskipun sejarahnya panjang, kehausan Kerala akan emas paling terasa pada masa kini. Semua pedagang eceran emas terbesar di India berasal dari Kerala, dan 13 ruang pameran emas besar menyebabkan macetnya jalan utama Cochin sepanjang tiga kilometer, yakni Jalan Mahatma Gandhi. (Entah apa kata Mahatma yang hidupnya sangat bersahaja.) Mas kawin, meskipun secara resmi dilarang, tetap mendominasi acara pernikahan di India, dan di Kerala, bagian terbesar dari mas kawin biasanya emas.

Ketika bayi dilahirkan di Kerala, neneknya menggosok koin emas dengan madu, lalu meneteskan setetes cairan itu ke lidah si bayi agar mendapatkan keberuntungan. Pada semua peristiwa penting dalam kurun waktu enam bulan pertama, dari permandian hingga saat pertama kali menyantap makanan padat, si anak menerima hadiah berupa perhiasan emas: anting-anting, kalung, kalung perut.

Secara individu, tidak satu pun dari berbagai upacara ini yang mengungkapkan betapa dalamnya emas menyatu dalam perekonomian India. “Emas adalah landasan sistem keuangan kami,” ujar Babu, sang manajer toko perhiasan. “Orang memandangnya sebagai alat pengaman terbaik, dan tidak ada benda lain yang dapat dijual secepat emas.” Menyimpan emas sebagai tabungan keluarga antargenerasi merupakan tradisi kuno di India. Demikian pula menggadaikan perhiasan emas untuk mendapatkan pinjaman guna keperluan darurat—dan kemudian menebusnya kembali. Bank komersial masih tetap menawarkan layanan gadai, setelah upaya mereka untuk menghentikannya pada tahun 1990an mengakibatkan kerusuhan dan tindakan bunuh diri oleh nasabah yang terlilit utang, kemudian dikeluarkannya instruksi pemerintah untuk meneruskan praktik ini.!break!

Namun, banyak petani di Kerala lebih menyukai kecepatan dan kemudahan menghubungi “pemberi pinjaman pribadi” seperti George Varghese, yang melakukan kegiatannya dari rumahnya yang berjarak tiga jam perjalanan ke arah selatan Cochin. Sebagai seorang pria berusia 70an tahun yang sudah mulai botak, Varghese berkata bahwa dia memutarkan uang sekitar lima miliar rupiah sebulan dalam bentuk emas gadai, bahkan lebih banyak lagi pada masa panen dan musim pernikahan. Tak banyak orang yang tidak membayar. Tidak ada orang India yang bersedia kehilangan emasnya. “Bahkan ketika emas mencapai sekitar 10 juta per ounce, tidak ada yang menjual perhiasannya atau koinnya,” kata Varghese. “Ini adalah tabungan mereka, dan mereka percaya tabungan itu terus bertambah.”

Akan tetapi, karena harga logam mulia itu semakin mahal, keluarga India yang miskin semakin sulit mengumpulkan emas yang mereka perlukan untuk mas kawin. Meskipun mas kawin merupakan fungsi sosial—menyeimbangkan kekayaan antara keluarga pengantin wanita dan pengantin pria—kenaikan harga emas memperparah sisi negatifnya. Di negara bagian tetangga Tamil Nadu, perjuangan untuk mendapatkan emas menyebabkan kekerasan rumah tangga yang diakibatkan oleh mas kawin (biasanya ketika keluarga pengantin pria memukuli pengantin wanita karena hanya membawa emas dalam jumlah sangat sedikit) dan aborsi selektif (dilakukan oleh keluarga yang sangat ingin menghindari beban keuangan jika anak yang terlahir itu perempuan).

Bahkan di Kerala, tekanan itu kadang terlalu berat sehingga tidak tertahankan oleh keluarga miskin. Rajam Chidambaram, seorang janda berusia 59 tahun yang tinggal di permukiman kumuh di luar kota Cochin, belum lama ini menemukan seorang pemuda untuk menikahi putri tunggalnya yang berusia 27 tahun. Akan tetapi, keluarga pengantin pria, menuntut mas kawin yang jauh melampaui kemampuannya: 25 koin emas, atau 200 gram, emas (senilai sekitar 16,5 juta rupiah delapan tahun yang lalu, tetapi nilainya sekitar lebih dari 52 juta rupiah sekarang). Chidambaram, yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih, hanya memiliki dua anting-anting yang dikenakannya; kalung emas yang dulu pernah dipunyainya sudah tidak ada karena digunakan untuk membayar biaya rumah sakit suaminya yang sudah meninggal. “Saya harus memenuhi tuntutan pengantin pria,” kata Chidambaram, sambil menyeka air matanya. “Kalau saya menolak, putri saya akan tinggal di rumah untuk selamanya.”

Pada akhirnya, pemberi pinjaman setempat memberikan pinjaman untuk mas kawin putrinya. Chidambaram mungkin berhasil menghindari rasa malu karena punya anak perempuan yang tidak menikah, tetapi sekarang dia dibebani utang yang mungkin mengharuskannya menjalani seluruh sisa hidupnya untuk berusaha melunasinya.!break!