Harga Sejati Emas

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

Rosemery Sánchez Condori baru berusia sembilan tahun, tetapi punggung tangannya tampak mengilap seperti kulit yang sudah usang. Itulah yang terjadi apabila seorang anak perempuan menghabiskan waktu memukuli batu di bawah matahari Andes. Sejak ayah Rosemery jatuh sakit di tambang La Rinconada delapan tahun yang lalu, ibunya bekerja 11 jam sehari mengumpulkan batu di dekat tambang dan memukulinya dengan palu menjadi serpihan kecil-kecil untuk mencari emas yang mungkin luput dari penglihatan.

Di tambang-tambang berskala kecil di seluruh dunia, pencarian emas adalah usaha keluarga. Dari 10 hingga 15 juta penambang emas artisanal di dunia, sekitar 30 persen adalah wanita dan anak-anak. Di gunung di atas La Rinconada, kaum lelaki menghilang masuk ke dalam tambang, sementara istri mereka duduk di dekat tumpukan batu buangan, mengayun-ayunkan martil seberat dua kilogram dengan irama yang lemah. Karena tidak ada yang mengasuh anak di rumah dan membutuhkan penghasilan tambahan, para wanita yang mengenakan rok tradisional panjang dan topi bundar kadang-kadang mengajak anak-anak mereka. Ketidakpastian sistem lotre tambanglah—dan pengkhianatan banyak pria di sini—yang memaksa para wanita mendatangi gunung. Setidaknya mereka tahu bahwa enam atau delapan gram emas yang mereka dapatkan setiap bulan, setara dengan nilai sekitar 2 juta rupiah, akan diterima keluarga—bukan dihabiskan di bar kotor dan tempat pelacuran kumuh yang memenuhi daerah pelacuran kota.

Hanya emaslah, benda yang menjadi dambaan dan mengakibatkan kerusakan, yang dapat menciptakan tempat dengan kontradiksi yang mengejutkan seperti La Rinconada. Meskipun terpencil dan tidak ramah—pada ketinggian 5.100 meter, bahkan pasokan oksigen pun sedikit—namun kota itu tumbuh dengan sangat pesat. Ketika mendekati daerah permukiman dari seberang dataran tinggi, pengunjung mula-mula melihat kilapan bubungan atap di bawah sebuah gletser menakjubkan. Kemudian, tercium bau busuk. Bukan hanya karena sampah yang dibuang ke lereng gunung, tetapi limbah manusia dan industri yang memenuhi jalanan di daerah permukiman. Meskipun terus berkembang—jumlah tambang yang melubangi gletser itu melonjak dalam enam tahun dari 50 menjadi sekitar 250—La Rinconada hanya memiliki sedikit layanan pokok: tidak ada pipa air, tidak ada sanitasi, tidak ada pengendalian pencemaran, tidak ada kantor pos, bahkan tidak ada kantor polisi. Kantor polisi terdekat, yang hanya dilayani oleh beberapa orang polisi, berjarak satu jam menuruni gunung.

Pertumbuhan pesat La Rinconada dipacu oleh perpaduan antara naiknya harga emas dan, pada tahun 2002, masuknya aliran listrik. Sekarang para penambang menggunakan alat bor bertekanan udara selain palu dan pahat. Mesin penggiling batu tradisional yang digerakkan dengan kaki telah disisihkan oleh mesin penggiling listrik kecil. Listrik tidak membuat kegiatan penambangan menjadi lebih bersih; bahkan, merkuri dan bahan beracun lainnya dilepaskan ke lingkungan secara lebih cepat daripada sebelumnya. Meskipun demikian, hampir setiap orang sependapat bahwa La Rinconada belum pernah menghasilkan emas sebanyak sekarang. Perkiraan berkisar antara dua sampai sepuluh ton setahun, setara dengan nilai sekitar 600 miliar sampai 3 triliun rupiah. Namun, tidak seorang pun benar-benar tahu, karena sebagian besar emas di sini, sejujurnya, tak tercatat.!break!

Kementerian energi dan pertambangan Peru dengan tekun melacak emas yang dihasilkan negara, dan dengan alasan yang masuk akal: Emas adalah ekspor terbesar Peru, dan sekarang negara itu merupakan penghasil emas terbesar urutan kelima di dunia. Hasilnya sebesar 187,5 ton, lebih dari delapan kali lipat hasil tahun 1992. Namun, kementerian itu tidak memiliki kantor di La Rinconada, dan penduduk setempat berkata bahwa emas yang dihasilkan usaha pertambangan tidak dihitung dengan cermat, antara lain karena operator tambang biasanya mengecilkan angka produksi mereka untuk menghindari pajak. “Kami semua bangkrut!” kata salah satu di antara mereka sambil tertawa. “Atau setidaknya begitulah yang kami katakan.”

Penambang di La Rinconada pun banyak yang tidak tercatat. Tidak ada daftar gaji—hanya ada karung-karung berisi batu—dan beberapa operator tambang bahkan tidak mau repot-repot mencatat nama para pekerjanya. Para majikan, tentu saja, dapat menjadi kaya dengan jenis perbudakan terikat kontrak ini. Manajer salah satu operasi yang lebih besar di La Rinconada berkata bahwa tambangnya menghasilkan 50 kilo emas setiap tiga bulan—lebih dari sekitar 50 miliar rupiah setara dengan emas setiap tahun. Para pekerjanya, dari cachorreo bulanan, masing-masing berhasil mengekstraksi sekitar sepuluh gram emas, atau sekitar 30 juta rupiah setahun. Meskipun terdapat ketimpangan seperti ini, para penambang tidak melawan sistem ini; bahkan, mereka tampaknya lebih suka mendapatkan peluang kecil untuk sekali sebulan mendapatkan rezeki nomplok di tambang daripada kepastian suram mendapatkan upah kecil dan kemiskinan kronis dengan bekerja di ladang. “Ini lotre yang kejam,” kata Juan Apaza, penambang bergigi emas yang bekerja di gletser. “Namun, setidaknya peluang itu memberi kami harapan.”

Lotre yang lebih tidak berperasaan mungkin lotre yang dihadapi para penambang dan keluarga mereka, yakni berusaha untuk dapat tetap bertahan hidup di tempat yang begitu berbahaya dan tercemar itu. Harapan hidup di La Rinconada hanya 50 tahun, yakni 21 tahun lebih pendek daripada rata-rata nasional. Kecelakaan tambang yang mematikan sering terjadi, biasanya disebabkan oleh bahan peledak mentah yang ditangani oleh penambang yang tidak berpengalaman atau yang sedang mabuk. Seandainya ledakan itupun tidak menimbulkan korban tewas, asap karbon monoksida yang dihasilkannya bisa saja mematikan. Peru memiliki undang-undang tegas yang mengatur keamanan tambang, tetapi pengawasannya minim sekali di La Rinconada. “Dari 200 perusahaan pertambangan di sini, hanya lima perusahaan yang mewajibkan dipakainya perangkat perlengkapan keselamatan yang lengkap,” kata Andrés Paniura Quispe, seorang insinyur keselamatan yang bekerja di salah satu dari segelintir perusahaan yang menerapkan standar tinggi, tetapi tetap mengharuskan para penambang membeli sendiri perlengkapan tersebut.

Para penambang menyikapi genderang kematian dengan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Pepatah setempat mengatakan—“Al labor me voy, no sé si volveré”—yang berarti “Aku berangkat bekerja, entah apakah akan bisa kembali lagi.” Bahkan, kematian di tambang dipandang sebagai pertanda bagus bagi yang selamat. Persembahan berupa manusia, yang dipraktikkan di Andes selama berabad-abad, masih tetap dipandang sebagai bentuk tertinggi persembahan kepada para dewa gunung. Menurut kepercayaan setempat, proses kimia yaitu gunung menyerap otak manusia membawa bijih emas lebih dekat ke permukaan, sehingga lebih mudah diekstraksi.!break!

Namun, para dewa pasti tidak senang menyaksikan betapa lingkungan La Rinconada telah teracuni. Limbah selokan dan sampah di jalanan yang ramai tidak ada artinya jika dibandingkan dengan berton-ton merkuri yang dilepaskan selama proses pemisahan emas dari batu. Di tambang emas berskala kecil, UNIDO memperkirakan dua sampai lima gram merkuri dilepaskan ke lingkungan untuk setiap gram emas yang diperoleh—statistik yang mencengangkan, mengingat keracunan merkuri dapat menyebabkan kerusakan parah pada sistem saraf dan semua organ penting. Menurut pakar lingkungan asal Peru, merkuri yang dilepaskan di La Rinconada dan Ananea, kota tambang di dekatnya, mencemari sungai dan danau, terus hingga ke pantai Danau Titicaca, yang berjarak 250 kilometer.

Penduduk di sekitar La Rinconada mendapatkan penderitaan terberat akibat kerusakan tersebut. Ayah Rosemery, Esteban Sánchez Mamani, sudah 20 tahun bekerja di sini, meskipun dia sudah jarang memasuki tambang hari-hari belakangan ini karena penyakit kronisnya yang telah menyita energinya dan meningkatkan tekanan darahnya. Sánchez tidak tahu persis apa penyakitnya—kunjungannya yang hanya sekali ke dokter tidak memberikan kepastian—tetapi, dia menduga penyakitnya berasal dari lingkungan yang tercemar. “Aku tahu, tambang telah memperpendek usiaku,” ujar Sánchez, yang bertubuh agak bungkuk yang membuatnya tampak puluhan tahun lebih tua dari usianya yang baru 40 tahun. “Tetapi, inilah satu-satunya kehidupan yang kami kenal.”

Nasib keluarga sekarang bergantung pada bijih yang diangkut dari gunung oleh Carmen, istri Sánchez. Sambil duduk di lantai batu di gubuk keluarga, Sánchez menghabiskan sebagian besar harinya dengan memukuli batu menjadi serpihan kecil, menyimpan pecahan yang dihiasi bercak emas di dalam sebuah cangkir kopi biru. Rosemery melakukan pekerjaan rumahnya di atas karung beras, menanyai seorang tamu tentang kehidupan di luar La Rinconada: “Apakah orang suka mengunyah daun coca di negeri Anda? Anda punya alpaca?” Meskipun baru duduk di kelas satu, Rosemery bercita-cita ingin menjadi akuntan dan tinggal di AS. “Aku ingin pergi jauh dari sini,” katanya.

Rosemery terus membuntuti ayahnya yang mengantarkan dua karung bijih—angkutan mingguan—ke tempat penggilingan kecil di daerah di atas rumah mereka. Ini adalah bagian dari kegiatan rutin yang tak pernah berakhir, tetapi setiap kali Sánchez terus berharap mendapatkan rezeki nomplok. Sekurang-kurangnya, dia berharap mendapatkan emas sekadarnya yang cukup untuk membiayai kedua anaknya bersekolah. “Aku ingin mereka berilmu agar dapat meninggalkan tempat ini,” kata Sánchez, yang hanya lulusan sekolah dasar.!break!

Bersama-sama, ayah dan anak perempuannya memperhatikan tukang giling melakukan seni kunonya. Dengan menggunakan tangan telanjang, lelaki itu mengucurkan merkuri cair dalam gerakan berputar ke dalam panci kayu untuk memisahkan emas dari batu, membuang limbah yang mengandung merkuri ke sungai kecil di bawah gubuk. Sembilan meter di hilir, seorang gadis muda tengah mengisi sebuah botol plastik dengan air tercemar itu. Di dalam gubuk si tukang giling, semua mata terpaku pada bongkah keperakan sebesar kelereng yang dihasilkan tukang giling itu: bagian luarnya yang diselaputi merkuri menyembunyikan emas yang tidak diketahui jumlahnya.

Sambil menjejalkan bongkahan itu ke sakunya, Sánchez berjalan susah payah mendaki bukit menuju ke sebuah toko pembeli emas. Pedagangnya, salah satu dari ratusan pedagang di kota, membakar habis merkuri dengan sebuah obor las, melepaskan gas beracun itu melalui pipa buang ke udara tipis yang dingin. Saat pedagang bekerja, Sánchez berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sambil memegang topi abu-abunya yang sudah lusuh.

Sepuluh menit kemudian, sebuah inti emas sangat kecil muncul dari nyala api. Sánchez mengerutkan keningnya. Beratnya hanya 1,1 gram. Si pedagang mengambil beberapa lembar uang, lalu sambil mengangkat bahu memberikan sejumlah uang kepada Sánchez, yang setelah dipotong biaya untuk si tukang giling, hanya tersisa kurang dari sekitar 200.000 rupiah untuk keluarganya. “Mudah-mudahan nasibmu lebih baik lain kali,” kata si pedagang. Mungkin bulan depan, atau bulan berikutnya lagi. Dengan bekerja keras mempertahankan hidup setinggi langit di gletser, Sánchez tahu bahwa nasib baik sajalah yang bisa diharapkannya