Akhir dari Neandertal

By , Rabu, 25 Februari 2009 | 12:01 WIB

Di bulan Maret 1994, beberapa penelusur gua yang menjelajahi rangkaian gua yang luas di utara Spanyol mengarahkan senter mereka ke sebuah ruang serambi dan menemukan dua tulang mandibula manusia mencuat di tanah berpasir. Gua yang bernama El Sidrón itu terletak di tengah hutan mempening dan kastanye di dataran tinggi terpencil di provinsi Asturias, tak jauh dari Teluk Biscay. Karena curiga bahwa tulang-tulang rahang itu mungkin berasal dari masa Perang Saudara Spanyol, saat pendukung Republik menggunakan El Sidrón sebagai tempat bersembunyi dari pasukan Franco, para penelusur gua tersebut segera memberi tahu Guardia Civil setempat. Namun, saat penyidik polisi memeriksa ruangan tersebut, mereka menemukan sisa-sisa tragedi yang jauh lebih besar—dan sebagaimana diketahui kemudian, berumur jauh lebih tua.!break!

Dalam beberapa hari, para hamba hukum menggali sekitar 140 potong tulang dan hakim setempat memerintahkan agar sisa-sisa jasad itu dikirimkan ke badan patologi forensik nasional di Madrid. Ketika para ilmuwan selesai melakukan analisis (memakan waktu hampir enam tahun), Spanyol memiliki kasus tak terpecahkan yang paling awal. Tulang-tulang di El Sidrón bukanlah milik serdadu Republik, melainkan sisa-sisa jasad yang membatu dari sekelompok Neandertal yang hidup, dan mungkin meninggal secara tragis, sekitar 43.000 tahun lalu. Lokasi temuan menempatkan Neandertal di salah satu persimpangan geografis terpenting pada zaman prasejarah dan waktunya menempatkan mereka tepat di pusat salah satu misteri abadi dalam seluruh rangkaian evolusi manusia.

Neandertal, kerabat prasejarah kita yang terdekat, mendominasi Eurasia selama hampir 200.000 tahun. Pada masa itu, batang hidung Neandertal yang terkenal besar dan mancung terlihat di seluruh penjuru Eropa, bahkan keluar Eropa—di selatan pada sepanjang kawasan Laut Tengah, dari Selat Gibraltar hingga Yunani dan Irak, di utara hingga Rusia, di barat sampai ke Inggris, bahkan nyaris sampai ke Mongolia di timur. Para ilmuwan memperkirakan bahwa bahkan ketika populasi Neandertal di Eropa barat mencapai puncak, jumlah seluruhnya mungkin tidak pernah lebih dari 15.000 jiwa. Meski demikian, mereka berhasil bertahan, bahkan ketika iklim yang mendingin mengubah sebagian besar wilayah mereka menjadi seperti Skandinavia utara sekarang—tundra yang beku dan gersang, cakrawalanya yang suram hanya diselingi beberapa gelintir pohon serta lumut kerak yang hanya cukup untuk mengenyangkan perut rusa kutub.   

Namun, dalam kurun tragedi El Sidrón, Neandertal sedang berusaha meloloskan diri dari iklim yang memburuk dan sepertinya tersudut di Iberia, beberapa areal kecil di Eropa tengah, dan di sepanjang wilayah Laut Tengah bagian selatan, kemudian kian terjepit oleh penyebaran manusia beranatomi modern ke arah barat, seiring dengan kemunculan mereka dari Afrika, ke Timur Tengah, dan terus menyebar. Sekitar 15.000 tahun setelah tragedi El Sidrón, Neandertal sudah lenyap selamanya, menyisakan sedikit tulang dan banyak pertanyaan. Apakah mereka jenis penyintas yang cerdas dan ulet, mirip dengan kita, ataukah spesies tak berlanjut yang kemampuan kognisinya kurang? Apa yang terjadi pada periode itu, sekitar 45.000 hingga 30.000 tahun lalu, saat Neandertal hidup berdampingan di sebagian lanskap Eurasia dengan manusia modern yang bermigrasi dari Afrika? Mengapa satu jenis manusia bertahan, sementara yang lain lenyap?

Pada suatu pagi yang lembap dan berkabut tebal pada bulan September 2007, saya berdiri di depan mulut El Sidrón bersama Antonio Rosas dari Museo Nacional de Ciencias Naturales di Madrid, yang mengepalai penyelidikan paleoantropologi. Salah seorang rekannya memberikan saya lampu senter, dan dengan hati-hati saya merunduk memasuki lubang hitam itu. Begitu mata saya menyesuaikan dengan kegelapan gua, saya mulai bisa membedakan bentuk ajaib gua karst. Sungai bawah tanah telah memahat parit panjang di batu pasir, menciptakan gua batu gamping yang memanjang ratusan meter, dengan serambi samping yang menjalar hingga ke sedikitnya 12 pintu masuk. Setelah sepuluh menit berjalan di dalam gua, saya tiba di Galería del Osario—“terowongan tulang”. Sejak tahun 2000, sekitar 1.500 kepingan tulang telah digali dari serambi samping ini, setidaknya berasal dari sisa-sisa sembilan jasad Neandertal—lima dewasa muda, dua remaja, seorang anak berusia sekitar delapan tahun, dan seorang balita berusia tiga tahun. Semua memperlihatkan gejala kurang gizi di giginya—hal yang umum terjadi pada Neandertal muda di akhir era mereka di Bumi. Namun, nasib yang lebih buruk terukir di tulang mereka. Rosas mengambil kepingan tengkorak yang baru digali serta potongan tulang panjang yang berasal dari lengan, keduanya punya tepi yang bergerigi .!break!

“Fraktur ini—krak—dibuat oleh manusia,” ujar Rosas menirukan pukulan perkakas batu. “Ini berarti para pelakunya mengincar otak serta sumsum yang ada di dalam tulang panjang.” Selain fraktur tersebut, tanda-tanda sayatan yang ada pada tulang akibat perkakas batu jelas menunjukkan bahwa orang-orang ini menjadi korban kanibalisme. Siapa pun yang memakan daging mereka, dan apa pun alasannya—kelaparan? ritual?— nasib jasad mereka selanjutnya menganugerahkan kepada mereka keabadian yang unik dan istimewa. Tak lama setelah kematian sembilan orang tersebut—mungkin dalam beberapa hari—tanah di bawahnya tiba-tiba terban, sehingga dubuk dan pemakan bangkai lainnya tak sempat mengacak-acak sisa-sisa jasad tersebut. Adonan tulang, endapan, dan batu ambles 20 meter ke dalam gua gamping kosong di bawahnya, sebagaimana lumpur mengisi bagian dalam rumah saat banjir.

Di sana, dilindungi oleh pasir dan tanah liat, diawetkan oleh suhu gua yang konstan, dan tersimpan dalam kotak perhiasan berupa tulang yang diresapi mineral, beberapa molekul kode genetis Neandertal yang berharga selamat, menunggu suatu saat di masa depan ketika molekul itu dapat diekstraksi, dirangkai, dan diteliti untuk mencari petunjuk tentang cara hidup orang-orang ini, serta alasan kepunahan mereka.

PETUNJUK PERTAMA bahwa manusia seperti kita bukanlah yang pertama yang mendiami Eropa muncul satu setengah abad yang lalu, di sekitar 13 kilometer timur Düsseldorf, Jerman. Pada Agustus 1856, para pekerja tambang batu gamping di sebuah gua di Lembah Neander menggali tempurung kepala dengan tulang pelipis yang menonjol, serta sejumlah tulang tangan dan kaki yang tebal. Sejak awal penemuan, Neandertal menyandang stereotip sebagai manusia gua yang kasar dan bodoh. Ukuran dan bentuk fosil memang menyiratkan bentuk fisik yang pendek kekar seperti karung beras (rata-rata lelaki tingginya sekitar 1,6 meter dam berat sekitar 84 kilogram), dengan otot yang besar dan rongga dada lebar yang sepertinya berisi paru-paru besar. Steven E. Churchill, seorang paleoantropolog di Duke University, menghitung bahwa untuk menopang massa tubuhnya dalam iklim yang dingin, lelaki Neandertal umumnya memerlukan hingga 5.000 kalori sehari. Jumlah itu mendekati kalori yang dibakar oleh pembalap sepeda sehari dalam Tour de France. Namun, di balik tulang pelipisnya yang menonjol, tengkorak Neandertal yang berkubah rendah menampung otak dengan  volume yang sedikit lebih besar daripada otak kita sekarang. Selain itu, walaupun perkakas dan senjata mereka lebih primitif dibandingkan kepunyaan manusia modern yang menggantikan mereka di Eropa, peralatan itu tidak kalah canggih dibandingkan buatan  manusia modern yang hidup sezaman dengan mereka di Afrika atau Timur Tengah.

Salah satu kontroversi terpanjang dan paling sengit tentang evolusi manusia berkisar pada hubungan genetis antara Neandertal dengan penerus mereka di Eropa. Apakah manusia modern yang menyebar dari Afrika sejak sekitar 60.000 tahun lalu sepenuhnya menggantikan Neandertal, ataukah terjadi perkawinan silang di antara keduanya? Pada 1997, hipotesis yang kedua ini mendapat pukulan telak dari ahli genetika Svante Pääbo—saat itu berada di Universitas Muenchen—yang menyampaikan temuannya dengan menggunakan tulang lengan lelaki Neandertal dewasa yang asli. Pääbo dan rekannya berhasil mengekstraksi potongan 378-huruf DNA mitokondria (sejenis lampiran genetis pendek pada teks utama dalam setiap sel) dari spesimen yang berusia 40.000 tahun itu. Saat mereka menafsirkan huruf-huruf dalam kode tersebut, mereka menemukan bahwa DNA spesimen itu demikian berbeda dengan manusia sekarang, hingga menyiratkan bahwa garis keturunan manusia modern dan Neandertal mulai terpisah jauh sebelum migrasi manusia modern dari Afrika. Oleh karena itu, keduanya mewakili cabang evolusi dan geografi terpisah yang berpangkal pada nenek moyang yang sama. “Di sebelah utara kawasan Laut Tengah, garis keturunan ini menjadi Neandertal,” kata Chris Stringer, ketua peneliti asal-usul manusia di Natural History Museum di London,  “dan di sebelah selatan Laut Tengah, garis keturunan ini menjadi kita.” Kalaupun ada kawin silang saat mereka bertemu di kemudian hari, hal itu sangat jarang sehingga tidak meninggalkan jejak DNA mitokondria Neandertal dalam sel manusia sekarang.!break!

Temuan genetika Pääbo yang mengejutkan ini sepertinya memastikan bahwa Neandertal adalah spesies yang berlainan—namun hal itu tidak membantu memecahkan misteri mengapa mereka punah, sementara spesies kita selamat.

Salah satu kemungkinan yang nyata adalah bahwa manusia modern memang lebih cerdas, lebih canggih, lebih “manusia”. Hingga baru-baru ini, para arkeolog mengemukakan “lompatan besar ke depan” sekitar 40.000 tahun lalu di Eropa sebagai alasannya, ketika industri perkakas batu Neandertal yang relatif begitu-begitu saja—disebut Mousteria, dari situs Le Moustier di barat daya Prancis—digantikan oleh perkakas batu dan tulang yang lebih beragam, hiasan tubuh, serta tanda-tanda ekspresi simbolis lainnya yang dikaitkan dengan kehadiran manusia modern. Beberapa ilmuwan, seperti antropolog Stanford University Richard Klein, masih berpendapat bahwa beberapa perubahan genetis yang dramatis pada otak—mungkin berkaitan dengan perkembangan kemampuan berbahasa—yang mendorong dominasi budaya manusia modern awal, juga menyebabkan meredupnya nenek moyang mereka yang berpelipis menonjol.

Namun, bukti di dalam tanah tidaklah terlalu jelas dan tegas. Pada 1979 para arkeolog menemukan kerangka Neandertal zaman akhir di Saint-Césaire di barat daya Prancis yang tidak disertai oleh peralatan Mousteria biasa, tetapi dengan beragam perkakas yang begitu modern. Pada 1996, Jean-Jacques Hublin dari Lembaga Max Planck di Leipzig dan Fred Spoor dari University College London mengidentifikasi sebuah tulang Neandertal di gua Prancis lainnya, di dekat Arcy-sur-Cure, dalam lapisan endapan yang juga berisi benda-benda hiasan yang sebelumnya hanya dikaitkan dengan manusia modern, seperti gigi binatang yang dilubangi serta cincin gading. Beberapa ilmuwan, seperti paleoantropolog Inggris Paul Mellars, menganggap “pengaksesorian” modern seperti itu pada gaya hidup yang sangat kuno sebagai sebuah “kebetulan yang mustahil, tapi terjadi”—napas terakhir tentang perilaku meniru dari Neandertal sebelum si pendatang baru yang berdaya cipta dari Afrika menggantikan mereka. Namun, setelah itu, Francesco d’Errico dari Universitas Bordeaux dan Marie Soressi, juga dari Lembaga Max Planck di Leipzig, menganalisis ratusan blok mangan dioksida yang mirip krayon dari gua Prancis bernama Pech de l’Azé, tempat Neandertal hidup jauh sebelum kedatangan manusia modern di Eropa. D’Errico dan Soressi berpendapat bahwa Neandertal menggunakan pigmen hitam untuk menghias tubuh, menandakan bahwa mereka mampu mencapai "modernitas perilaku” secara mandiri.

“Pada masa transisi biologis,” ujar Erik Trinkaus, seorang paleoantropolog di Washington University , St. Louis, “perilaku dasar [dari kedua kelompok itu] kurang lebih sama dan perbedaan yang ada kemungkinan besar tidak kentara.” Trinkaus meyakini bahwa mungkin kadang kala terjadi perkawinan silang. Dia melihat bukti percampuran antara Neandertal dan manusia modern dalam fosil-fosil tertentu, seperti rangka anak kecil berusia 24.500 tahun yang ditemukan di situs Lagar Velho di Portugis dan tengkorak berusia 32.000 tahun dari gua Muierii di Rumania. “Hanya ada sedikit manusia di situ, sementara mereka perlu mendapatkan pasangan dan memiliki keturunan,” ujar Trinkaus. “Kenapa tidak? Kaum manusia tidak terlalu pilih-pilih. Seks pun terjadilah.”!break!