Akhir dari Neandertal

By , Rabu, 25 Februari 2009 | 12:01 WIB

Di bulan Maret 1994, beberapa penelusur gua yang menjelajahi rangkaian gua yang luas di utara Spanyol mengarahkan senter mereka ke sebuah ruang serambi dan menemukan dua tulang mandibula manusia mencuat di tanah berpasir. Gua yang bernama El Sidrón itu terletak di tengah hutan mempening dan kastanye di dataran tinggi terpencil di provinsi Asturias, tak jauh dari Teluk Biscay. Karena curiga bahwa tulang-tulang rahang itu mungkin berasal dari masa Perang Saudara Spanyol, saat pendukung Republik menggunakan El Sidrón sebagai tempat bersembunyi dari pasukan Franco, para penelusur gua tersebut segera memberi tahu Guardia Civil setempat. Namun, saat penyidik polisi memeriksa ruangan tersebut, mereka menemukan sisa-sisa tragedi yang jauh lebih besar—dan sebagaimana diketahui kemudian, berumur jauh lebih tua.!break!

Dalam beberapa hari, para hamba hukum menggali sekitar 140 potong tulang dan hakim setempat memerintahkan agar sisa-sisa jasad itu dikirimkan ke badan patologi forensik nasional di Madrid. Ketika para ilmuwan selesai melakukan analisis (memakan waktu hampir enam tahun), Spanyol memiliki kasus tak terpecahkan yang paling awal. Tulang-tulang di El Sidrón bukanlah milik serdadu Republik, melainkan sisa-sisa jasad yang membatu dari sekelompok Neandertal yang hidup, dan mungkin meninggal secara tragis, sekitar 43.000 tahun lalu. Lokasi temuan menempatkan Neandertal di salah satu persimpangan geografis terpenting pada zaman prasejarah dan waktunya menempatkan mereka tepat di pusat salah satu misteri abadi dalam seluruh rangkaian evolusi manusia.

Neandertal, kerabat prasejarah kita yang terdekat, mendominasi Eurasia selama hampir 200.000 tahun. Pada masa itu, batang hidung Neandertal yang terkenal besar dan mancung terlihat di seluruh penjuru Eropa, bahkan keluar Eropa—di selatan pada sepanjang kawasan Laut Tengah, dari Selat Gibraltar hingga Yunani dan Irak, di utara hingga Rusia, di barat sampai ke Inggris, bahkan nyaris sampai ke Mongolia di timur. Para ilmuwan memperkirakan bahwa bahkan ketika populasi Neandertal di Eropa barat mencapai puncak, jumlah seluruhnya mungkin tidak pernah lebih dari 15.000 jiwa. Meski demikian, mereka berhasil bertahan, bahkan ketika iklim yang mendingin mengubah sebagian besar wilayah mereka menjadi seperti Skandinavia utara sekarang—tundra yang beku dan gersang, cakrawalanya yang suram hanya diselingi beberapa gelintir pohon serta lumut kerak yang hanya cukup untuk mengenyangkan perut rusa kutub.   

Namun, dalam kurun tragedi El Sidrón, Neandertal sedang berusaha meloloskan diri dari iklim yang memburuk dan sepertinya tersudut di Iberia, beberapa areal kecil di Eropa tengah, dan di sepanjang wilayah Laut Tengah bagian selatan, kemudian kian terjepit oleh penyebaran manusia beranatomi modern ke arah barat, seiring dengan kemunculan mereka dari Afrika, ke Timur Tengah, dan terus menyebar. Sekitar 15.000 tahun setelah tragedi El Sidrón, Neandertal sudah lenyap selamanya, menyisakan sedikit tulang dan banyak pertanyaan. Apakah mereka jenis penyintas yang cerdas dan ulet, mirip dengan kita, ataukah spesies tak berlanjut yang kemampuan kognisinya kurang? Apa yang terjadi pada periode itu, sekitar 45.000 hingga 30.000 tahun lalu, saat Neandertal hidup berdampingan di sebagian lanskap Eurasia dengan manusia modern yang bermigrasi dari Afrika? Mengapa satu jenis manusia bertahan, sementara yang lain lenyap?

Pada suatu pagi yang lembap dan berkabut tebal pada bulan September 2007, saya berdiri di depan mulut El Sidrón bersama Antonio Rosas dari Museo Nacional de Ciencias Naturales di Madrid, yang mengepalai penyelidikan paleoantropologi. Salah seorang rekannya memberikan saya lampu senter, dan dengan hati-hati saya merunduk memasuki lubang hitam itu. Begitu mata saya menyesuaikan dengan kegelapan gua, saya mulai bisa membedakan bentuk ajaib gua karst. Sungai bawah tanah telah memahat parit panjang di batu pasir, menciptakan gua batu gamping yang memanjang ratusan meter, dengan serambi samping yang menjalar hingga ke sedikitnya 12 pintu masuk. Setelah sepuluh menit berjalan di dalam gua, saya tiba di Galería del Osario—“terowongan tulang”. Sejak tahun 2000, sekitar 1.500 kepingan tulang telah digali dari serambi samping ini, setidaknya berasal dari sisa-sisa sembilan jasad Neandertal—lima dewasa muda, dua remaja, seorang anak berusia sekitar delapan tahun, dan seorang balita berusia tiga tahun. Semua memperlihatkan gejala kurang gizi di giginya—hal yang umum terjadi pada Neandertal muda di akhir era mereka di Bumi. Namun, nasib yang lebih buruk terukir di tulang mereka. Rosas mengambil kepingan tengkorak yang baru digali serta potongan tulang panjang yang berasal dari lengan, keduanya punya tepi yang bergerigi .!break!

“Fraktur ini—krak—dibuat oleh manusia,” ujar Rosas menirukan pukulan perkakas batu. “Ini berarti para pelakunya mengincar otak serta sumsum yang ada di dalam tulang panjang.” Selain fraktur tersebut, tanda-tanda sayatan yang ada pada tulang akibat perkakas batu jelas menunjukkan bahwa orang-orang ini menjadi korban kanibalisme. Siapa pun yang memakan daging mereka, dan apa pun alasannya—kelaparan? ritual?— nasib jasad mereka selanjutnya menganugerahkan kepada mereka keabadian yang unik dan istimewa. Tak lama setelah kematian sembilan orang tersebut—mungkin dalam beberapa hari—tanah di bawahnya tiba-tiba terban, sehingga dubuk dan pemakan bangkai lainnya tak sempat mengacak-acak sisa-sisa jasad tersebut. Adonan tulang, endapan, dan batu ambles 20 meter ke dalam gua gamping kosong di bawahnya, sebagaimana lumpur mengisi bagian dalam rumah saat banjir.

Di sana, dilindungi oleh pasir dan tanah liat, diawetkan oleh suhu gua yang konstan, dan tersimpan dalam kotak perhiasan berupa tulang yang diresapi mineral, beberapa molekul kode genetis Neandertal yang berharga selamat, menunggu suatu saat di masa depan ketika molekul itu dapat diekstraksi, dirangkai, dan diteliti untuk mencari petunjuk tentang cara hidup orang-orang ini, serta alasan kepunahan mereka.

PETUNJUK PERTAMA bahwa manusia seperti kita bukanlah yang pertama yang mendiami Eropa muncul satu setengah abad yang lalu, di sekitar 13 kilometer timur Düsseldorf, Jerman. Pada Agustus 1856, para pekerja tambang batu gamping di sebuah gua di Lembah Neander menggali tempurung kepala dengan tulang pelipis yang menonjol, serta sejumlah tulang tangan dan kaki yang tebal. Sejak awal penemuan, Neandertal menyandang stereotip sebagai manusia gua yang kasar dan bodoh. Ukuran dan bentuk fosil memang menyiratkan bentuk fisik yang pendek kekar seperti karung beras (rata-rata lelaki tingginya sekitar 1,6 meter dam berat sekitar 84 kilogram), dengan otot yang besar dan rongga dada lebar yang sepertinya berisi paru-paru besar. Steven E. Churchill, seorang paleoantropolog di Duke University, menghitung bahwa untuk menopang massa tubuhnya dalam iklim yang dingin, lelaki Neandertal umumnya memerlukan hingga 5.000 kalori sehari. Jumlah itu mendekati kalori yang dibakar oleh pembalap sepeda sehari dalam Tour de France. Namun, di balik tulang pelipisnya yang menonjol, tengkorak Neandertal yang berkubah rendah menampung otak dengan  volume yang sedikit lebih besar daripada otak kita sekarang. Selain itu, walaupun perkakas dan senjata mereka lebih primitif dibandingkan kepunyaan manusia modern yang menggantikan mereka di Eropa, peralatan itu tidak kalah canggih dibandingkan buatan  manusia modern yang hidup sezaman dengan mereka di Afrika atau Timur Tengah.

Salah satu kontroversi terpanjang dan paling sengit tentang evolusi manusia berkisar pada hubungan genetis antara Neandertal dengan penerus mereka di Eropa. Apakah manusia modern yang menyebar dari Afrika sejak sekitar 60.000 tahun lalu sepenuhnya menggantikan Neandertal, ataukah terjadi perkawinan silang di antara keduanya? Pada 1997, hipotesis yang kedua ini mendapat pukulan telak dari ahli genetika Svante Pääbo—saat itu berada di Universitas Muenchen—yang menyampaikan temuannya dengan menggunakan tulang lengan lelaki Neandertal dewasa yang asli. Pääbo dan rekannya berhasil mengekstraksi potongan 378-huruf DNA mitokondria (sejenis lampiran genetis pendek pada teks utama dalam setiap sel) dari spesimen yang berusia 40.000 tahun itu. Saat mereka menafsirkan huruf-huruf dalam kode tersebut, mereka menemukan bahwa DNA spesimen itu demikian berbeda dengan manusia sekarang, hingga menyiratkan bahwa garis keturunan manusia modern dan Neandertal mulai terpisah jauh sebelum migrasi manusia modern dari Afrika. Oleh karena itu, keduanya mewakili cabang evolusi dan geografi terpisah yang berpangkal pada nenek moyang yang sama. “Di sebelah utara kawasan Laut Tengah, garis keturunan ini menjadi Neandertal,” kata Chris Stringer, ketua peneliti asal-usul manusia di Natural History Museum di London,  “dan di sebelah selatan Laut Tengah, garis keturunan ini menjadi kita.” Kalaupun ada kawin silang saat mereka bertemu di kemudian hari, hal itu sangat jarang sehingga tidak meninggalkan jejak DNA mitokondria Neandertal dalam sel manusia sekarang.!break!

Temuan genetika Pääbo yang mengejutkan ini sepertinya memastikan bahwa Neandertal adalah spesies yang berlainan—namun hal itu tidak membantu memecahkan misteri mengapa mereka punah, sementara spesies kita selamat.

Salah satu kemungkinan yang nyata adalah bahwa manusia modern memang lebih cerdas, lebih canggih, lebih “manusia”. Hingga baru-baru ini, para arkeolog mengemukakan “lompatan besar ke depan” sekitar 40.000 tahun lalu di Eropa sebagai alasannya, ketika industri perkakas batu Neandertal yang relatif begitu-begitu saja—disebut Mousteria, dari situs Le Moustier di barat daya Prancis—digantikan oleh perkakas batu dan tulang yang lebih beragam, hiasan tubuh, serta tanda-tanda ekspresi simbolis lainnya yang dikaitkan dengan kehadiran manusia modern. Beberapa ilmuwan, seperti antropolog Stanford University Richard Klein, masih berpendapat bahwa beberapa perubahan genetis yang dramatis pada otak—mungkin berkaitan dengan perkembangan kemampuan berbahasa—yang mendorong dominasi budaya manusia modern awal, juga menyebabkan meredupnya nenek moyang mereka yang berpelipis menonjol.

Namun, bukti di dalam tanah tidaklah terlalu jelas dan tegas. Pada 1979 para arkeolog menemukan kerangka Neandertal zaman akhir di Saint-Césaire di barat daya Prancis yang tidak disertai oleh peralatan Mousteria biasa, tetapi dengan beragam perkakas yang begitu modern. Pada 1996, Jean-Jacques Hublin dari Lembaga Max Planck di Leipzig dan Fred Spoor dari University College London mengidentifikasi sebuah tulang Neandertal di gua Prancis lainnya, di dekat Arcy-sur-Cure, dalam lapisan endapan yang juga berisi benda-benda hiasan yang sebelumnya hanya dikaitkan dengan manusia modern, seperti gigi binatang yang dilubangi serta cincin gading. Beberapa ilmuwan, seperti paleoantropolog Inggris Paul Mellars, menganggap “pengaksesorian” modern seperti itu pada gaya hidup yang sangat kuno sebagai sebuah “kebetulan yang mustahil, tapi terjadi”—napas terakhir tentang perilaku meniru dari Neandertal sebelum si pendatang baru yang berdaya cipta dari Afrika menggantikan mereka. Namun, setelah itu, Francesco d’Errico dari Universitas Bordeaux dan Marie Soressi, juga dari Lembaga Max Planck di Leipzig, menganalisis ratusan blok mangan dioksida yang mirip krayon dari gua Prancis bernama Pech de l’Azé, tempat Neandertal hidup jauh sebelum kedatangan manusia modern di Eropa. D’Errico dan Soressi berpendapat bahwa Neandertal menggunakan pigmen hitam untuk menghias tubuh, menandakan bahwa mereka mampu mencapai "modernitas perilaku” secara mandiri.

“Pada masa transisi biologis,” ujar Erik Trinkaus, seorang paleoantropolog di Washington University , St. Louis, “perilaku dasar [dari kedua kelompok itu] kurang lebih sama dan perbedaan yang ada kemungkinan besar tidak kentara.” Trinkaus meyakini bahwa mungkin kadang kala terjadi perkawinan silang. Dia melihat bukti percampuran antara Neandertal dan manusia modern dalam fosil-fosil tertentu, seperti rangka anak kecil berusia 24.500 tahun yang ditemukan di situs Lagar Velho di Portugis dan tengkorak berusia 32.000 tahun dari gua Muierii di Rumania. “Hanya ada sedikit manusia di situ, sementara mereka perlu mendapatkan pasangan dan memiliki keturunan,” ujar Trinkaus. “Kenapa tidak? Kaum manusia tidak terlalu pilih-pilih. Seks pun terjadilah.”!break!

Hal itu mungkin saja terjadi, ujar peneliti yang lain, tetapi tidak sering, dan tidak meninggalkan jejak di kemudian hari. Katerina Harvati, peneliti lain di Lembaga Max Planck di Leipzig, menggunakan ukuran detail tiga dimensi untuk fosil Neandertal dan manusia modern awal guna memperkirakan secara akurat bentuk hasil persilangan kedua spesies tersebut. Tidak ada fosil yang diperiksa sejauh ini yang sesuai dengan hasil prediksinya.

Perbedaan pendapat antara Trinkaus dan Harvati tersebut bukanlah yang untuk pertama kalinya ada dua paleoantropolog terpandang memeriksa seperangkat tulang yang sama dan memperoleh interpretasi yang bertentangan. Perenungan—dan perdebatan—tentang arti anatomi fosil akan selalu berperan dalam memahami Neandertal. Namun, kini ada cara-cara lain untuk menghidupkan mereka kembali.

Dua hari setelah saya pertama kali turun ke gua El Sidrón, Araceli Soto Flórez, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Oviedo, menemukan tulang Neandertal yang baru, mungkin kepingan tulang paha. Semua penggalian segera dihentikan dan sebagian besar kru meninggalkan ruangan itu. Lalu, Soto Flórez mengenakan baju kerja terusan ketat yang  steril, sarung tangan, sepatu bot, dan masker plastik. Diawasi oleh Antonio Rosas dan ahli biologi molekuler Carles Lalueza-Fox, dia dengan hati-hati mengeluarkan tulang itu dari tanah, memasukkannya ke dalam kantong plastik steril, lalu menyimpan kantong itu dalam kotak es. Setelah persinggahan singkat dalam tempat pembeku di sebuah hotel di Villamayo tak jauh dari situ, tulang kaki tersebut akhirnya sampai di laboratorium Lalueza-Fox di Instituto de Biología Evolutiva di Barcelona. Dia tidak berminat pada anatomi kaki atau hal lain yang mungkin mengungkap informasi tentang lokomosi Neandertal. Yang diinginkannya adalah DNA dari tulang tersebut.

Kanibalisme prasejarah sangat bermanfaat bagi biologi molekuler zaman modern. Dengan mengerik daging dari tulang, tersingkirlah DNA mikroorganisme yang dalam kejadian lain mungkin mengontaminasi sampel. DNA fosil Neandertal yang dihasilkan tulang-tulang El Sidrón bukanlah yang terbanyak—posisi itu dimiliki oleh spesimen dari Kroasia yang juga dikanibal—tetapi sejauh ini tulang-tulang El Sidrón mengungkapkan wawasan yang paling meyakinkan tentang penampilan dan perilaku Neandertal. Pada Oktober 2007, Lalueza-Fox, Holger Römpler dari Universitas Leipzig, dan rekan-rekan mereka mengumumkan bahwa mereka telah mengisolasi gen dengan endapan pigmen dari DNA salah satu fosil di El Sidrón (dan juga satu fosil Neandertal lainnya dari Italia). Bentuk khas gen ini, yang disebut MC1R, mengindikasikan bahwa setidaknya sejumlah Neandertal memiliki rambut merah, kulit pucat, dan mungkin, bintik-bintik. Meski begitu, gen itu tidaklah seperti gen milik orang berambut merah sekarang—menandakan bahwa Neandertal dan manusia modern mengembangkan ciri itu secara terpisah, mungkin karena dengan hidup di daerah lintang utara, mereka sama-sama membutuhkan kulit yang terang agar lebih banyak cahaya matahari tembus ke dalam tubuh untuk membentuk vitamin D. Hanya beberapa minggu sebelumnya, Svante Pääbo, yang sekarang mengepalai laboratorium genetika di Lembaga Max Planck di Leipzig, Lalueza-Fox, dan rekan-rekan mereka mengumumkan temuan yang lebih menghebohkan: Dua individu El Sidrón sepertinya memiliki satu versi gen FOXP2, sama seperti manusia modern, yang berkontribusi untuk kemampuan bicara dan berbahasa. Gen ini tidak hanya berperan di otak, tetapi juga di saraf yang mengendalikan otot wajah. Apakah Neandertal memiliki kemampuan berbahasa yang canggih atau hanya bentuk komunikasi vokal yang lebih primitif (menyanyi, misalnya) masih belum jelas, tetapi temuan genetika yang baru ini menyiratkan bahwa mereka memiliki sejumlah perangkat-keras untuk bicara yang sama dengan manusia modern.!break!

Semua hal ini didapat dari sekelompok Neandertal bernasib naas yang terkubur dalam runtuhan gua, tak lama setelah mereka dimakan oleh sesamanya.

“Jadi, mungkin memakan konspesies merupakan hal yang bermanfaat,” ujar Pääbo.Pääbo, si Swedia jangkung yang ceria, merupakan motor utama di balik suatu pencapaian ilmiah yang mengagumkan, yakni upaya pencapaian tersebut, yang diperkirakan selesai bulan November, untuk membaca tidak hanya gen tunggal Neandertal, tetapi seluruh urutan tiga miliar huruf dari genom Neandertal. Jejak DNA di fosil sangat sedikit dan karena DNA Neandertal demikian mirip dengan manusia zaman sekarang, salah satu rintangan terbesar dalam pengurutan gen adalah ancaman yang terus menerus dari kontaminasi DNA manusia modern—terutama dari para ilmuwan yang menangani spesimen tersebut. Tindakan pencegahan yang dilakukan saat menggali di El Sidrón sekarang menjadi praktik standar di situs Neandertal yang lain. Namun, sebagian besar DNA untuk proyek genome Pääbo berasal dari spesimen Kroasia, penggalan tulang kaki berusia 38.000 tahun yang ditemukan hampir 30 tahun lalu di gua Vindija. Awalnya, karena dianggap tidak penting, spesimen tersebut tersimpan dalam laci di Zagreb, jarang disentuh dan oleh karena itu tak terkontaminasi, hampir sepanjang masa yang dilewatkannya di museum.

Sekarang spesimen itu bagaikan tambang emas bagi DNA manusia prasejarah, walaupun tambang itu sulit dieksploitasi. Setelah diekstraksi dalam laboratorium steril di lantai bawah tanah Lembaga Max Planck, DNA tersebut dikirim dengan cepat hingga tiba esoknya di Branford, Connecticut, tempat para kolaborator di 454 Life Sciences menemukan mesin yang dapat menguraikan urutan huruf kimia DNA secara cepat. Sebagian besar huruf tersebut berasal dari kontaminasi bakteri atau informasi genetis non-Neandertal. Namun pada musim gugur 2006, Pääbo dan rekan-rekannya mengumumkan bahwa mereka telah menguraikan sekitar satu juta huruf DNA Neandertal. (Pada saat yang sama, kelompok kedua, yang dipimpin oleh Edward Rubin di Department of Energy Joint Genome Institute di Walnut Creek, California, menggunakan DNA yang disediakan Pääbo untuk menjabarkan potongan-potongan kode genetika dengan menggunakan pendekatan lain.) Hingga tahun lalu, sembari dibayangi oleh klaim bahwa pekerjaan mereka memiliki masalah kontaminasi yang parah, kelompok Leipzig menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan akurasi dan mengidentifikasi sekitar 70 juta huruf DNA—sekitar 2 persen dari jumlah seluruhnya.

“Kita mengetahui bahwa urutan gen manusia dan simpanse 98,7 persen sama, sementara Neandertal jauh lebih dekat dengan manusia dibanding simpanse,” ujar Ed Green, kepala biomatematika dalam kelompok Pääbo di Leipzig, “jadi kenyataannya, untuk sebagian besar urutan, tidak ada perbedaan antara Neandertal dengan manusia [modern].” Namun perbedaan yang ada—kurang dari setengah persen pada urutan tersebut—cukup untuk mengonfirmasi bahwa kedua garis keturunan itu mulai terpecah sekitar 700.000 tahun lalu. Kelompok Leipzig juga berhasil mengekstraksi DNA mitokondria dari dua fosil yang tidak diketahui pasti asalnya, yang digali di Uzbekistan dan Siberia selatan; keduanya memiliki ciri genetis Neandertal yang khas. Sementara spesimen Uzbekistan, seorang anak lelaki, yang memang telah lama dianggap seorang Neandertal, spesimen Siberia merupakan kejutan besar, meluaskan kawasan Neandertal yang diketahui sekitar 2.000 kilometer ke timur dari kubu Eropa mereka.Jadi, sementara bukti genetis baru tampaknya memastikan bahwa Neandertal merupakan spesies yang berbeda dengan kita, bukti itu juga menyiratkan bahwa mereka mungkin memiliki bahasa manusia dan berhasil berkembang di kawasan Eurasia yang jauh lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kita kembali ke pertanyaan yang terus membayangi dari awal: Mengapa mereka lenyap?

Dalam membujuk fosil Neandertal agar mengungkapkan rahasianya, fosil itu dapat diukur dengan jangka sorong, diperiksa dengan CT scan, atau dicoba ditangkap hantu kode genetisnya. Atau, jika ada akselerator partikel yang disebut sinkrotron, fosil itu dapat diletakkan dalam ruang berlapis timbal dan disinari dengan gelombang sinar-x 50.000 volt, tanpa mengganggu satu molekul sekalipun.!break!

Selama seminggu yang dihabiskan dengan tidur yang kurang di bulan Oktober 2007, satu tim ilmuwan berkumpul di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di Grenoble, Prancis, untuk “konvensi tulang rahang” yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuan konvensi adalah menelusuri pertanyaan penting dalam sejarah hidup Neandertal: Apakah mereka mencapai kedewasaan pada usia yang lebih awal dari manusia modern sezaman? Jika benar demikian, hal itu mungkin berimplikasi pada perkembangan otak mereka, yang pada gilirannya bisa turut menjelaskan mengapa mereka lenyap. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu dapat dicari jauh di dalam struktur gigi Neandertal.

“Ketika masih kecil, saya menyangka bahwa gigi tidak terlalu berguna dalam memperkirakan evolusi manusia, tapi sekarang saya berpendapat bahwa gigi merupakan hal yang terpenting,” kata Jean-Jacques Hublin yang menemani rekannya dari Lembaga Max Planck, Tanya Smith, ke Grenoble.

Bersama Paul Tafforeau dari ESRF, Hublin dan Smith berdesakan di dalam kompartemen yang dipenuhi komputer di fasilitas tersebut—salah satu dari tiga sinkrotron terbesar di dunia, dengan cincin penyimpanan elektron berenergi yang kelilingnya hampir satu kilometer—mengawasi layar video saat gelombang sinar-x melesat menembus gigi taring kanan atas Neandertal dewasa dari situs Le Moustier di barat daya Prancis, menghasilkan foto rontgen gigi yang bisa jadi paling detail dalam sejarah manusia. Sementara itu, sekelompok fosil pilihan yang lain berada di rak tak jauh dari situ, menunggu giliran kena lampu sorot sinkrotron: dua tulang rahang remaja Neandertal yang ditemukan di Krapina, Kroasia, yang berusia sekitar 130.000 hingga 120.000 tahun; tengkorak yang disebut La Quina milik pemuda Neandertal ditemukan di Prancis dan berusia antara 75.000 hingga 40.000 tahun lalu; serta dua spesimen manusia modern berusia 90.000 tahun yang bergigi utuh, ditemukan di dalam naungan batu Qafzeh di Israel.

Saat dicitrakan dengan resolusi tinggi, gigi menampilkan susunan garis tiga dimensi yang kompleks, yakni garis pertumbuhan harian serta periode yang lebih panjang seperti lingkaran batang pohon, beserta garis stres yang menjadi petunjuk saat-saat penting dalam sejarah hidup seseorang. Trauma kelahiran mengguratkan garis stres neonatal yang tajam pada enamel; saat penyapihan dan saat-saat kekurangan gizi atau tekanan lingkungan yang  lain juga meninggalkan tanda nan jelas pada gigi yang tumbuh. “Gigi menyimpan rekaman permanen dan terus-menerus tentang pertumbuhan, mulai dari sebelum lahir hingga mereka berhenti tumbuh pada akhir masa remaja,” kata Smith menerangkan. Manusia lebih lambat mencapai pubertas dibanding simpanse, kerabat terdekat kita yang masih hidup—yang berarti lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk belajar dan berkembang dalam konteks kelompok sosial. Spesies manusia awal yang hidup di sabana Afrika jutaan tahun lalu tumbuh dewasa dengan cepat, lebih mirip simpanse. Jadi, kapan pola modern yang lebih lambat ini mulai terjadi dalam evolusi?!break!

Untuk menjawab pertanyaan ini, Smith, Tafforeau, dan rekan-rekan pernah menggunakan sinkrotron untuk menunjukkan bahwa anak manusia modern masa awal dari situs yang disebut Jebel Irhoud di Maroko (berusia sekitar 160.000 tahun lalu) memperlihatkan pola sejarah hidup manusia modern. Sebaliknya, “lingkaran pertumbuhan” pada gigi Neandertal muda yang berusia 100.000 tahun yang ditemukan di gua Scladinam, Belgia, menandakan bahwa bocah itu berusia delapan tahun saat meninggal dan terlihat akan mencapai usia pubertas beberapa tahun lebih awal daripada rata-rata manusia modern. Sementara itu, tim peneliti lainnya, yang menggunakan satu gigi Neandertal, tidak menemukan perbedaan seperti itu antara pola pertumbuhan Neandertal dan manusia sekarang. Namun, kendatipun analisis lengkap dari “konvensi tulang rahang” masih belum selesai, hasil pendahuluannya, ujar Smith “sesuai dengan yang kami lihat di Scladina.”

“Pubertas yang lebih awal pasti akan berpengaruh pada kelompok sosial, strategi perkawinan, serta perilaku pengasuhan anak pada manusia Neandertal,” ujar Hublin. “Bayangkan sebuah masyarakat di mana anggota-anggotanya mulai bereproduksi empat tahun lebih awal daripada manusia modern. Itu merupakan masyarakat yang sangat berbeda. Itu juga bisa berarti bahwa kemampuan kognitif Neandertal mungkin berbeda dengan manusia modern.”

Masyarakat Neandertal mungkin juga berbeda dalam hal lain, hal yang penting bagi kelangsungan hidup kelompok: hal yang disebut arkeolog sebagai penyangga budaya. Penyangga adalah sesuatu dalam perilaku kelompok—teknologi, bentuk organisasi masyarakat, atau tradisi budaya—yang memperbaiki kans mereka sebagai penyintas.  Ini ibarat menyimpan sejumlah kecil beras di dalam gentong, sehingga tak kelaparan dan berutang di masa paceklik . Sebagai contoh, Mary Stiner dan Steven Kuhn dari University of Arizona berpendapat bahwa manusia modern awal muncul dari Afrika dengan penyangga berupa cara berburu dan mengumpulkan makanan yang lebih efisien secara ekonomi, sehingga menghasilkan pangan yang lebih beragam. Saat kaum lelaki memburu binatang besar, perempuan dan anak-anak   mengais makanan berupa tanaman dan binatang kecil. Stiner dan Kuhn yakin bahwa Neandertal tidak memiliki pembagian kerja setegas itu. Dari Israel selatan hingga Jerman utara, bukti arkeologi menunjukkan bahwa Neandertal sangat tergantung pada berburu mamalia berukuran sedang hingga besar seperti kuda, rusa, bison, dan sapi liar. Tak diragukan lagi mereka juga memakan sayur-sayuran dan bahkan kerang-kerangan di dekat Laut Tengah. Namun, bagi Stiner dan Kuhn, ketiadaan batu giling atau bukti lain tentang pemerosesan makanan dari tumbuhan menandakan bahwa sayuran adalah makanan pelengkap bagi Neandertal, “kurang lebih seperti salad, kudapan, dan makanan penutup, bukan makanan pokok yang kaya energi.”

Tuntutan kalori tubuh yang terus-menerus, terutama di daerah lintang yang lebih tinggi dan selama masa-masa yang lebih dingin, kemungkinan memaksa perempuan dan anak-anak Neandertal ikut berburu—“pekerjaan yang keras dan berbahaya,” tulis Stiner dan Kuhn, berdasarkan pada banyaknya bekas patahan tulang yang terlihat di tangan dan tengkorak Neandertal. Kelompok-kelompok manusia modern yang tiba ke lokasi itu menjelang akhir masa Neandertal memiliki pilihan lain.!break!

“Dengan mendiversifikasi makanan dan memiliki personel [yang mengerjakan tugas-tugas yang berbeda], mereka punya formula dalam membagi risiko dan itu akhirnya merupakan kabar baik bagi perempuan hamil dan anak-anak,” tutur Stiner kepada saya. “Jadi, jika satu hal gagal, masih ada yang lain.” Perempuan Neandertal tentu kuat dan tangguh. Namun tanpa penyangga budaya seperti itu, dia dan anak-anaknya tidak dalam posisi yang menguntungkan.

Dari semua kemungkinan penyangga budaya, barangkali yang paling penting adalah masyarakat itu sendiri. Menurut Erik Trinkaus, unit sosial Neandertal kira-kira seukuran keluarga luas. Namun, pada situs manusia modern awal di Eropa, ujar Trinkaus, “kita mulai menemukan situs-situs yang menggambarkan populasi yang lebih besar.” Tinggal bersama kelompok yang lebih besar saja memiliki dampak sosial dan biologis. Kelompok yang lebih besar tentu menuntut interaksi sosial yang lebih banyak, yang merangsang otak agar lebih banyak beraktivitas selama masa kanak-kanak dan remaja, menciptakan tekanan untuk mempercanggih bahasa, dan secara tidak langsung meningkatkan usia hidup rata-rata anggota kelompok. Selanjutnya, usia panjang akan meningkatkan alih pengetahuan antargenerasi dan menciptakan hal yang disebut Chris Stringer “budaya inovasi”—pewarisan keterampilan bertahan hidup dan teknologi pembuatan perkakas dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan kemudian dari satu kelompok ke kelompok lain.

Apapun penyangga budaya yang dimiliki manusia modern, hal itu telah menyediakan pelindung tambahan, biarpun tipis, terhadap tekanan iklim kejam yang menurut pendapat Stringer memuncak pada sekitar masa kepunahan Neandertal. Data inti es menyiratkan bahwa dari sekitar 30.000 tahun lalu hingga zaman es akhir yang paling lama 18.000 tahun lalu, iklim Bumi berfluktuasi dengan liar, terkadang dalam hitungan dasawarsa. Tambahan beberapa orang dalam unit sosial, dengan beberapa tambahan keterampilan, mungkin memberi keuntungan bagi manusia modern di saat kondisi berubah kejam. “Bukan keunggulan yang besar,” ujar Stringer. “Neandertal jelas beradaptasi begitu baik dengan iklim yang lebih dingin. Namun, menghadapi sekaligus gabungan perubahan iklim ekstrem dan persaingan dengan manusia modern, saya rasa hal itulah yang menyebabkan perbedaan.”

Yang  tertinggal kini adalah pertanyaan terakhir yang sensitif—dan sebagaimana sering dikatakan Jean-Jacques Hublin, tabu secara politis—yang telah mengusik pengkajian Neandertal sejak teori Dari Afrika (Out of Africa) diterima masyarakat luas: Apakah pergantian dengan manusia modern berlangsung perlahan dan damai, semacam kerukunan ala Pleistosen, ataukah terjadi secara relatif cepat dan bermusuhan?!break!

“Sebagian besar Neandertal dan manusia modern mungkin menghabiskan sebagian besar usia mereka tanpa pernah bertemu,” ujarnya dengan kata-kata yang dipilih secara hati-hati.

“Saya membayangkan, terkadang di kawasan-kawasan perbatasan ini, beberapa orang-orang ini saling melihat dari kejauhan… tapi saya kira yang paling mungkin terjadi adalah mereka saling usir dari lokasi itu. Bukan hanya menghindari, tapi mengusir. Kita tahu dari penelitian baru-baru ini tentang kaum pemburu-pengumpul, bahwa mereka tidaklah sedamai yang dikira masyarakat umum.”

“Terkadang saya mematikan lampu dan membayangkan kehidupan yang mereka jalani.”

Ahli biologi evolusioner Clive Finlayson dari Gibraltar Museum berdiri di lorong masuk Gua Gorham, sebuah tabernakel batu kapur yang mengagumkan yang membuka ke laut di Batu Gibraltar. Di dalamnya, flowstone nan elok menggantung dari langit-langit ruangan yang besar. Stratigrafi atau susunan lapisan bebatuan di dalam gua ini diselingi bukti-bukti kehadiran Neandertal dari 125.000 tahun lalu, termasuk mata tombak dan pengerik batu, buah pinus yang terbakar, dan sisa-sisa sejumlah tungku purba. Dua tahun lalu, Finlayson dan rekan-rekannya menggunakan penanggalan karbon untuk menentukan bahwa beberapa di antara perapian itu baru padam pada 28.000 tahun lalu—jejak terakhir Neandertal yang diketahui di Bumi ini (Beberapa perapian lainnya di gua itu mungkin baru berusia 24.000 tahun, tetapi penanggalan tersebut kontroversial).

Dari fosil serbuk sari dan binatang, Finlayson telah merekonstruksi lingkungan hidup di sana seperti pada 50.000 hingga 30.000 tahun lalu. Saat itu, paparan pesisir dangkal yang sempit mengelilingi Gibraltar, Laut Tengah berjarak tiga hingga empat kilometer dengan lanskapnya dipenuhi sabana berbelukar yang beraroma rusmarin dan serpili, bukit pasirnya yang bergelombang sesekali diselingi oleh pohon mempening dan tusam batu, sementara asparagus liar tumbuh di dataran pesisir. Burung nasar prasejarah, beberapa memiliki bentang sayap tiga meter, bersarang tinggi di tebing, memindai bukit pasir untuk mencari mangsa. Finlayson membayangkan Neandertal mengawasi burung-burung itu berputar dan turun, lalu berpacu dengan unggas-unggas itu untuk berebut buruan. Makanan mereka jelas lebih beragam daripada Neandertal umumnya yang bergantung pada satwa buruan darat. Tim peneliti Finlayson menemukan tulang kelinci, cangkang kura-kura, dan kupang di dalam gua, di samping tulang lumba-lumba dan kerangka anjing laut yang memiliki tanda-tanda dipotong. “Kecuali nasinya, kita hampir menemukan menu paella ala Mousteria!” gurau Finlayson.

Namun, kemudian keadaan berubah. Saat sentuhan Zaman Es terdingin akhirnya mencapai Iberia selatan melalui serangkaian fluktuasi mendadak antara 30.000 hingga 23.000 tahun lalu, lanskapnya berubah menjadi stepa semiarid. Di medan yang lebih terbuka ini, manusia modern tinggi langsing yang pindah ke kawasan ini dengan membawa lembing lempar, barangkali lebih diuntungkan dibanding Neandertal yang pendek kekar. Namun, Finlayson berpendapat bahwa kedatangan manusia modern tidaklah sebesar perubahan iklim yang dramatis dalam mendorong Neandertal Iberia ke jurang kepunahan. “Periode dingin yang hebat selama tiga tahun, atau tanah longsor, sudah bisa menjadi penyebab kepunahan saat mereka tinggal bersepuluh orang,” ujarnya. “Begitu mencapai jumlah tertentu, mereka menjadi mayat hidup.”

!berak!Inti yang lebih luas: kematian Neandertal mungkin bukanlah cerita novel paleoantropologi yang panjang, tetapi padu; alih-alih, hal itu lebih mirip kumpulan cerita pendek tentang kepunahan yang saling berkaitan, tetapi unik. “Mengapa Neandertal menghilang di Mongolia?” tanya Stringer. “Mengapa mereka menghilang di Israel? Mengapa mereka menghilang di Italia, di Gibraltar, di Inggris? Jawabannya bisa berlainan untuk tempat yang berbeda karena kemungkinan hal itu terjadi pada waktu yang berbeda-beda. Jadi, kita membicarakan kawasan yang luas, serta hilangnya dan kemunduran di waktu yang berbeda-beda dengan kantong-kantong Neandertal yang pasti bertahan hidup di tempat berbeda-beda pada waktu berbeda-beda pula. Gibraltar sudah pasti merupakan salah satu pos depan terakhir mereka. Bisa saja itu yang terakhir, tapi kita tidak tahu pasti.”   

Apa pun yang terjadi, akhir semua cerita tersebut ditutup di Gua Gorham. Di kedalaman lubang gua, tak jauh dari perapian Neandertal, tim Finlayson baru-baru ini menemukan beberapa cetakan tangan berwarna merah di dinding, tanda bahwa manusia modern telah tiba di Gibraltar. Analisis pendahuluan atas pigmen itu bertahun antara 20.300 dan 19.500 tahun lalu. “Mereka seolah-olah mengatakan, Hei, sekarang ini adalah dunia baru, Bung,” kata Finlayson.