Akhir dari Neandertal

By , Rabu, 25 Februari 2009 | 12:01 WIB

Hal itu mungkin saja terjadi, ujar peneliti yang lain, tetapi tidak sering, dan tidak meninggalkan jejak di kemudian hari. Katerina Harvati, peneliti lain di Lembaga Max Planck di Leipzig, menggunakan ukuran detail tiga dimensi untuk fosil Neandertal dan manusia modern awal guna memperkirakan secara akurat bentuk hasil persilangan kedua spesies tersebut. Tidak ada fosil yang diperiksa sejauh ini yang sesuai dengan hasil prediksinya.

Perbedaan pendapat antara Trinkaus dan Harvati tersebut bukanlah yang untuk pertama kalinya ada dua paleoantropolog terpandang memeriksa seperangkat tulang yang sama dan memperoleh interpretasi yang bertentangan. Perenungan—dan perdebatan—tentang arti anatomi fosil akan selalu berperan dalam memahami Neandertal. Namun, kini ada cara-cara lain untuk menghidupkan mereka kembali.

Dua hari setelah saya pertama kali turun ke gua El Sidrón, Araceli Soto Flórez, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Oviedo, menemukan tulang Neandertal yang baru, mungkin kepingan tulang paha. Semua penggalian segera dihentikan dan sebagian besar kru meninggalkan ruangan itu. Lalu, Soto Flórez mengenakan baju kerja terusan ketat yang  steril, sarung tangan, sepatu bot, dan masker plastik. Diawasi oleh Antonio Rosas dan ahli biologi molekuler Carles Lalueza-Fox, dia dengan hati-hati mengeluarkan tulang itu dari tanah, memasukkannya ke dalam kantong plastik steril, lalu menyimpan kantong itu dalam kotak es. Setelah persinggahan singkat dalam tempat pembeku di sebuah hotel di Villamayo tak jauh dari situ, tulang kaki tersebut akhirnya sampai di laboratorium Lalueza-Fox di Instituto de Biología Evolutiva di Barcelona. Dia tidak berminat pada anatomi kaki atau hal lain yang mungkin mengungkap informasi tentang lokomosi Neandertal. Yang diinginkannya adalah DNA dari tulang tersebut.

Kanibalisme prasejarah sangat bermanfaat bagi biologi molekuler zaman modern. Dengan mengerik daging dari tulang, tersingkirlah DNA mikroorganisme yang dalam kejadian lain mungkin mengontaminasi sampel. DNA fosil Neandertal yang dihasilkan tulang-tulang El Sidrón bukanlah yang terbanyak—posisi itu dimiliki oleh spesimen dari Kroasia yang juga dikanibal—tetapi sejauh ini tulang-tulang El Sidrón mengungkapkan wawasan yang paling meyakinkan tentang penampilan dan perilaku Neandertal. Pada Oktober 2007, Lalueza-Fox, Holger Römpler dari Universitas Leipzig, dan rekan-rekan mereka mengumumkan bahwa mereka telah mengisolasi gen dengan endapan pigmen dari DNA salah satu fosil di El Sidrón (dan juga satu fosil Neandertal lainnya dari Italia). Bentuk khas gen ini, yang disebut MC1R, mengindikasikan bahwa setidaknya sejumlah Neandertal memiliki rambut merah, kulit pucat, dan mungkin, bintik-bintik. Meski begitu, gen itu tidaklah seperti gen milik orang berambut merah sekarang—menandakan bahwa Neandertal dan manusia modern mengembangkan ciri itu secara terpisah, mungkin karena dengan hidup di daerah lintang utara, mereka sama-sama membutuhkan kulit yang terang agar lebih banyak cahaya matahari tembus ke dalam tubuh untuk membentuk vitamin D. Hanya beberapa minggu sebelumnya, Svante Pääbo, yang sekarang mengepalai laboratorium genetika di Lembaga Max Planck di Leipzig, Lalueza-Fox, dan rekan-rekan mereka mengumumkan temuan yang lebih menghebohkan: Dua individu El Sidrón sepertinya memiliki satu versi gen FOXP2, sama seperti manusia modern, yang berkontribusi untuk kemampuan bicara dan berbahasa. Gen ini tidak hanya berperan di otak, tetapi juga di saraf yang mengendalikan otot wajah. Apakah Neandertal memiliki kemampuan berbahasa yang canggih atau hanya bentuk komunikasi vokal yang lebih primitif (menyanyi, misalnya) masih belum jelas, tetapi temuan genetika yang baru ini menyiratkan bahwa mereka memiliki sejumlah perangkat-keras untuk bicara yang sama dengan manusia modern.!break!

Semua hal ini didapat dari sekelompok Neandertal bernasib naas yang terkubur dalam runtuhan gua, tak lama setelah mereka dimakan oleh sesamanya.

“Jadi, mungkin memakan konspesies merupakan hal yang bermanfaat,” ujar Pääbo.Pääbo, si Swedia jangkung yang ceria, merupakan motor utama di balik suatu pencapaian ilmiah yang mengagumkan, yakni upaya pencapaian tersebut, yang diperkirakan selesai bulan November, untuk membaca tidak hanya gen tunggal Neandertal, tetapi seluruh urutan tiga miliar huruf dari genom Neandertal. Jejak DNA di fosil sangat sedikit dan karena DNA Neandertal demikian mirip dengan manusia zaman sekarang, salah satu rintangan terbesar dalam pengurutan gen adalah ancaman yang terus menerus dari kontaminasi DNA manusia modern—terutama dari para ilmuwan yang menangani spesimen tersebut. Tindakan pencegahan yang dilakukan saat menggali di El Sidrón sekarang menjadi praktik standar di situs Neandertal yang lain. Namun, sebagian besar DNA untuk proyek genome Pääbo berasal dari spesimen Kroasia, penggalan tulang kaki berusia 38.000 tahun yang ditemukan hampir 30 tahun lalu di gua Vindija. Awalnya, karena dianggap tidak penting, spesimen tersebut tersimpan dalam laci di Zagreb, jarang disentuh dan oleh karena itu tak terkontaminasi, hampir sepanjang masa yang dilewatkannya di museum.

Sekarang spesimen itu bagaikan tambang emas bagi DNA manusia prasejarah, walaupun tambang itu sulit dieksploitasi. Setelah diekstraksi dalam laboratorium steril di lantai bawah tanah Lembaga Max Planck, DNA tersebut dikirim dengan cepat hingga tiba esoknya di Branford, Connecticut, tempat para kolaborator di 454 Life Sciences menemukan mesin yang dapat menguraikan urutan huruf kimia DNA secara cepat. Sebagian besar huruf tersebut berasal dari kontaminasi bakteri atau informasi genetis non-Neandertal. Namun pada musim gugur 2006, Pääbo dan rekan-rekannya mengumumkan bahwa mereka telah menguraikan sekitar satu juta huruf DNA Neandertal. (Pada saat yang sama, kelompok kedua, yang dipimpin oleh Edward Rubin di Department of Energy Joint Genome Institute di Walnut Creek, California, menggunakan DNA yang disediakan Pääbo untuk menjabarkan potongan-potongan kode genetika dengan menggunakan pendekatan lain.) Hingga tahun lalu, sembari dibayangi oleh klaim bahwa pekerjaan mereka memiliki masalah kontaminasi yang parah, kelompok Leipzig menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan akurasi dan mengidentifikasi sekitar 70 juta huruf DNA—sekitar 2 persen dari jumlah seluruhnya.

“Kita mengetahui bahwa urutan gen manusia dan simpanse 98,7 persen sama, sementara Neandertal jauh lebih dekat dengan manusia dibanding simpanse,” ujar Ed Green, kepala biomatematika dalam kelompok Pääbo di Leipzig, “jadi kenyataannya, untuk sebagian besar urutan, tidak ada perbedaan antara Neandertal dengan manusia [modern].” Namun perbedaan yang ada—kurang dari setengah persen pada urutan tersebut—cukup untuk mengonfirmasi bahwa kedua garis keturunan itu mulai terpecah sekitar 700.000 tahun lalu. Kelompok Leipzig juga berhasil mengekstraksi DNA mitokondria dari dua fosil yang tidak diketahui pasti asalnya, yang digali di Uzbekistan dan Siberia selatan; keduanya memiliki ciri genetis Neandertal yang khas. Sementara spesimen Uzbekistan, seorang anak lelaki, yang memang telah lama dianggap seorang Neandertal, spesimen Siberia merupakan kejutan besar, meluaskan kawasan Neandertal yang diketahui sekitar 2.000 kilometer ke timur dari kubu Eropa mereka.Jadi, sementara bukti genetis baru tampaknya memastikan bahwa Neandertal merupakan spesies yang berbeda dengan kita, bukti itu juga menyiratkan bahwa mereka mungkin memiliki bahasa manusia dan berhasil berkembang di kawasan Eurasia yang jauh lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kita kembali ke pertanyaan yang terus membayangi dari awal: Mengapa mereka lenyap?

Dalam membujuk fosil Neandertal agar mengungkapkan rahasianya, fosil itu dapat diukur dengan jangka sorong, diperiksa dengan CT scan, atau dicoba ditangkap hantu kode genetisnya. Atau, jika ada akselerator partikel yang disebut sinkrotron, fosil itu dapat diletakkan dalam ruang berlapis timbal dan disinari dengan gelombang sinar-x 50.000 volt, tanpa mengganggu satu molekul sekalipun.!break!

Selama seminggu yang dihabiskan dengan tidur yang kurang di bulan Oktober 2007, satu tim ilmuwan berkumpul di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di Grenoble, Prancis, untuk “konvensi tulang rahang” yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuan konvensi adalah menelusuri pertanyaan penting dalam sejarah hidup Neandertal: Apakah mereka mencapai kedewasaan pada usia yang lebih awal dari manusia modern sezaman? Jika benar demikian, hal itu mungkin berimplikasi pada perkembangan otak mereka, yang pada gilirannya bisa turut menjelaskan mengapa mereka lenyap. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu dapat dicari jauh di dalam struktur gigi Neandertal.

“Ketika masih kecil, saya menyangka bahwa gigi tidak terlalu berguna dalam memperkirakan evolusi manusia, tapi sekarang saya berpendapat bahwa gigi merupakan hal yang terpenting,” kata Jean-Jacques Hublin yang menemani rekannya dari Lembaga Max Planck, Tanya Smith, ke Grenoble.

Bersama Paul Tafforeau dari ESRF, Hublin dan Smith berdesakan di dalam kompartemen yang dipenuhi komputer di fasilitas tersebut—salah satu dari tiga sinkrotron terbesar di dunia, dengan cincin penyimpanan elektron berenergi yang kelilingnya hampir satu kilometer—mengawasi layar video saat gelombang sinar-x melesat menembus gigi taring kanan atas Neandertal dewasa dari situs Le Moustier di barat daya Prancis, menghasilkan foto rontgen gigi yang bisa jadi paling detail dalam sejarah manusia. Sementara itu, sekelompok fosil pilihan yang lain berada di rak tak jauh dari situ, menunggu giliran kena lampu sorot sinkrotron: dua tulang rahang remaja Neandertal yang ditemukan di Krapina, Kroasia, yang berusia sekitar 130.000 hingga 120.000 tahun; tengkorak yang disebut La Quina milik pemuda Neandertal ditemukan di Prancis dan berusia antara 75.000 hingga 40.000 tahun lalu; serta dua spesimen manusia modern berusia 90.000 tahun yang bergigi utuh, ditemukan di dalam naungan batu Qafzeh di Israel.