Keberadaannya telah meningkatkan selera India dalam kepemilikan materi—khususnya mobil—dan banyak orang India, khususnya mereka yang berusia di atas 30 tahun, mengalami kesulitan untuk mengenali India yang diiklankan di televisi dan baliho, yang muncul dalam aneka balutan warna desainer dan kecepatan akselerasi mobil yang mampu melaju dari nol hingga enampuluh kilometer perjam di bawah sepuluh detik.!break!
”Saya melihat SEE sebagai metafora India modern, berpacu dengan kecepatan seratus mil perjam,” ujar sejarahwan Ramachandra Guha, penulis buku India Setelah Gandhi. ”Bayangkan kita tengah berhenti di sebuah lampu merah kemudian membuka jendela mobil. Terdapat sebuah jalan setapak di sebelah jalan raya, dan seorang lelaki tua kecil melintas di atas sepedanya. Sambil menunggu dengan tidak sabar agar lampu lalu-lintas segera berubah, lelaki tersebut berseru kepada kita untuk berhati-hati, menurunkan laju kecepatan, jangan terlalu terburu-buru dan berpikiran sempit dalam upaya mengejar pembangunan dan kekayaan dan materi. Lelaki di atas sepeda itu adalah Gandhi. Ia merupakan bagian dari hati nurani kita, dan dengan perubahan yang telah terjadi di India, ia tetap tidak dapat diabaikan.”
Dari balik kaca jendela depan truk milik Rakesh Kumar, Segi Empat Emas tampak bagaikan pertunjukan wayang di atas aspal yang disinari oleh cahaya lampu kendaraan yang menari-nari, sebentuk batu buatan manusia yang membosankan dan dibuat hidup oleh makhluk-makhluk yang tercipta dari lampu jarak jauh kendaraan bermotor yang muncul dari balik bayangan di sepanjang jalan dan menghilang sesaat setelah dilihat: sisi tubuh seekor sapi, setumpuk jerami, bangkai seekor anjing, hantu di atas sepeda. Waktu menunjukkan pukul 3.30 dini hari, dan Rakesh bersama keponakannya Sanjay yang berusia 19 tahun tengah mengunyah tembakau masalah dengan kandungan oktan yang tinggi—yang membuat mereka terjaga dengan membakar gusi—menggaruk bekas gigitan kutu, sambil mendengarkan lagu-lagu cinta Bollywood sumbang yang diputar Rakesh melalui pengeras suara kecil yang mampu membangunkan orang mati. ”MUSIK UNTUK MENGEMUDIKAN TRUK!” teriaknya mengatasi suara mesin, yang berderum seperti pesawat 747 walaupun truk tersebut masih melaju di bawah 50 kilometer per jam.
Bahkan dengan kecepatan tersebut, ia mampu membalap truk-truk lainnya yang berjalan di jalur lambat, dan tugas Sanjay adalah memberitahu Rakesh apabila mereka telah berhasil mendahului sebuah truk dengan memukuli rangka pintu dengan suara yang keras. Mereka tengah berada 400 kilometer di utara Mumbai di negara bagian Gujarat, mengangkut sembilan ton lilin, pewarna kain, dan peralatan listrik menuju pabrik-pabrik di Delhi. Mereka sudah mengalami dua ban pecah malam ini—Rakesh berhenti di toko ban pinggir jalan dan memaksa sang mekanik untuk bangun membetulkannya—dan sekarang ia tengah mengebut untuk mencapai sebuah titik pemeriksaan sebelum pukul 4 pagi, ketika ia dijadwalkan untuk bertemu dengan seorang teman atasannya. Katanya, pria ini akan ”memandu” mereka melalui titik-titik pemeriksaan di perbatasan negara bagian Rajasthan, karena truk tersebut kelebihan beban.
Walaupun batas maksimum kecepatan berkendaraan di SEE mencapai 80 kilometer per jam, pada umumnya Rakesh membawa truknya dengan kecepatan 65 kilometer per jam atau lebih pelan lagi untuk menghemat bahan bakar; pemiliknya memberikan uang yang cukup untuk biaya operasional, dan Rakesh bebas mengantongi sisa uang yang tidak terpakai. Jika semua berjalan dengan lancar, ia dapat melipatgandakan penghasilannya untuk perjalanan seperti ini, yang jumlahnya tidak terlalu besar. Perekonomian India mungkin tengah melaju, namun bagi seorang lelaki seperti Rakesh, dengan seorang istri dan empat anak yang harus dibiayainya, setiap rupee menjadi diperhitungkan. Ketika aku berkunjung ke tempat tinggalnya di jalan masuk yang berdebu di Ahmadabad, keempat anaknya—dua lelaki dan dua perempuan yang berusia antara tiga hingga 18 tahun—dengan bangga menunjukkan kontribusi mereka terhadap keuangan keluarga, memperbaiki sapu di lantai ruang keluarga untuk sebuah pabrik tekstil lokal. ”Di keluarga ini, jika kau tidak bekerja, kau tidak akan mendapatkan makan,” kata Rakesh.!break!
Sebagai seorang pria yang keras, lucu, dan jujur berusia 42 tahun, Rakesh memiliki tubuh yang menyerupai seorang mantan petinju—bahkan hidungnya tampak seperti telah ditonjok—namun Anda salah jika menilai tampilan machonya sebagai pertanda kesembronoan. Pria ini telah mengemudikan truk secara profesional selama 22 tahun. Ia menghargai reputasinya sebagai seorang pengemudi yang aman dan tidak pernah mabuk. ”Dari semua pengemudi yang berkendara di jalan raya malam ini, aku berani bertaruh bahwa 90 persennya tengah memakai narkoba,” katanya—ganja, minuman keras, atau doda, campuran opium dan sirih yang menyerupai teh dan banyak dipakai pengemudi agar tetap siaga, namun pada saat yang bersamaan mengganggu penilaian mereka. Namun ia tetap memilih untuk berkendara di malam hari, ketika udara sejuk dan SEE lebih lengang dari lalu lintas manusia dan hewan yang dapat memperlambat jalan seorang pengemudi atau menyebabkan sebuah kecelakaan.
Di jalan raya besar dengan enam jalur, bukanlah hal yang tidak lazim ketika mendapatkan gerobak-gerobak sapi, kerbau, sepeda motor, dan terkadang sebaris truk dan mobil yang mengarah langsung kearahmu, di jalurmu, berkendara melawan arus dikarenakan jaraknya yang lebih pendek atau lebih mudah atau mungkin karena mereka bingung. Kambing terkadang merumput di taman pembatas pinggir jalan, dan lalu-lintas seringkali tertahan oleh sapi-sapi keramat, satu-satunya pengguna jalan raya yang tampaknya tidak menyadari bahaya di sekitarnya.
Kota-kota yang terbelah di tengah oleh jalan raya menjadi berbahaya karena banyak pejalan kaki menyeberangi jalan yang dipadati kendaraan, yang hampir tidak pernah bersedia mengurangi kecepatan lajunya. Di beberapa kota tersebut, kemacetan menjadi sangat parah sehingga SEE tampak berhenti total, dan hukum-hukum fundamental lalu-lintas di India, yang menyerupai peraturan koloni lebah, mengambil alih keadaan. Menyeberangi perempatan yang sibuk memberi kita kesempatan untuk melihat secara sekilas karakter di India: penuh usaha, kreatif, saling mendorong, bertenaga, pantang menyerah, dan kooperatif. Ketika bersiap untuk menyeberangi jalan, kau menyadari dorongan-dorongan yang selalu terjadi di sekelilingmu, tiap orang mengambil posisi untuk melewatimu dalam perjalanan mencapai sisi lainnya. Tidak terdapat keberingasan di dalamnya; hanya saja berdiri diam bukanlah sebuah pilihan.
Sebelum mencapai loket pembayaran tol di Udaipur, Rakesh memutuskan untuk meninggalkan SEE dan mengambil rute alternatif melalui daerah perbukitan ke arah barat. Walaupun lebih lambat, jalan raya dengan dua lajur tersebut memungkinkan dirinya menghemat biaya tol kurang lebih sebesar Rp180.000. Jalan tersebut juga memberikan gambaran sekilas mengenai kehidupan sebelum adanya SEE. Tingkat kecelakaan di jalan raya dua lajur di India lebih tinggi dibandingkan di SEE, dan Rakesh mengomentarinya dengan berkata, ”mungkin itulah hal yang paling baik tentang jalan raya baru ini. Jalanannya lebih aman.”!break!
Suatu sore kami melewati sebuah bangkai kendaraan bekas kecelakaan—sebuah truk yang baru saja memasuki jalan raya ditabrak dari belakang oleh sebuah trailer 18 roda yang melaju cepat di turunan dengan muatan dua balok marmer putih seberat delapan ton yang diangkut dari sebuah lokasi penambangan lokal. Kedua balok raksasa tersebut tidak diikat namun dibiarkan saja di bagian belakang truk. Dalam kecelakaan tersebut, keduanya terhempas ke depan dan melindas bagian depan truk, meratakan sang pengemudi dan kedua asistennya hingga tewas.
Dalam kasus-kasus seperti itu, gerombolan masa dengan cepat seringkali terbentuk dan menyerang pengemudi yang selamat, tanpa memedulikan apakah ia bersalah atau tidak. Saya sempat menyaksikan kurang lebih setengah lusin kecelakaan dalam perjalanan sepanjang SEE, dan pada umumnya gerombolan tersebut telah terprovokasi, dan lebih tertarik main hakim sendiri daripada memberikan pertolongan pertama pada korban yang patah tulang dan berdarah di jalanan. Suatu malam, cerita Rakesh, ia bertabrakan dengan sebuah becak motor yang dengan sembrono melaju di depannya. Ketika ia berupaya menolong sang pengemudi becak, dengan kaget ia menyadari bahwa sebuah gerombolan tengah terbentuk, dan berteriak-teriak menuntut darah sang pengemudi truk. Dengan cepat ia menyusup dan bergabung bersama mereka meneriakkan, “Di manakah pengemudi brengsek itu? Bunuh dia!”
Apabila bukan dikarenakan oleh SEE, Tamil Selvan yang berusia 29 tahun mungkin masih memetik kelapa di desanya di negara bagian di selatan India, Tamil Nadu. Namun sebaliknya, dengan penuh tanggung jawab Tamil muda mengendarai sepeda ayahnya pulang pergi menuju sebuah sekolah negeri di desa yang lebih besar yang terletak beberapa kilometer dari tempat tinggalnya. Ia kemudian mengikuti pendidikan di sebuah perguruan teknik di kota terdekat, dan kini ia menjabat sebagai seorang teknisi senior di pabrik mobil raksasa Hyundai di dekat SEE di sebelah barat Chennai, menemukan dan memperbaiki kerusakan pada lempengan-lempengan metal berwarna perak yang melaju di sepanjang ban berjalan, berhenti di tiap stasiun kerja dalam waktu rata-rata selama 64 detik. Setelah dirakit, hasil kerjanya lalu dicat dan dipoles dan dikirimkan, menggunakan truk melalui SEE, menuju pelabuhan di Chennai kemudian ke berbagai penjuru dunia—suatu hal yang, bahkan setelah sepuluh tahun bekerja, masih sulit dipahami oleh Tamil. ”Bayangkan perjalanan yang harus dihadapi oleh mobil- mobil ini sepanjang hidupnya”—ucapnya jujur—”berbagai perubahan cuaca, jalan-jalan dan lalu-lintas yang berbeda di seluruh dunia. Sulit membayangkan bahwa perjalanan mereka dimulai dari sini.”