Jalur Cepat Menuju Masa Depan

By , Selasa, 24 Februari 2009 | 12:07 WIB

Di sisi lain negeri tersebut, di kantornya di Mumbai, Ravi Kant, direktur utama Tata Motors, sebuah perusahaan India ternama yang memiliki catatan tanggung jawab sosial yang baik, mengakui bahwa di Singur ”terdapat kesempatan untuk melakukan perbaikan,” namun memilih untuk menyorot 2.000 pekerjaan dan berbagai keuntungan ekonomi lainnya yang akan ditimbulkan oleh keberadaan pabriknya di Segi Empat Emas bagi masyarakat Bengal Barat, salah satu negara bagian yang paling tertinggal di negeri tersebut. ”Pada akhirnya, lebih banyak orang yang akan menangguk keuntungan dari proyek ini dibandingkan mereka yang menderita,” tambah rekannya Debasis Ray, seorang putra daerah Bengal Barat. ”Inilah sifat dasar kemajuan.”!break!

Kaum petani sudah mulai merasakan keuntungan dari keberadaan jalan raya tersebut di beberapa wilayah. Di Mettur, sebuah desa petani apik yang terletak di ujung jalan satu lajur, orang tua Tamil Selvan, sang pekerja Hyundai, kini bertempat tinggal di rumah bagus bertingkat dua yang terbuat dari beton, 275 kilometer dari pabrik tempat anaknya bekerja. Di sebelah rumah mereka sekarang, terdapat rumah asli mereka yang terdiri dari satu kamar dan terbuat dari batangan kayu dan campuran semen, yang kini digunakan untuk menyimpan kelapa, kentang, dan karung karung goni berisi beras. Beberapa tahun yang lalu pemerintah negara bagian mengaspal jalan menuju desa, menghubungkannya dengan jalan raya sekunder dan SEE serta pasar-pasar yang terletak jauh. Inovasi lainnya dari tahun 1990an—jaringan telpon nirkabel, yang menyertai jalan raya di seluruh India serta memberikan jaringan yang minim gangguan bagi pengendara jalanan—membantu para petani mengambil keuntungan dari jalanan yang baru. Di beberapa tempat seperti Mettur, dengan telpon selular seharga kurang lebih Rp270.000 dan ongkos pulsa beberapa belas ribu rupiah setiap bulannya, kini para petani dapat menjalankan usaha dagang dari jarak ratusan kilometer jauhnya, mengeliminasi peran tengkulak dan menghilangkan sebagian tanya jawab yang pada umumnya timbul dari pengangkutan dan penjualan jarak jauh.

”Jalan-jalan tersebut telah mengubah segalanya,” ujar ayah Tamil, Devaraja Pillai, seorang pria hangat dan berwibawa berusia 59 tahun. ”Biasanya kami hanya dapat menjual hasil panen di kota-kota terdekat, dan harga seringkali rendah. Kini kami memiliki truk, yang sering kami gunakan untuk mengangkut kelapa dan mangga ke pasar-pasar yang lebih besar seperti Bangalore dan Chennai. Kami dapat menjual kelapa seharga tujuh rupee per pon di Bangalore, tiga kali lipat dari yang kami dapatkan di sekitar sini. Dan kami dapat menghemat hingga setengah waktu yang dulu digunakan untuk mencapai lokasi tersebut, sehingga hasil panen kami masih segar.” Sebagai seorang petani paruh waktu, ayah Tamil juga seorang guru sekolah di desanya, penyair, dan pengagum sang guru abad ke-19, Swami Vivekananda, yang rambut panjang dan mata besar bahagianya tampak terpajang dalam foto-foto di berbagai penjuru rumah. Pada dinding ruang keluarga yang berwarna hijau cerah, ia telah menempelkan salah satu kutipan dari Vivekananda: ”Pendidikan merupakan wujud kesempurnaan yang dimiliki manusia.” Kata-kata tersebut menjadi kredonya.

Enam bulan setelah Tamil bekerja di Hyundai, perusahaan tersebut mengundang keluarga pegawai-pegawai barunya untuk mengunjungi pabrik, semua biaya ditanggung. Ibu dan ayah Tamil mengendarai bus ke Chennai melalui Segi Empat Emas dan terkejut dengan ukuran Hyundai, yang telah diperingati oleh Tamil sebagai ”perusahaan besar, seluas samudera.” Mereka menyaksikan dengan mata terbelalak lebar ketika anaknya mengoperasikan peralatan seharga jutaan dolar dan mengagumi efisiensi ban berjalan, yang dideskripsikan oleh ayahnya sebagai ”setengah robot, setengah manusia, bekerjasama sebagai suatu kesatuan.”

Devaraja juga melihat kesempurnaan di dalam diri Tamil yang belum pernah ia saksikan sebelumnya, sebuah perwujudan dari keterampilan yang dipelajarinya dan kepercayaan diri yang kini telah membebaskan jutaan masyarakat pedesaan di India dari ikatan kasta dan geografi. Dalam dua dekade terakhir, jumlah rakyat India yang hidup di bawah garis kemiskinan telah menurun, dan kelas menengah telah tumbuh secara dramatis—sebuah pencapaian yang mungkin juga akan dirayakan oleh Gandhi.!break!

Bapak pendiri India, yang masih dielu-elukan, merupakan simbol India yang sulit dibayangkan akan menjalani pengaspalan jalan raya atau dipenuhi pabrik-pabrik baru. Namun di masa kini, Gandhi memiliki berbagai arti bagi banyak orang. ”Tampaknya India telah berkembang dan meninggalkan pola pikir ’sederhana’, namun Gandhi masih sangat penting untuk masa sekarang,” ujar Subhabrata Ghosh, seorang eksekutif di Saatchi & Saatchi/India yang selalu mengikuti perkembangan wacana di negerinya. ”Gandhi mengartikan keberanian, kompetensi, penguatan, dan kemauan untuk mewujudkan perubahan. Memang benar saat ini kita tidak hidup dalam masa perjuangan kemerdekaan. Namun terdapat sebuah pasar global, dan Gandhi merupakan seseorang yang sangat kompetitif yang pernah ada. Ia berhasil mengusir Inggris tanpa menembakkan sebutir peluru!”

Dalam perjalananku di jalur cepat menuju Delhi, pada akhirnya aku berkesempatan untuk menemui Gandhi yang dianjurkan oleh Ramachandra Guha, sang lelaki bijak yang mengendarai sepeda dan memberitahu orang-orang India agar mengurangi laju kecepatannya, bersikap santun, tidak melupakan identitas diri mereka yang sesungguhnya. Suatu pagi di Rajasthan, semua kendaraan dipaksa untuk menyingkir dari salah satu sisi jalan raya oleh sekawanan sapi Brahmana yang berjumlah ratusan dan tengah digembalakan oleh sepasang pengembara berpakaian cerah yang bergerak melawan arus lalu-lintas. Ketika hewan-hewan tersebut merumput di semak-semak sebuah halaman rumah yang terletak berdekatan, kulihat seorang lelaki tua yang berbaring di bawah pohon pipal, menghisap sebuah hookah. Di belakangnya, sebuah sepeda berdebu tengah tersandar di dinding kompleks tempat tinggalnya, kurang lebih seratus meter dari jalan raya.

Kuhampiri dirinya ketika ia tengah memanggil pulang anjingnya yang menggonggongi kawanan sapi dengan galak: ”Beevcoof! Bodoh! Kembali ke sini!” Namanya Deen Dayal, jelasnya, dan ia tampak seperti salah satu karakter perang Inggris – Afghanistan, dengan kumis putih besarnya yang mirip Pak Raden, potongan rambut lelaki, dan sinar mata yang penuh kenakalan. Dengan suara keras bernada tegas, ia bercerita bahwa usianya 80 tahun dan ia memiliki tanah di kedua sisi jalan raya, dengan tiga dhaba, atau tempat pemberhentian truk, dan sebuah pom bensin yang menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat, berkat kemacetan di SEE. Kini ia mengendarai sepedanya melalui jalan-jalan setapak antara rumah dan tempat-tempat usahanya, namun ia tidak lagi berani berkendara di jalan raya. ”Saya tidak dapat mendengar dengan jelas lagi, dan mobil-mobil itu bergerak dengan sangat cepat sehingga membuatku takut. Setengah tanah milikku ada di seberang jalan raya, dan saya terlalu takut untuk menyeberanginya.”

Ketika membicarakan jalanan, ia berkata, ”Saya sangat marah. Saya baru tahu bahwa mereka berencana untuk memperlebar jalan lagi, dan kali ini akan memakan seluruh halaman saya.” Ia menunjukkan sebuah tiang pancang dari besi yang tertancap setengah meter dari pojok dinding depan rumahnya. ”Para petugas jalan raya datang bersama 15 atau 20 anggota polisi lalu mengukur tanah hingga ke sini,” katanya. ”Halamanku, pohonku, tempat peristirahatanku—semuanya hilang.”!break!

Kami duduk dalam sunyi selama beberapa saat, lalu, setelah merasa lebih tenang, ia menceritakan padaku keadaan sebelum pembangunan jalan, dan mereka harus berjalan sejauh 16 kilometer untuk mencapai stasiun kereta api terdekat. Ia menjalani masa pemisahan India dan Pakistan, dan ia juga menceritakan hal tersebut.

”Apakah Anda sempat bertemu dengan Gandhi?” tanyaku.

”Ya, pernah,” jawabnya. Tidak lama setelah kemerdekaan, muncul dorongan untuk mengembangkan pembangunan jalan raya, dan pemerintah berencana untuk membangun salah satunya di tempat ini. ”Namun mereka ingin membangunnya di tengah-tengah perkebunan kami, lokasi jalan raya tersebut berada saat ini. Lalu ayah saya dan saya sendiri dan sekelompok orang lainnya menaiki kereta ke Delhi untuk meminta Gandhiji dan Nehru agar memindahkan jalan tersebut ke pinggiran tanah kami supaya wilayahnya tidak akan terbagi dua.”

”Bagaimana kelanjutannya?” tanyaku.

”Oh, semua berjalan dengan baik,” jawabnya. ”Mereka menemui kami dan bersalaman dengan kami dan mendengarkan semua argumen kami dengan sangat sopan. Kemudian mereka melanjutkan kegiatan yang telah mereka rencanakan sebelumnya dari awal.”