Jalur Cepat Menuju Masa Depan

By , Selasa, 24 Februari 2009 | 12:07 WIB

Tamil, seorang kepala keluarga yang pendiam dan bertubuh gempal dengan kumis, menghabiskan sembilan jam waktu kerjanya mengenakan sebuah seragam—kaos polo dan celana biru tua, masker debu putih, penyumbat telinga oranye, sarung tangan putih—dan tampaknya hampir selalu menggenggam sebuah alat di tangannya. Ia merupakan salah satu pegawai pertama yang dipekerjakan oleh Hyundai pada tahun 1998, setelah perusahaan pembuat mobil dari Korea Selatan tersebut membangun pabriknya di sini, sebidang tanah datar seluas 216 hektar. Kini 5.400 pekerja Hyundai telah memiliki kualitas kerja yang membantu India menjadi salah satu tujuan utama di dunia bagi para pengusaha. Martii Salomaa, seorang manajer berkebangsaan Finlandia yang bekerja di pabrik tetangga, Nokia yang dibuka pada tahun 2006 dan kini mempekerjakan 9.000 orang, mengatakan bahwa India memiliki ”angkatan kerja yang paling luar biasa di dunia. Orang-orang sini sangat kreatif, pekerja keras, penuh tenaga dan ide-ide baru. Anda tidak pelu mendorong mereka, karena mereka senantiasa saling mendorong; tantangannya adalah bagaimana mengarahkan energi mereka yang luar biasa itu.”!break!

Tamil tidak menganggap dirinya sebagai seorang pencipta ataupun pemecah masalah, seperti jutaan anak India selatan yang dibesarkan di desa yang terletak beberapa kilometer dari jalan aspal terdekat dan membantu ayahnya, sama halnya dengan Tamil, telah menggarap kebun kecil yang ditanami mangga, padi, dan kelapa. Di tempat kerja, salah satu saran Tamil—mengadakan selang hidrolik kedua di bawah stasiun kerja agar dril milik tim dapat digunakan secara efisien di kedua sisi mobil—dianggap sebagai suatu hal yang wajar, namun idenya berhasil membuat perusahaan menghemat ribuan jam kerja dan memberinya penghargaan sebagai Pegawai Hyundai Bulan Ini. Hal tersebut merupakan pencapaiannya yang paling membanggakan, dan ia menyimpan sertifikat penghargaannya, dengan tulisan yang tercetak di atasnya, ”KAMI BANGGA PADAMU,” di dalam sebuah buku khusus di rumahnya. Ia menggunakan hadiah uang tunai 2.500 rupeenya untuk membeli sebuah sepeda motor bekas agar ia, istrinya, dan anak lelakinya yang masih kecil dapat bepergian ke kampung halamannya untuk menghadiri festival dan sekali-kali berkunjung di akhir minggu.

Setiap pabrik di sepanjang SEE, termasuk Hyundai, menciptakan ”ekosistem” tersendiri, membuka lusinan lapangan kerja terspesialisasi yang dengan cepat diisi oleh wirausahawan-wirausahawan India yang penuh energi. Sebagai contoh, Hyundai dikelilingi oleh 83 perusahaan kecil, yang memasok kaca jendela depan, alat penempel, lampu sorot, kaca spion, dan bagian- bagian khusus lainnya. Sebaliknya, masing-masing perusahaan memiliki pemasok tersendiri yang menyediakan jasa transportasi truk, pergudangan, pelayanan administrasi, dan dukungan logistik. India juga telah membentuk Zona-zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang menyediakan infrastruktur baru dan masa bebas pajak bagi perusahaan asing yang membuat produk ekspor dengan mempekerjakan pegawai India. Hingga saat ini terdapat lebih dari 200 ZEK di India, yang menghasilkan lebih dari Rp135 triliun dalam ekspor tahunan dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari setengah juta pekerja India.

Kekuatan ekosistem tersebut turut memegang andil terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi India yang bertambah sebesar 9 persen per tahun, berada di urutan kedua setelah China dalam perbandingan ekonomi pasar. Namun, berbeda dengan China, India menjalankan demokrasi bebas yang menimbulkan konflik tanah untuk pembangunan jalan raya dan zona-zona usahanya. Di negara yang padat penduduk seperti India—lebih dari satu milyar manusia bermukim di kawasan yang kurang lebih sepertiga luas wilayah Amerika Serikat—nampaknya setiap jengkal tanah yang berharga dipertahankan oleh pemiliknya. Pembangunan sebuah pabrik memakan lahan pertanian; pelebaran jalan raya menggusur ribuan toko kecil, restoran, pemberhentian truk, warung teh, dan usaha-usaha lainnya. Jalanan memang mengubah segalanya, namun tidak selamanya menguntungkan bagi semua orang.

Ejekan dan teromol gas air mata merobek udara pada suatu Minggu sore yang panas setahun yang lalu, ketika sebuah persengketaan tanah pecah di dekat Singur, sebuah distrik pertanian di sebelah barat Kalkuta di sepanjang Segi Empat Emas. Pemandangan dipenuhi dengan asap gas air mata yang membumbung, yang bolak-balik tertiup di sepanjang lanskap pedesaan, bagaikan adegan pada masa Perang Sipil. Berkumpul di salah satu sisi lapangan terbuka yang datar, dalam bentuk pemberontakan sipil ala Gandhi, beberapa ribu petani dari desa-desa sekitar, yang bersatu untuk merebut kembali tanah yang diambil oleh pemerintah. Sebuah barisan tempur menghadang mereka, dan terdiri atas beberapa ratus polisi negara berseragam khaki, dipersenjatai dengan tameng dan lathi, tongkat bambu berukuran satu meter yang berat, yang mampu melumpuhkan bahkan menewaskan seorang petani, jika diayunkan dengan kekuatan yang cukup besar.!break!

Di balik garis polisi terdapat dinding bata setinggi tiga meter yang dikelilingi oleh kawat berduri, dan di belakangnya terdapat tanah pertanian seluas 260 hektar yang dijual oleh pemerintah negara bagian Bengal Barat kepada Tata Motors, manufaktur raksasa kendaraan bermotor India, sebagai insentif pembangunan pabrik di lokasi tersebut. Bersebelahan dengan SEE dan terletak hanya satu jam dari Kalkuta, lokasi tersebut secara jelas memberikan keuntungan bagi perusahaan bernilai Rp5 triliun yang mengirimkan produknya ke seluruh India dan juga dunia; dan Tata Motors, yang dipastikan oleh pejabat negara telah menjalankan proses sesuai hukum, sudah berkomitmen untuk merakit mobil revolusionernya seharga Rp22.500.000 di lokasi tersebut.

Dalam satu dekade terakhir, Otoritas Jalan Raya India telah menjalankan langkah-langkah yang luar biasa untuk memberikan kompensasi bagi mereka yang bermukim di jalur Segi Empat Emas. Pada umumnya para pemilik tanah dan petani penyewa lahan telah dibayar oleh pemerintah India, sebagian menggunakan pinjaman dari World Bank. Di zona usaha yang terletak bersebelahan, tanggung jawab pembebasan lahan untuk pembangunan ekonomi dipegang oleh pemerintah negara bagian. Ironisnya, pemimpin Partai Komunis di Bengal Baratlah—salah satu negara bagian termiskin yang tertinggal jauh secara ekonomi—yang tiba-tiba berubah dan fanatik terhadap ide pro-bisnis, melakukan penyitaan tanah dan taktik adu otot untuk menarik para manufaktur dengan mengorbankan petani-petani miskin yang dahulu memilih mereka pada waktu pemilu. Ketika hal tersebut benar-benar terjadi, bentrokan perebutan tanah pun berubah buruk.

Di Singur, seorang perempuan tua yang penuh amarah, dengan berani melangkah tergopoh-gopoh menyeberangi wilayah sengketa menuju garis polisi, sambil mengacungkan tongkat berat yang lebih besar dari tubuhnya. ”Tanah kami telah dicuri! Di mana rasa kemanusiaan kalian?” teriaknya serak, diiringi sorak-sorai dari ratusan pemrotes yang mengikutinya. Pria-pria remaja bertelanjang dada, yang bangkit amarahnya, merangsek ke depan dan melempari batu dan bata ke arah polisi, yang menghalanginya dengan tameng mereka. Dengan satu isyarat, barisan depan garis polisi mulai maju ke arah para demonstran sambil mengacungkan lathi mereka, sementara polisi lainnya melemparkan teromol gas air mata dan menembakkan peluru karet ke arah para petani. Dalam bentrokan yang terjadi selanjutnya, lusinan pemrotes terluka, walaupun polisi agak menahan diri karena hadirnya wartawan. Malam itu, setelah kami pergi, polisi datang kembali dengan pasukan yang lengkap, menangkap para pimpinan protes, memukuli lebih banyak orang dengan lathi. Biro intelijen negara menghubungi pemandu kami dan memberi peringatan: Jika kami datang lagi, kami juga akan diinterogasi.

Beberapa hari kemudian segelintir pemrotes berkumpul di desa petani terdekat bernama Beraberi. Seorang petani bernama Kashinath Manna, 75 tahun, matanya bersinar seperti anak remaja, bercerita mengenai tanah seluas 2,8 hektar yang digarap oleh dirinya dan kedua saudara lelakinya sejak mereka masih kecil, tanah yang diwarisi dari ayah mereka, dan dari ayahnya sang ayah. Tanaman mereka diairi oleh sumur-sumur yang digali oleh Pemerintah India pada masa revolusi hijau pertanian tahun 1960an untuk mencegah malnutrisi dan membuat India mandiri. Air sumur tersebut, kata Kashinath, merupakan kunci utamanya; yang menciptakan kesuburan tanah sehingga mampu memberi panen hingga lima kali setahun—kacang okra, buncis, kentang, rami—hasil panen yang mampu menghidupi keluarga besarnya, 32 anak dan cucu, yang bergantung pada Kashinath dan kedua saudara lelakinya. “Kami mampu memanen sangat banyak sehingga aku harus menggunakan becak untuk membawanya ke pasar,” katanya.!break!

Kini Kashinath cukup membawa hasil panennya ke pasar menggunakan tas kanvas yang diselempangkan di bahu. Hanya sebanyak itulah yang mampu ia panen di tanahnya yang seluas sepersepuluh hektar, sisa wilayah yang dimiliki keluarganya sekarang, setelah Tata Motors menempatinya. Ia tidak akan melupakan hari ketika ia kelihangan sisa tanahnya. Saat itu masih sangat pagi, selepas subuh, dan ketika ia berbelok keluar dari jalan tanah desa menuju jalan setapak yang mengarah ke tanah keluarganya, ia terkejut menyaksikan barisan polisi yang berdiri di antara dirinya dan lahan pertaniannya; di belakang mereka para pekerja tengah memasang pagar kawat berduri. Ketika ia mendekat, polisi mengangkat senjatanya dan menyuruhnya pulang. Rasanya ia seakan ditelanjangi, ceritanya. ”Kami hanya petani,” ucapnya sedih. ”Hanya pekerjaan itulah yang saya pahami. Akhir-akhir ini saya sering memikirkan untuk bunuh diri.” Salah satu teman baik Kashinath, juga seorang petani, melakukan bunuh diri beberapa bulan yang lalu.

Pemerintah Bengal Barat mengaku memiliki kekuasaan untuk mengambil alih tanah warga berdasarkan peraturan tahun 1894 dan bersikeras bahwa sebagian besar petani di Singur melepaskan tanahnya secara sukarela untuk memperoleh balasan kompensasi. Klaim tersebut menyinggung Kashinath. Tidak seorang petanipun yang akan melepaskan tanah yang subur secara sukarela, ujarnya.”Dan jika kami benar memberikannya secara sukarela, mengapa mereka harus mengirimkan polisi untuk melawan kami? Saya bukan seorang penjahat. Seumur hidup saya belum pernah menyakiti siapapun. Namun kini saya lelah dengan kekhawatiran. Apa yang akan kami makan? Bagaimana kami akan menjalani hidup? Bagaimana masa depan anak-anak kami?”

Anuradha Talwar dari Serikat Pekerja Petani Bengal Barat mengatakan bahwa ”banyak petani yang diintimidasi oleh anggota partai yang memaksa mereka untuk membuat persetujuan tertulis mengenai pengambilalihan tanah mereka,” dan hanya 60 persen wilayah yang dialihkan secara hukum. Untuk menekankan isu tersebut, organisasinya mengajukan gugatan perkara yang mengatasnamakan para petani, yang kini tengah berlangsung di pengadilan.