Sinai

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 11:03 WIB

Semua tampak sunyi di desa pesisir Taba. Pada malam ini seperti di malam-malam lainnya, Matahari terbenam di barat, di belakang pegunungan Sinai sehingga kegelapan turun dari atas gunung, semakin cepat saat kegelapan mendekati laut. Di resor Hilton, tamu-tamu mengganti bikini dengan busana malam dan jaket olah raga. Angin gurun bertiup dingin pada malam bulan Oktober, maka manajemen hotel mengeringkan kolam air laut hingga pagi hari.!break!

Resor Red Sea menawarkan miniatur tentang mimpi Sinai– mimpi tentang Timur Tengah di mana musuh lama menukar tanah dengan perdamaian dan terorisme dengan pariwisata. Hotel itu dikelola oleh Orang-orang Inggris, karyawannya orang-orang Mesir, sementara orang-orang Eropa dan Rusia—serta banyak orang Israel—sering menginap di hotel tersebut. Di luar, bendera Mesir dan Israel berkibar berdampingan. Sesungguhnya sebulan sebelumnya, pemerintah Israel memperingatkan tentang serangan teroris yang bakal segera terjadi, tetapi peringatan-peringatan semacam itu selalu datang dan pergi.  Di sini, para pengunjung dapat melupakan bahwa kedua musuh bebuyutan telah beberapa kali bergantian menguasai semenanjung dalam tempo sekitar 50 tahun terakhir. Selama perang tahun 1956, 1967, dan 1973, Mesir dan Israel menggempur sepanjang semenanjung; pada 1979 kedua negara menandatangani kesepakatan perdamaian dan Israel menyerahkan kendali Sinai kepada Mesir sekali lagi. Pakta itu masih berlaku setelah 30 tahun kemudian.

Sinai selalu menjadi tempat paradoks semacam itu—lahan yang berbatu-batu dari keindahan surgawi, baik dari permusuhan maupun simfoni. Di atas segala arti penting semenanjung itu secara geopolitis, sebagai contoh, populasi terbesar Sinai adalah kelompok yang paling sedikit peduli akan identitas nasional: orang Baudi atau Bedouin. Selama penyerangan dan penyerangan balasan antara orang-orang Arab dan orang-orang Israel pada dekade-dekade belakangan, orang-orang suku ini berbaur begitu baik dalam lanskap sehingga mereka hampir kelihatan seperti fitur-fitur alam, mereka telah menderita takdir serupa dengan tanah air mereka. 

Ketika malam semakin larut, para tamu berpindah dari restoran ke kasino, bar, dan diskotek. Setiap orang merayakan hari libur yang berkaitan dengan Sinai pada akhir pekan ini: orang Mesir mengenang tentara mereka yang menerjang masuk ke semenanjung Sinai pada Perang Yom Kippur 1973 dan orang Israel memperingati perjalanan alkitabiah para leluhur mereka melalui gurun tersebut. Dalam tahun-tahun belakangan ini, orang-orang menyebut pesisir dengan nama Red Sea Riviera. Sebutan tersebut mencakup kemorosotan dan kebebasan tanpa kendali yang membuat semenanjung ini terpisah dari bagian Mesir lainnya.

Perbatasan Israel terletak hanya beberapa meter jauhnya. Di seberang perbatasan, di  Elat, petugas pemadam kebakaran yang sedang tidak berjaga Shachar Zaid muncul dari gedung bioskop, tempat ia dan istrinya baru saja menonton film Amerika tentang para petugas pemadam kebakaran. Itulah saat ketika suara  yang teredam bergemuruh di sepanjang kota: bum.!break!

Zaid berlari bersama istrinya ke arah suara, menuju perbatasan. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan kepala pemadam kebakaran yang sedang tidak bertugas, tengah mengganti pakaiannya dengan seragam di dalam mobilnya. Dia juga bertemu dengan enam petugas pemadam kebakaran lainnya yang tiba dengan tiga truk pemadam kebakaran milik kota. Zaid memanjat ke atas salah satu truk yang memiliki tangga bersama dengan atasannya dan mereka mendekati perbatasan tanpa tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi di seberang sana. Sejumlah prajurit Mesir yang sama-sama tidak pasti tentang apa yang telah terjadi, berdiri merintangi pos pemeriksaan dengan senapan otomatis.

Saling tatap ke seberang garis yang tidak kelihatan, orang-orang Mesir dan Israel menghadapi dilema internasional yang mendadak. Bagaimana mereka bertindak pada malam di tahun 2004 itu akan mewakili segala sesuatu yang telah terjadi sebelumnya di Sinai pada masa lalu dan segala sesuatu yang terbentang di depan. Orang Mesir harus memutuskan apakah mempertahankan kedaulatan melawan musuh lama dan para pemadam kebakaran Israel menghadapi pilihan mereka sendiri: apakah melancarkan serbuan delapan orang ke tanah Arab atau tidak.

Selama beberapa alaf Semenanjung Sinai telah berfungsi sebagai jembatan. Jembatan darat bagi orang-orang yang berpindah dari satu benua ke benua lainnya, betul itu, tetapi juga menjadi jembatan metafisik antara manusia dengan Tuhan. Semua para pendahulu dari ketiga agama monoteistik besar bisa dikatakan telah mencari perlindungan pada kawasan segi tiga gurun ini. Menurut Alkitab, Musa menerima penugasannya di Sinai ketika Tuhan berbicara kepadanya dari semak yang terbakar, kemudian Musa mengembara di gurun dengan orang-orangnya selama 40 tahun. Saat kanak-kanak, Yesus dan keluarganya mengungsi ke Sinai untuk menghindari kemurkaan Raja Herodes yang cemburu. Umat kristiani masa awal bersembunyi dari para penganiaya Roma di antara pegunungan yang sepi di semenanjung, mendirikan beberapa komunitas biara pertama.

Biara Kristen tertua di dunia yang masih terus berjalan--St.  Catherine—terletak di kaki Gunung Sinai, tempat Musa dikatakan telah menerima Sepuluh Perintah Allah. Tempat ini adalah pusat spiritual Sinai. “Sinai adalah satu-satunya tempat di mana  kita memiliki ikon-ikon dari abad keenam hingga sekarang,” kata Pastor Justin, seorang rahib, kepada saya. Ia berjalan dalam jubah hitam panjang, jenggot peraknya menjuntai separuh ke pinggangnya yang kurus, dan wajahnya bersinar, semua itu mengingatkan pada Musa sendiri yang turun dari gunung dengan loh-loh batu di mana tertulis Sepuluh Perintah Allah. Kompleks biara dilingkupi puncak-puncak gunung, semua berwajah merah muda seolah dibalur oleh ketinggian. Di antara basilika, perpustakaan, dan bangunan-bangunan lainnya, Justin menunjukkan salah satu bangunan yang tidak begitu lazim dengan bulan sabit kecil di puncaknya: sebuah masjid.!break!

Menurut sejarah biara tersebut, Nabi Muhammad juga berlindung di Sinai selama abad ketujuh dan tinggal di biara itu. Sekarang, rahib-rahib hidup berdampingan dengan orang-orang Badui Muslim yang bekerja di biara dan Justin mengatakan, hubungan tersebut—berlawanan dengan ketika pertama kali dilihat—menggambarkan sesuatu yang istimewa tentang lahan yang terletak di antara ekstrem-ekstrem ini.

“Ketika Anda melihat berbagai konflik di dunia sekarang, begitu banyak yang berpusat di Timur Tengah dan berbagai ketegangan telah ada di sini selama beberapa alaf,” katanya. “Oleh karena itu, Sinai menjadi simbol teramat penting karena Anda memiliki orang-orang Kristen fanatik dan orang-orang Muslim sangat fanatik, dan kami terbagi oleh bahasa, oleh agama, oleh budaya, oleh begitu banyak hal yang dapat memicu konflik, dan di saat yang sama terdapat banyak sekali harmoni yang mengejutkan.”

Kuncinya, menurut Justin, sederhana saja: “Saya pikir ada penghargaan yang sama terhadap Sinai sebagai gunung suci.” Mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada hal-hal yang membagi-bagi mereka.

Empat belas abad silam, Nabi Muhammad setuju akan hal tersebut. Setelah perjumpaannya dengan rahib-rahib di sini, ia berjanji melindungi “Rahib-rahib Gunung Sinai dan… orang-orang Kristen secara umum,” demikian salinan tulisan tangan yang disimpan Justin di perpustakaan kuno. Nabi Muhammad menyatakan bahwa “kapan pun salah satu dari rahib yang dalam perjalanannya akan menetap di gunung, bukit, desa atau tempat yang dapat didiami manapun, di laut, atau di gurun, atau di biara, gereja, atau rumah ibadah manapun, saya akan berada di tengah-tengah mereka.”!break!