Sinai

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 11:03 WIB

Semua tampak sunyi di desa pesisir Taba. Pada malam ini seperti di malam-malam lainnya, Matahari terbenam di barat, di belakang pegunungan Sinai sehingga kegelapan turun dari atas gunung, semakin cepat saat kegelapan mendekati laut. Di resor Hilton, tamu-tamu mengganti bikini dengan busana malam dan jaket olah raga. Angin gurun bertiup dingin pada malam bulan Oktober, maka manajemen hotel mengeringkan kolam air laut hingga pagi hari.!break!

Resor Red Sea menawarkan miniatur tentang mimpi Sinai– mimpi tentang Timur Tengah di mana musuh lama menukar tanah dengan perdamaian dan terorisme dengan pariwisata. Hotel itu dikelola oleh Orang-orang Inggris, karyawannya orang-orang Mesir, sementara orang-orang Eropa dan Rusia—serta banyak orang Israel—sering menginap di hotel tersebut. Di luar, bendera Mesir dan Israel berkibar berdampingan. Sesungguhnya sebulan sebelumnya, pemerintah Israel memperingatkan tentang serangan teroris yang bakal segera terjadi, tetapi peringatan-peringatan semacam itu selalu datang dan pergi.  Di sini, para pengunjung dapat melupakan bahwa kedua musuh bebuyutan telah beberapa kali bergantian menguasai semenanjung dalam tempo sekitar 50 tahun terakhir. Selama perang tahun 1956, 1967, dan 1973, Mesir dan Israel menggempur sepanjang semenanjung; pada 1979 kedua negara menandatangani kesepakatan perdamaian dan Israel menyerahkan kendali Sinai kepada Mesir sekali lagi. Pakta itu masih berlaku setelah 30 tahun kemudian.

Sinai selalu menjadi tempat paradoks semacam itu—lahan yang berbatu-batu dari keindahan surgawi, baik dari permusuhan maupun simfoni. Di atas segala arti penting semenanjung itu secara geopolitis, sebagai contoh, populasi terbesar Sinai adalah kelompok yang paling sedikit peduli akan identitas nasional: orang Baudi atau Bedouin. Selama penyerangan dan penyerangan balasan antara orang-orang Arab dan orang-orang Israel pada dekade-dekade belakangan, orang-orang suku ini berbaur begitu baik dalam lanskap sehingga mereka hampir kelihatan seperti fitur-fitur alam, mereka telah menderita takdir serupa dengan tanah air mereka. 

Ketika malam semakin larut, para tamu berpindah dari restoran ke kasino, bar, dan diskotek. Setiap orang merayakan hari libur yang berkaitan dengan Sinai pada akhir pekan ini: orang Mesir mengenang tentara mereka yang menerjang masuk ke semenanjung Sinai pada Perang Yom Kippur 1973 dan orang Israel memperingati perjalanan alkitabiah para leluhur mereka melalui gurun tersebut. Dalam tahun-tahun belakangan ini, orang-orang menyebut pesisir dengan nama Red Sea Riviera. Sebutan tersebut mencakup kemorosotan dan kebebasan tanpa kendali yang membuat semenanjung ini terpisah dari bagian Mesir lainnya.

Perbatasan Israel terletak hanya beberapa meter jauhnya. Di seberang perbatasan, di  Elat, petugas pemadam kebakaran yang sedang tidak berjaga Shachar Zaid muncul dari gedung bioskop, tempat ia dan istrinya baru saja menonton film Amerika tentang para petugas pemadam kebakaran. Itulah saat ketika suara  yang teredam bergemuruh di sepanjang kota: bum.!break!

Zaid berlari bersama istrinya ke arah suara, menuju perbatasan. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan kepala pemadam kebakaran yang sedang tidak bertugas, tengah mengganti pakaiannya dengan seragam di dalam mobilnya. Dia juga bertemu dengan enam petugas pemadam kebakaran lainnya yang tiba dengan tiga truk pemadam kebakaran milik kota. Zaid memanjat ke atas salah satu truk yang memiliki tangga bersama dengan atasannya dan mereka mendekati perbatasan tanpa tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi di seberang sana. Sejumlah prajurit Mesir yang sama-sama tidak pasti tentang apa yang telah terjadi, berdiri merintangi pos pemeriksaan dengan senapan otomatis.

Saling tatap ke seberang garis yang tidak kelihatan, orang-orang Mesir dan Israel menghadapi dilema internasional yang mendadak. Bagaimana mereka bertindak pada malam di tahun 2004 itu akan mewakili segala sesuatu yang telah terjadi sebelumnya di Sinai pada masa lalu dan segala sesuatu yang terbentang di depan. Orang Mesir harus memutuskan apakah mempertahankan kedaulatan melawan musuh lama dan para pemadam kebakaran Israel menghadapi pilihan mereka sendiri: apakah melancarkan serbuan delapan orang ke tanah Arab atau tidak.

Selama beberapa alaf Semenanjung Sinai telah berfungsi sebagai jembatan. Jembatan darat bagi orang-orang yang berpindah dari satu benua ke benua lainnya, betul itu, tetapi juga menjadi jembatan metafisik antara manusia dengan Tuhan. Semua para pendahulu dari ketiga agama monoteistik besar bisa dikatakan telah mencari perlindungan pada kawasan segi tiga gurun ini. Menurut Alkitab, Musa menerima penugasannya di Sinai ketika Tuhan berbicara kepadanya dari semak yang terbakar, kemudian Musa mengembara di gurun dengan orang-orangnya selama 40 tahun. Saat kanak-kanak, Yesus dan keluarganya mengungsi ke Sinai untuk menghindari kemurkaan Raja Herodes yang cemburu. Umat kristiani masa awal bersembunyi dari para penganiaya Roma di antara pegunungan yang sepi di semenanjung, mendirikan beberapa komunitas biara pertama.

Biara Kristen tertua di dunia yang masih terus berjalan--St.  Catherine—terletak di kaki Gunung Sinai, tempat Musa dikatakan telah menerima Sepuluh Perintah Allah. Tempat ini adalah pusat spiritual Sinai. “Sinai adalah satu-satunya tempat di mana  kita memiliki ikon-ikon dari abad keenam hingga sekarang,” kata Pastor Justin, seorang rahib, kepada saya. Ia berjalan dalam jubah hitam panjang, jenggot peraknya menjuntai separuh ke pinggangnya yang kurus, dan wajahnya bersinar, semua itu mengingatkan pada Musa sendiri yang turun dari gunung dengan loh-loh batu di mana tertulis Sepuluh Perintah Allah. Kompleks biara dilingkupi puncak-puncak gunung, semua berwajah merah muda seolah dibalur oleh ketinggian. Di antara basilika, perpustakaan, dan bangunan-bangunan lainnya, Justin menunjukkan salah satu bangunan yang tidak begitu lazim dengan bulan sabit kecil di puncaknya: sebuah masjid.!break!

Menurut sejarah biara tersebut, Nabi Muhammad juga berlindung di Sinai selama abad ketujuh dan tinggal di biara itu. Sekarang, rahib-rahib hidup berdampingan dengan orang-orang Badui Muslim yang bekerja di biara dan Justin mengatakan, hubungan tersebut—berlawanan dengan ketika pertama kali dilihat—menggambarkan sesuatu yang istimewa tentang lahan yang terletak di antara ekstrem-ekstrem ini.

“Ketika Anda melihat berbagai konflik di dunia sekarang, begitu banyak yang berpusat di Timur Tengah dan berbagai ketegangan telah ada di sini selama beberapa alaf,” katanya. “Oleh karena itu, Sinai menjadi simbol teramat penting karena Anda memiliki orang-orang Kristen fanatik dan orang-orang Muslim sangat fanatik, dan kami terbagi oleh bahasa, oleh agama, oleh budaya, oleh begitu banyak hal yang dapat memicu konflik, dan di saat yang sama terdapat banyak sekali harmoni yang mengejutkan.”

Kuncinya, menurut Justin, sederhana saja: “Saya pikir ada penghargaan yang sama terhadap Sinai sebagai gunung suci.” Mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada hal-hal yang membagi-bagi mereka.

Empat belas abad silam, Nabi Muhammad setuju akan hal tersebut. Setelah perjumpaannya dengan rahib-rahib di sini, ia berjanji melindungi “Rahib-rahib Gunung Sinai dan… orang-orang Kristen secara umum,” demikian salinan tulisan tangan yang disimpan Justin di perpustakaan kuno. Nabi Muhammad menyatakan bahwa “kapan pun salah satu dari rahib yang dalam perjalanannya akan menetap di gunung, bukit, desa atau tempat yang dapat didiami manapun, di laut, atau di gurun, atau di biara, gereja, atau rumah ibadah manapun, saya akan berada di tengah-tengah mereka.”!break!

Dan lebih banyak bukti tentang solidaritas Nabi Muhammad: “Tidak seorang pun boleh mengangkat senjata melawan mereka, tetapi, sebaliknya orang-orang Muslim akan berperang untuk mereka.”

Seorang pemuda radikal—seorang dokter gigi, ternyata—memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok teroris di Sinai pada 2002. Rincian tentang pekerjaannya yang terdahulu baru muncul setelah diinterogasi aparat Mesir, termasuk lewat penyiksaan. Cerita tentang aktivitas itu pada umumnya sama: Khalid Al Masaid membentuk Tawhid wa Jihad—Persatuan dan Perang Suci—untuk melancarkan pembalasan sengit terhadap Amerika Serikat dan Israel, dua pihak yang dia rasa telah merendahkan dunia Arab. Al Masaid memandang kesepakatan damai yang dilakukan Mesir terhadap Israel pada 1979 sebagai persekongkolan dengan Barat. Kesepakatan tersebut menghasilkan pembentukan Pasukan Multinasional dan Pengamat, sebuah tim internasional penjaga perdamaian yang menahan pergerakan sepanjang perbatasan Mesir-Israel. Bagi Al Masaid, para penjaga perdamaian lebih dari sekadar penghinaan; pasukan itu membuat dirinya terputus dari sumber-sumber Palestina yang bisa mendukungnya. Dokter gigi tersebut perlu pengikut—para pemuda yang tidak puas yang bersedia melawan pihak berwenang, melawan turis, melawan Israel, melawan Mesir sendiri. Ia menemukan mereka di antara orang-orang Sinai.

Jembatan darat Sinai telah memberikan jalan lintas bagi para nabi dan peziarah, para saudagar, dan gagasan. Namun seperti jembatan lainnya, semenanjung tersebut juga mempunyai nilai strategis dalam perang. Berbagai tentara pernah berbaris melintasi bukit-bukit pasirnya sepanjang manusia saling berperang: para firaun dengan kereta perang mereka, orang Persia, orang Yunani, orang Roma. Para penakluk Islam dan musuh besar mereka, prajurit perang salib Eropa. Orang-orang Turki Ottoman dan orang-orang Inggris. Semuanya menjejakkan kaki di pasir Sinai.

Perang yang terakhir, antara orang Mesir dan Israel membentuk kehidupan di semenanjung itu sekarang. Perang tersebut membentuk topografi secara harfiah—bunker dan parit masih membentang ke cakrawala—juga membentuk lanskap manusia dalam lebih banyak cara yang tak diharapkan. Meski gencatan senjata sekarang sudah dimulai 30 tahun silam, orang-orang Mesir di daratan utama masih sering menganggap Badui, para penggembala di gurun yang jumlahnya sekitar separuh lebih dari 360.000 penduduk Sinai, sebagai kolaborator musuh. Padahal, orang-orang Badui menunjukkan ketidaksetiaan terhadap pemerintahan manapun, Mesir atau lainnya.!break!

Ketika saya meninggalkan Gunung Sinai, seorang polisi menyuruh saya menepi di salah satu pos pemeriksaan polisi yang banyak terdapat di Mesir. Seorang perwira muda naik ke tempat duduk di belakang. Ia mengatakan, ia “dari Mesir.” Di Sinai, itu  berarti ia datang dari Kairo. Perwira muda itu ingin menumpang  melintasi semenanjung. Perilaku seperti ini sudah diperkirakan di Mesir, di mana polisi diberi kekuasaan universal. Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi saat kami berkendara melewati jalur pipa air yang dipasang pihak berwenang Mesir sepanjang Sinai, sebagai bagian dari upaya yang oleh para penghuni Sinai disebut “Kairofikasi” Semenanjung Sinai.

“Jangan pernah berhenti untuk memberi tumpangan pada mereka,” kata polisi itu, menunjuk satu keluarga Badui dengan kambing-kambing mereka. Lewat kaca spion terlihat ia sedang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka licik. Mereka bukan manusia.”

Tidak seperti orang-orang di kebanyakan negara Arab lain yang menghormati orang Bedouin – bayangkan keluarga kerajaan Saudi berlenggang dalam tari pedang tradisional Bedouin atau pemimpin Libya mendirikan tenda selama kunjungan kenegaraan di Paris – orang-orang Mesir tidak pernah merangkul suku-suku yang tinggal di gurun. Orang Badui bermigrasi dari timur; para penduduk Sungai Nil datang dari barat. Secara historis orang Badui menjelajahi daerah yang luas, sementara budaya Nil adalah pertanian, penghargaan terhadap bercocok tanam dan hidup menetap, serta curiga terhadap pengembara nomaden.

Pada 1970-an, setelah Israel mengambil alih Sinai menyusul Perang Enam Hari, pemerintah Israel–-juga tidak nyaman dengan warga pengingkar batas yang tak berdokumen—memaku orang Badui lewat pekerjaan, membayar mereka untuk mengelola cagar-cagar alam Sinai yang luas dan pekerjaan lainnya.

Sebelumnya di Israel, saya bertemu Dan Harari yang bekerja sebagai birokrat yang memerintah Sinai selatan selama  pemerintahan Israel (1967-1979). Di kantor rumahnya ada sebuah foto dirinya duduk di meja yang terletak di tempat tidak lazim di gurun, menandatangani cek-cek untuk para pekerja Badui yang antreannya hanya terlihat sebagian dalam foto. “Kami tahu kami tidak dapat mengendalikan orang Badui,” katanya, “jadi kami hanya menggunakan pengetahuan mereka tentang tempat itu.” Berhasil, ujarnya, menceritakan kisah-kisah tentang seorang pria Bedouin yang ia “kasihi seperti saudara.” Setelah Israel sepenuhnya menyerahkan kendali Sinai pada 1982, pemerintah Mesir membubarkan program Badui dan membentuk Otoritas Pengembangan Pariwisata yang dirancang untuk memancangkan klaim atas tanah yang berharga itu. !break!

Di dekat mata air tawar di pegunungan Sinai, saya berbicara dengan perempuan sepuh Bedouin yang mungil bernama Sheikha Salima, yang diperkirakan umurnya sekitar 70 atau 80, mungkin lebih. Perempuan ini memandang para penguasa di tanahnya dengan perasaan sama terhadap sesuatu alami yang tidak dapat dihindari seperti ia memandang garis-garis yang dihasilkan alam pada batu-batu karang.  “Keadaan lebih baik waktu orang-orang Israel di sini,” katanya, menggoyangkan kepalan tangan dengan gelang manik-manik dalam pembangkangan, tidak pada kekuasaan Kairo yang abstrak, tetapi pada perwira polisi junior yang hanya beberapa meter jauhnya. “Mereka telah menghancurkan adat-adat kami,” ia berteriak dengan keberanian usia tua yang tidak tersentuh. Kerudungnya berkibar diterpa hembusan nafas pendeknya. “Mereka telah mengejar kami dari tanah kami.”

Sumurnya hampir kering, dan kotoran kambing menutupi lantai rumahnya. Di hari-hari migrasi dulu, ia mungkin telah berpindah selama musim yang sulit. Sekarang ia tidak pergi ke mana-mana. 

Polisi itu tenggelam dalam murka perempuan Bedouin. Ia paham apa yang diartikan perempuan itu tentang tanah. Dan polisi itu telah mengalami lebih banyak dari yang diinginkannya tentang kemarahan orang-orang Bedouin.

Jauh di dalam gurun pada musim semi 2004, sekelompok lelaki berkumpul dengan seperangkat peralatan yang tak lazim. Mereka membawa telepon-telepon seluler, mesin cuci berpenghitung waktu, tabung-tabung gas, dan TNT. Bahan-bahan peledak tersebut berasal dari gurun, tempat dinamit-dinamit itu dibuang menyusul meredanya ketegangan dengan Israel. Seorang ekstremis keagamaan yang disebut Iyad Salah—pengikut dokter gigi Al Masaid—telah merekrut kelompok kecil ini, termasuk buruh harian, tukang reparasi, dan pekerja logam. Yang lainnya  pengangguran dan kebanyakan berasal dari kota kecil El Arish yang terletak di ujung utara Sinai, kawasan Laut Mediterania. Di antara bukit-bukit pasir, para lelaki itu melatih rencana mereka, meledakkan bahan-bahan peledak di pasir.

Di atas panggung, sepasang perempuan yang nyaris bugil mengikuti irama musik saat disc jockey membetot volume suara dan layar besar di belakang mereka memperlihatkan dua buah ceri bergoyang di tangkai. Di atas kerumunan, dua perempuan lainnya berputar dan berayun pada helai-helai kain sutra panjang, sulit diperhatikan oleh 2.000 muda-mudi yang berdansa di bawahnya. Udara pengharapan memenuhi klub yang disebut Pacha, pengharapan berbaur dengan minuman keras dan deodoran, dan setiap orang melihat sebuah saluran air di atas kepala sampai – ya, akhirnya – saluran itu menyemburkan gelembung-gelembung dan busa putih. Dari suatu tempat, di mana-mana, orang-orang muda tampil dalam pakaian-pakaian mandi dan pakaian dalam, melompat ke dalam busa dan kemudian mencipratkannya ke kolam di klub.!break!

“Di mana Anda mendapatkan gadis-gadis penari itu?” tanya saya kepada Adly El Mestekawy si pemilik klub. “Mereka bukan orang Mesir.”

El Mestekawy tertawa, bergoyang mengikuti irama, “Rusia,” katanya.

Setelah Mesir melanjutkan kendali atas Sinai pada 1979, para pengusaha dari Delta Nil mengembangkan garis pantai delta tersebut dengan kepesatan yang mengagumkan, mengimpor nilai-nilai, pekerja, material, dan irama-irama Kairo. Semenanjung itu membanggakan sejumlah lokasi penyelaman terbaik di dunia, menarik turis-turis muda dari Eropa dan lainnya. Lahan-lahan tempat ternak orang Badui merumput berganti menjadi jalan bagi hotel, klub, toko, dan bar internasional. Budaya tradisional tunduk pada kegemerlapan. Sinai terbelah, dengan keterbukaan pembagian budaya yang sama dalamnya seperti yang disebabkan suatu gempa bumi. 

El Mestekawy, penduduk asli Kairo, memelopori pengembangan Sharm el Sheikh di dekat ujung selatan semenanjung. Di dalam kantornya yang jauh dari dentuman lantai dansa, ia membentangkan foto teramat besar dari kota itu 20 tahun silam—saat belum ada kota. Foto itu menunjukkan, hanya ada sebuah bangunan liar abu-abu, beberapa tenda, laut, dan gurun tak bertepi. “Di sinilah kita,” katanya seraya menunjuk bangunan abu-abu. Klub ini mulanya adalah hotel dan kemudian menjadi klub malam. “Selain itu, yang ada cuma orang Badui.”

Di mana  mereka sekarang? saya bertanya.

Ia menunjuk ke arah barat. “Di bukit-bukit,” ujarnya.

Sepanjang bulevar di luar klub, ribuan turis berkumpul di bawah pohon-pohon palem berlistrik, menyeruput minuman mango smoothies dan memakai kacamata gelap di tengah malam. Satu-satunya orang Mesir yang kelihatan menyajikan minuman dan membagikan selebaran-selebaran. Mereka adalah orang-orang beruntung yang memegang izin kerja yang memungkinkan mereka melewati pos-pos pemeriksaan di luar kota.!break!

Keesokan hari panorama di pantai dapat berubah menjadi seperti resor Ibiza atau St. Tropez, kecuali untuk pengingat terlangka bahwa kita memang di Timur Tengah: para pemandi sinar matahari yang bertelanjang dada berusaha keras mengabaikan figur sendirian dalam niqab hitam, duduk seperti penghalang kokoh dari batu hitam di antara orang-orang separuh berpakaian di pantai sementara suaminya bercipratan di selancar.

Asisten El Mestekawy, Timi, mengantar saya dengan mobil SUV milik atasannya untuk melihat usaha si bos berikutnya. Ketika kami mengitari belokan di pesisir, tampak sebuah istana pasir raksasa. “Terbesar di dunia,” kata Timi. Dia menjelaskan, jika sudah rampung, istana itu akan berfungsi sebagai taman hiburan bahari dengan sebuah akuarium, kolam-kolam renang, dan berbagai restoran.

Kami mendaki istana tersebut, berkelit di antara para  pekerja asal Kairo yang mengerjakan bangunan, yang tidak terbuat dari pasir tetapi dari bongkah-bongkah terumbu membatu. Di puncak, kami memandang Laut Merah dengan harta karunnya: ribuan spesies ikan, terumbu karang, mangrove. Ekosistem bawah laut yang indah dan rapuh ini mulai berkembang dan kini secara mengagumkan Sinai telah mengambil alih tujuan wisata utama dari Kairo dan Mesir daratan. Populasi Sharm el Sheikh melonjak sepuluh kali lipat dalam 20 tahun, sementara jumlah turis meningkat dari 8.000 setahun menjadi lebih dari lima juta.

Ketika Mesir mengambil alih kendali Sinai, negara itu—ingin menandai daerah tersebut sebagai miliknya—menggusur kemah dan rumah Badui untuk membuka jalan bagi para investor yang makmur dari Mesir daratan. Seratus persen garis pantai Sharm El Sheikh kini menjadi milik para pengembang. Anggota-anggota suku Badui yakin pada sebuah prinsip yang disebut wadaa al-yad—secara harfiah berarti “letakkan tanganmu”—di mana seseorang memiliki tanah ketika ia meningkatkannya, misalnya dengan pengairan atau menanam pepohonan. Maka sejumlah orang Badui meletakkan fondasi-fondasi beton di samping rumah-rumah mereka, berharap upaya nyata bakal mengesankan negara dan menyelamatkan properti mereka. Namun, pemerintah menggusur fondasi-fondasi itu juga.!break!

Salah satu pemimpin suku Badui yang berkuasa, Sheikh Ishaysh, menolak meninggalkan kemahnya di pesisir sebelah utara Sharm el Sheikh, di sebuah desa bernama Nuweiba. ”Mereka datang dengan orang kaya yang mengatakan telah membeli tanah saya,” katanya. Sheikh itu menggeleng-gelengkan kepalanya—orang kaya itu belum menggali sumur dan belum menanam pohon. “Saya memberitahu mereka, ‘Saya akan mati di sini.’” Sheikh Ishaysh menantang para pengembang, tetapi kebanyakan teman seperjuangannya dengan mudah menyerah dan pindah ke pedalaman.

Sementara itu, Kairofikasi tak sekadar mencakup semen dan pipa. Beberapa pakar telah mempelajari suku Badui Sinai dari dekat, tetapi Clinton Bailey yang merupakan antropolog yang disegani pernah berada di antara suku-suku Badui selama empat dasawarsa. Penilaiannya suram. “Pada 1970-an ada banyak penyair menggubah puisi-puisi tradisional dengan isi kontemporer. Sekarang bahkan tidak seorang pun pantas disebut penyair,” katanya. “Anak-anak perempuan tidak lagi diajar menenun karpet dan tirai kemah. Para pemuda hanya tahu sedikit dan semakin sedikit tentang hubungan di antara suku atau bagian-bagian suku. Makanan tidak lagi tradisional. Sangat sedikit yang masih tahu cerita dan sejarah kesukuan.”

Mencapai El Arish yang menjadi rumah bagi sebagian besar lelaki yang melatih rencana mereka di gurun tidaklah mudah. Semua jalan yang menghubungkan Sinai selatan dengan Sinai utara dianggap “jalan pengamanan” dan terlarang bagi pengunjung. Saya melewati jalan-jalan itu dengan mengemudi ke atas sisi barat semenanjung, menjadikan Kairo sebagai tujuan saya pada pos-pos pemeriksaan polisi, bergabung dalam barisan untuk menaiki feri menyeberangi Kanal Suez ke ibu kota, kemudian malah mengubah arah menuju pesisir Laut Tengah.

Daerah utara rasanya berbeda tidak cuma karena cara birokrasinya; bahkan lanskapnya pun tidak mempunyai kesamaan dengan pegunungan merah muda yang tinggi di selatan. Bukit-bukit pasir bergulung menuju kejauhan, menutupi jalan dan memengaruhi persepsi akan lanskap itu. Segalanya kelihatan jauh di Sinai utara.

Pemerintah Mesir pernah melihat banyak hal yang menjanjikan di pesisir utara. Satu generasi silam El Arish bersinar laksana permata di Laut Tengah dengan pantai-pantai lebar dan deretan pohon palem yang menghasilkan kurma ranum. Pemerintah menginvestasikan waktu dan sumber daya di kota itu dan sekolah-sekolah bagus berkembang di antara berbagai resor dan usaha. Secara geografis El Arish lebih cocok untuk pengembangan wisata dibandingkan daerah selatan. Topografinya yang datar melandai ke pantai-pantai berpasir dan laut dangkal, bukan pegunungan terjal yang menukik tajam ke terumbu karang.!break!

Namun, dua dasawarsa lalu, ledakan pembangunan di selatan menarik semua sumber daya jauh dari utara. Sementara itu, konflik di Gaza, hanya 48 kilometer jauhnya, membuat turis-turis asing terakhir pergi.

Memasuki El Arish sekarang terasa seperti menghadiri jamuan makan malam yang mendadak dan tidak alami, dengan piring-piring berisi makanan yang baru separuh disantap dan kursi-kursi kosong di mana tamu-tamu seharusnya ada. Saya melewati kantor pariwisata yang tertutup rapat dan bulevar dari resor-resor terbengkalai yang menghadap ke Laut Tengah. Di pusat kota, para pemuda berdiri di trotoar, memandang ke jalanan, seolah tak putus-putusnya menungggu sesuatu. Menurut salah satu kajian, sebanyak sembilan dari 10 orang yang berusia 20 hingga 30 tahun tidak memiliki pekerjaan penuh waktu, sedikit sekali harapan untuk memperoleh izin kerja di resor-resor di selatan.

Setelah kunjungan singkat di El Arish dan di tempat lain di Mesir pada minggu-minggu berikutnya, sesuatu terasa tidak pada tempatnya: kelihatannya tidak ada wanita di sana. Pada bagian-bagian lain di Sinai, pada kelompok sosial mana pun yang berkaitan dengan kelas dan tradisi, bukan agama, kaum perempuan muncul di depan umum sesering pria. Namun, El Arish telah mengarah ke tipe Islam konservatif yang menjaga kaum perempuan kebanyakan tinggal di rumah dan hampir selalu tertutup. Inilah lingkungan tempat Iyad Salah merekrut komplotan Baduinya, termasuk Flayfil bersaudara, Muhammad, dan Suleiman.

Saya menemukan rumah Flayfil di sebuah desa miskin di pinggiran El Arish. Seorang bocah laki-laki berlari untuk membawa Sheikh Ahmed Flayfil tua yang mengejapkan mata saat ia memasuki halaman yang memutih tertimpa cahaya matahari. Ia tidak duduk atau menuangkan teh. Itu melanggar semua tata cara Badui. Setelah lama menatap, ia bertanya,”Apakah Anda di sini untuk menanyakan tentang putra-putra saya yang tewas?”!break!

Saya memang bermaksud demikian. Sheikh menghela napas dan memandang ke arah padang-padang pasir tak berkesudahan. Orang-orang di kota membicarakan bagaimana putra-putranya telah memelihara jenggot panjang dan mengundurkan diri ke gurun untuk doa-doa mereka daripada bergabung dengan tetangga-tetangga mereka di masjid. Sheikh tidak mau mengakui putra-putranya itu.

Akhirnya ia berkata, “Mereka tewas.” Dan ia menarik diri tanpa sepatah kata pun.

Ada dua bom yang lain pada malam bulan Oktober itu. Di Nuweiba, Asser El Badrawy berdiri di balkon hotelnya, menatap ke utara, di sepanjang pesisir, ke arah sebuah kemah petualang. Ketika itulah ia melihat ledakan besar muncul dari tempat perkemahan. Saat-saat berlalu dan suara ledakan datang; di bawah, tamu-tamunya di pantai—hampir semuanya orang Israel—berpaling untuk melihat awan cendawan kecil yang terbentuk di atas tempat ledakan. Bom nuklir, pikir El Badrawy. Sinai menikmati reputasi sebagai tempat yang damai, jadi panorama awan cendawan itu tidak masuk masuk akal. Dan dalam saat yang mustahil ia berlari ke kamar mandinya dan bersembunyi, menanti gelombang ledakan yang tidak datang.

Di  jalan di luar kemah, seorang pria bermobil mencoba masuk, tetapi ketakutan di saat terakhir lantaran kemunculan seorang penjaga dengan lentera. Ia buru-buru memundurkan mobilnya dan kandas di gundukan pasir. Kemudian ia berjalan menjauh dan meledakkan mobil itu dengan pengendali jarak jauh. Di kemah yang letaknya berdekatan, pengemudi lain memarkir mobil dekat restoran beratap palem dan meledakkan mobilnya, menghancurkan restoran dan sejumlah pondok bambu. Ledakan  membunuh dua orang Israel dan seorang Badui. Sekali lagi pengemudi berjalan menjauh tidak terlihat.

Target ketiga adalah Hilton, lebih jauh ke utara di perbatasan Israel. Kedua pria dalam kendaraan yang berhenti di lobi—si pemimpin, Salah, dan anak buahnya Suleiman Flayfil—dapat menjadi siapa pun: tamu yang baru datang, staf,  petugas pengantaran. Di dalam hotel ratusan tamu berdansa, makan, atau tidur. Salah dan Flayfil memarkir mobil dan berjalan menjauh. Di dalam kendaraan sebuah paket TNT disambung dengan kabel ke penghitung waktu mesin cuci yang menghitung mundur detik-detik terakhirnya. Kendaraan tersebut meledak dengan kekuatan dahsyat, meruntuhkan seluruh bagian barat hotel, membuat 10 lantai beserta isinya runtuh seperti tanah longsor. Mobil-mobil di tempat parkir terlempar ke samping dan meledak terbakar. Pecahan-pecahan kaca dan perabot terbang ke segala arah; tangga spiral dari beton tergeletak panas.!break!

Bom tersebut membunuh 31 orang dan melukai banyak lagi, termasuk orang Israel, Mesir, dan Rusia. Bom juga membunuh Salah dan Flayfil; penghitung waktu mereka terlalu cepat dan ledakan mengenai mereka sebelum mereka meninggalkan halaman hotel. Pemerintah Mesir menanggapi kejadian tersebut dengan bentuk investigasi yang tidak biasa, mengumpulkan ribuan tersangka – jumlahnya bervariasi dari 2.400 hingga 5.000 – termasuk banyak orang Badui dari wilayah El Arish.

Sepuluh bulan setelah pengeboman, saudara Flayfil yang selamat dari penangkapan, Muhammad, tewas dalam baku tembak dengan polisi. Tiga tersangka orang Badui lainnya—Younes Mohammed Mahmoud, Osama Al Nakhlawi, dan Mohammed Jaez Sabbah—akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh pengadilan keamanan negara, dengan tanpa hak banding.

Dekat El Arish, di desa berbatu lumpur tempat ayah Flayfil tidak mengakui mereka, saya bertemu kedua orangtua Osama Al Nakhlawi di rumah mereka yang kecil dan bersih. Mereka duduk di lantai dalam ruangan sederhana dan menyajikan teh. Mereka berbicara pelan, meremas tangan, kadang tangan mereka sendiri, kadang menggenggam tangan satu sama lainnya.

“Siapa pun yang mereka curigai, mereka bawa,” kata ibu Al Nakhlawi. Polisi Mesir mengatakan, putranya merakit bom. Ia membuka lipatan surat bertulis tangan yang terkini dari Al Nakhlawi. Lembar kertas itu sudah begitu usang sehingga terkulai seperti kain di kedua  tangannya. Di dalam surat, Al Nakhlawi menyesalkan perlakuan terhadap suku Bedouinnya.

“Kami anak-anak Sinai,” tulis Al Nakhlawi si terpidana mati, “berhadapan dengan perilaku rasis dan diskriminatif dibandingkan dengan anak-anak dari Lembah Sungai Nil … Sebagian petugas menuduh kami setia kepada orang Yahudi dan di saat yang sama mereka mengadili kami dengan tuduhan membunuh orang Yahudi.”!break!

Banyak orang di El Arish menentang reaksi kejam pemerintah terhadap pengeboman dan itu hanya membuat masyarakat terpecah, seperti yang hendak dicapai para pembom. Memang begitu adanya,  pada 2005 lebih banyak aksi bom menyerang Sinai di Sharm el Sheikh, membunuh banyak orang pada Hari Revolusi Mesir. Itu adalah nyata-nyata serbuan terhadap otoritas Mesir dibandingkan Israel. Al Masaid, dokter gigi pendiri kelompok itu, tewas dalam baku tembak dengan polisi Mesir, tetapi, kata pihak yang berwenang, para pengikutnya menyerang lagi selama liburan musim semi 2006 di resor kota Dahab dan  membunuh sedikitnya 23 orang.

Semua ini mungkin telah diinginkan dan bahkan diperkirakan oleh para pengebom resor Hilton di Taba. Betapa pun, ada konsekuensi lain yang tidak dikehendaki. Ketika kepala pengembang Israel dari Sinai selatan saat itu, Dan Harari si birokrat yang memberi cek untuk orang Badui, telah menandatangani izin pembangunan  Hilton Taba. Ia mengetahui dengan baik. Setelah penarikan mundur pasukan Israel pada 1982, Harari menemukan  pekerjaan baru di sepanjang perbatasan di Elat. Ia bekerja sebagai kepala pemadam kebakaran.

Pada 7 Oktober malam ketika ia mendengar ledakan, ia berganti pakaian di dalam mobilnya, melepas pakaian liburannya dan mengenakan seragam kemeja abu-abu yang kusut. Ketika tiga truk pemadam kebakaran kota dan pemadam kebakaran yang sedang tidak bertugas Shachar Zaid tiba, ia memanjat ke atas truk terdepan dan menyalakan sirenenya. “Saya melihat orang-orang. Saya melihat asap,” katanya. “Saya tahu ada orang-orang yang perlu saya selamatkan.”

Para penjaga Mesir di tempat lintas batas  berdiri dengan senapan otomatis mereka, siap menembak. Dari sudut pandang mereka, tampaknya seluruh dunia telah jungkir balik. Hotel terdekat telah menjadi puing, massa yang meratap berkumpul pada posisi mereka, dan kini serangkaian truk besar telah tiba, dikemudikan oleh musuh lama mereka. Setelah ragu sejenak—berbagai pertanyaan dan jawaban diteriakkan melintasi garis maya—para prajurit Mesir membuat keputusan penting: menangguhkan kedaulatan negara mereka, mereka menyimpan senjata mereka dan melangkah ke samping sehingga truk-truk pemadam kebakaran dapat masuk.

Di lokasi bencana, para pemadam kebakaran Israel bekerja berdampingan dengan sejawat Arab mereka untuk memadamkan api dan menarik tubuh-tubuh dari reruntuhan. Para penolong menemukan bahwa sumber utama air untuk truk pemadam kebakaran, yaitu kolam renang air laut di hotel tersebut ternyata kosong. Sehingga, upaya mereka menjadi berat dan lambat.!break!

Orang Israel dan Mesir—keduanya korban dan penyelamat—tampak lebih serupa dibanding berbeda pada jam-jam tersebut. Para penolong itu berbagi makanan dan minuman—suatu sikap yang di Timur Tengah membawa simbol yang jelas. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memuji Presiden Mesir Husni Mubarak atas kerja sama negaranya dan kedua pemimpin bersumpah untuk “melanjutkan kerja sama dalam perjuangan yang terus-menerus melawan teror.”

Pemerintah Mesir, secara khusus, kini menerapkan pengawasan setegas mungkin. Polisi dan prajurit yang penuh curiga dari Kairo menyelimuti semenanjung itu, tampak hadir di setiap persimpangan jalan, di mana pun dua orang bertemu, berjaga-jaga untuk memisahkan penduduk lokal Sinai dan orang asing. Namun, yang lain memakai cara yang lebih lembut. International Crisis Group,  organisasi nirlaba terkemuka yang berfokus pada konflik, menerbitkan laporan pada 2007 yang menyerukan negara Mesir untuk “mengubah strategi pembangunan yang sangat diskriminatif dan sebagian besar tidak efektif dalam memenuhi kebutuhan penduduk lokal.” Clinton Bailey, pakar Badui, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mendengarkan pepatah orang Badui kuno: “Jika Anda memelihara rajawali, Anda harus memberinya makan.”

Dan para pengunjung telah kembali. Di hari pengeboman Taba, terdapat hingga 15.000 orang Israel di semenanjung itu. Jumlah tersebut melorot setelahnya, tetapi di hari ketika saya tiba di Sinai, saat liburan Paskah Yahudi pada 2007, 1.700 orang Israel menyeberangi perbatasan untuk berkunjung.

Orang-orang di Sinai selalu berbaur dalam cara-cara yang tidak diduga, apakah di puncak gunung yang keramat atau di perkemahan di pantai. Teroris Hilton Taba mencoba mengambil keuntungan dari pembauran ini: dengan satu bom mereka dapat menyerang orang Barat yang mengelola Hilton, orang Mesir yang bekerja di sana, dan orang Israel yang berkunjung. Namun,  rencana mereka menjadi salah jalan dalam satu arti; bom mereka, pada tingkat tertentu, memicu kelompok-kelompok yang terpisah tersebut menjadi satu masyarakat yang terluka di saat para korban bekerja sama untuk menyelamatkan jiwa setelah bencana.!break!

Setiap aksi kepercayaan di Timur Tengah adalah relatif. Namun, seperti para rahib dan orang Badui di Gunung Sinai, masyarakat di Taba memiliki kepentingan bersama—hanya jika berdansa di diskotek hotel—dan begitu membuat mereka pada ukuran tertentu kurang rentan terhadap kekuatan memecah belah yang dilancarkan terorisme.

Itulah sebabnya petugas pemadam kebakaran Shachar Zaid menyeberangi salah satu perbatasan yang paling dipeributkan dalam sejarah untuk bekerja sama dengan para rekan sejawat Mesir. “Itulah cara kami memberitahu teroris, Anda tidak berhasil,” katanya. “Dan mereka memang tidak berhasil.