Sinai

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 11:03 WIB

Ketika Mesir mengambil alih kendali Sinai, negara itu—ingin menandai daerah tersebut sebagai miliknya—menggusur kemah dan rumah Badui untuk membuka jalan bagi para investor yang makmur dari Mesir daratan. Seratus persen garis pantai Sharm El Sheikh kini menjadi milik para pengembang. Anggota-anggota suku Badui yakin pada sebuah prinsip yang disebut wadaa al-yad—secara harfiah berarti “letakkan tanganmu”—di mana seseorang memiliki tanah ketika ia meningkatkannya, misalnya dengan pengairan atau menanam pepohonan. Maka sejumlah orang Badui meletakkan fondasi-fondasi beton di samping rumah-rumah mereka, berharap upaya nyata bakal mengesankan negara dan menyelamatkan properti mereka. Namun, pemerintah menggusur fondasi-fondasi itu juga.!break!

Salah satu pemimpin suku Badui yang berkuasa, Sheikh Ishaysh, menolak meninggalkan kemahnya di pesisir sebelah utara Sharm el Sheikh, di sebuah desa bernama Nuweiba. ”Mereka datang dengan orang kaya yang mengatakan telah membeli tanah saya,” katanya. Sheikh itu menggeleng-gelengkan kepalanya—orang kaya itu belum menggali sumur dan belum menanam pohon. “Saya memberitahu mereka, ‘Saya akan mati di sini.’” Sheikh Ishaysh menantang para pengembang, tetapi kebanyakan teman seperjuangannya dengan mudah menyerah dan pindah ke pedalaman.

Sementara itu, Kairofikasi tak sekadar mencakup semen dan pipa. Beberapa pakar telah mempelajari suku Badui Sinai dari dekat, tetapi Clinton Bailey yang merupakan antropolog yang disegani pernah berada di antara suku-suku Badui selama empat dasawarsa. Penilaiannya suram. “Pada 1970-an ada banyak penyair menggubah puisi-puisi tradisional dengan isi kontemporer. Sekarang bahkan tidak seorang pun pantas disebut penyair,” katanya. “Anak-anak perempuan tidak lagi diajar menenun karpet dan tirai kemah. Para pemuda hanya tahu sedikit dan semakin sedikit tentang hubungan di antara suku atau bagian-bagian suku. Makanan tidak lagi tradisional. Sangat sedikit yang masih tahu cerita dan sejarah kesukuan.”

Mencapai El Arish yang menjadi rumah bagi sebagian besar lelaki yang melatih rencana mereka di gurun tidaklah mudah. Semua jalan yang menghubungkan Sinai selatan dengan Sinai utara dianggap “jalan pengamanan” dan terlarang bagi pengunjung. Saya melewati jalan-jalan itu dengan mengemudi ke atas sisi barat semenanjung, menjadikan Kairo sebagai tujuan saya pada pos-pos pemeriksaan polisi, bergabung dalam barisan untuk menaiki feri menyeberangi Kanal Suez ke ibu kota, kemudian malah mengubah arah menuju pesisir Laut Tengah.

Daerah utara rasanya berbeda tidak cuma karena cara birokrasinya; bahkan lanskapnya pun tidak mempunyai kesamaan dengan pegunungan merah muda yang tinggi di selatan. Bukit-bukit pasir bergulung menuju kejauhan, menutupi jalan dan memengaruhi persepsi akan lanskap itu. Segalanya kelihatan jauh di Sinai utara.

Pemerintah Mesir pernah melihat banyak hal yang menjanjikan di pesisir utara. Satu generasi silam El Arish bersinar laksana permata di Laut Tengah dengan pantai-pantai lebar dan deretan pohon palem yang menghasilkan kurma ranum. Pemerintah menginvestasikan waktu dan sumber daya di kota itu dan sekolah-sekolah bagus berkembang di antara berbagai resor dan usaha. Secara geografis El Arish lebih cocok untuk pengembangan wisata dibandingkan daerah selatan. Topografinya yang datar melandai ke pantai-pantai berpasir dan laut dangkal, bukan pegunungan terjal yang menukik tajam ke terumbu karang.!break!

Namun, dua dasawarsa lalu, ledakan pembangunan di selatan menarik semua sumber daya jauh dari utara. Sementara itu, konflik di Gaza, hanya 48 kilometer jauhnya, membuat turis-turis asing terakhir pergi.

Memasuki El Arish sekarang terasa seperti menghadiri jamuan makan malam yang mendadak dan tidak alami, dengan piring-piring berisi makanan yang baru separuh disantap dan kursi-kursi kosong di mana tamu-tamu seharusnya ada. Saya melewati kantor pariwisata yang tertutup rapat dan bulevar dari resor-resor terbengkalai yang menghadap ke Laut Tengah. Di pusat kota, para pemuda berdiri di trotoar, memandang ke jalanan, seolah tak putus-putusnya menungggu sesuatu. Menurut salah satu kajian, sebanyak sembilan dari 10 orang yang berusia 20 hingga 30 tahun tidak memiliki pekerjaan penuh waktu, sedikit sekali harapan untuk memperoleh izin kerja di resor-resor di selatan.

Setelah kunjungan singkat di El Arish dan di tempat lain di Mesir pada minggu-minggu berikutnya, sesuatu terasa tidak pada tempatnya: kelihatannya tidak ada wanita di sana. Pada bagian-bagian lain di Sinai, pada kelompok sosial mana pun yang berkaitan dengan kelas dan tradisi, bukan agama, kaum perempuan muncul di depan umum sesering pria. Namun, El Arish telah mengarah ke tipe Islam konservatif yang menjaga kaum perempuan kebanyakan tinggal di rumah dan hampir selalu tertutup. Inilah lingkungan tempat Iyad Salah merekrut komplotan Baduinya, termasuk Flayfil bersaudara, Muhammad, dan Suleiman.

Saya menemukan rumah Flayfil di sebuah desa miskin di pinggiran El Arish. Seorang bocah laki-laki berlari untuk membawa Sheikh Ahmed Flayfil tua yang mengejapkan mata saat ia memasuki halaman yang memutih tertimpa cahaya matahari. Ia tidak duduk atau menuangkan teh. Itu melanggar semua tata cara Badui. Setelah lama menatap, ia bertanya,”Apakah Anda di sini untuk menanyakan tentang putra-putra saya yang tewas?”!break!

Saya memang bermaksud demikian. Sheikh menghela napas dan memandang ke arah padang-padang pasir tak berkesudahan. Orang-orang di kota membicarakan bagaimana putra-putranya telah memelihara jenggot panjang dan mengundurkan diri ke gurun untuk doa-doa mereka daripada bergabung dengan tetangga-tetangga mereka di masjid. Sheikh tidak mau mengakui putra-putranya itu.

Akhirnya ia berkata, “Mereka tewas.” Dan ia menarik diri tanpa sepatah kata pun.