Bidadari yang Dinanti

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 15:12 WIB

Ketika Sarubai Salve berjalan melintasi desanya, orang-orang mengerumuninya. Salve berusia 56 tahun, bertubuh langsing, tertutup, dia adalah perempuan berpendirian keras yang memakai kacamata pilot dan berambut hitam panjang yang telah menyemburatkan warna abu-abu. Pada hari-hari biasa, ia berangkat dari rumah dua kali, pukul sembilan pagi dan enam sore, menyusuri jalanan Jawalke, sebuah desa berpenghuni 240 keluarga yang terletak di pusat negara bagian Maharashtra di India. Salve membawa alat pengukur tekanan darah, stetoskop, timbangan bayi, dan buku catatan yang tipis. Sering pula ia ditemani oleh Babai Sathe, seorang perempuan ceria berusia 47 tahun, sedikit tambun, dengan senyum yang lebar sehingga memperlihatkan gigi-giginya.!break!

Kedua perempuan itu bertanggungjawab menjaga kesehatan warga Jawalke. Mereka membantu proses persalinan dan kemudian kembali berkunjung untuk memeriksa keadaan ibu dan bayi. Mereka menemui perempuan-perempuan dan orang-orang tua. Mereka memeriksa tekanan darah dan memantau warga yang telah sembuh dari lepra.

Hari ini, sebuah pagi yang cerah di bulan Januari, pasien pertama yang mereka kunjungi adalah Rani Kale. Rumah yang dihuni Kale terbuat dari lumpur, tanah, dan kotoran sapi, dan beratapkan rumput atau dedaunan kering. Seekor kucing bertengger di salah satu lereng atap. Di halaman, terdapat tumpukan batu bata, pakaian yang digantung di tali jemuran, dan lubang-lubang api kecil berisi ranting yang dipakai untuk memasak roti tipis dari sorgum. Seekor sapi cokelat berteduh dengan santai.

Kale tengah mengandung. Andaikan ia warga Jawalke, ia akan ditengok Salve berkali-kali dan dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan sonogram. Namun, Kale berasal dari sebuah desa yang berjarak tempuh satu jam dari Jawalke. Ia kini tinggal di rumah ibunya untuk melahirkan.

Bagi Kale, ini bakal menjadi anaknya yang kedua. Ia belum pernah memperoleh pemeriksaan prakelahiran hingga sepuluh hari yang lalu ketika pertama kali tiba di Jawalke. Salve memeriksa Kale dan menyarankan agar ia menjalani pemeriksaan sonogram. Namun, Kale tidak pernah mendapatkannya dan kini proses persalinan tinggal menunggu hari atau bahkan dalam hitungan jam. Salve memeriksa tekanan darah Kale, menilik kuku dan matanya untuk mencari tanda-tanda anemia, dan meraba kakinya untuk memastikan kandungan cairan tubuhnya. Ia membawa Kale masuk ke dalam gubuk dan membaringkannya di atas tikar untuk pemeriksaan panggul. Salve meletakkan kepalanya di perut Kale dan menyimak detak jantung si bayi.!break!

Namun perut Kale demikian kerasnya sehingga sulit untuk mendeteksi apapun. Sathe terlihat khawatir; ia yakin si bayi berada dalam posisi yang tidak semestinya. ”Namun, terkadang mereka bergerak,” ujarnya. Ia memberitahu Kale, ”Kami akan kembali dalam waktu satu dua jam. Jika posisi bayinya masih belum normal juga, kami akan membawamu ke rumah sakit. Jika kamu mulai mengalami proses persalinan, kirimkanlah seseorang untuk memanggil kami.” Salve meminta salah satu bibi Kale untuk memberinya teh.”Semua akan baik-baik saja,” ucapnya meyakinkan.

Persinggahan berikutnya adalah kediaman Manisha Mane, seorang ibu dari bayi lelaki berusia tiga bulan yang menderita cacat berupa langit-langit mulut yang terbelah. Sathe dan Salve mengamati sang bayi menyusu, kemudian meletakkannya di dalam timbangan kain dan mengukur berat badannya: empat setengah kilogram. Berat yang kurang. ”Kamu harus memberinya makanan tambahan,” kata Salve. Mereka mengajari Mane cara membuat bubur dari sorgum, minyak, dan sayuran. Mereka menjelaskan kondisi si bayi di dalam bagan pertumbuhan anak dan mulai membicarakan vaksinasi. Setelah memeriksa ibu mertua Mane yang menderita hipertensi, Sathe singgah di sebuah taman kanak-kanak di mana seorang pegawai pemerintah dijadwalkan untuk memberikan pelayanan vaksinasi. Setelah berita itu menyebar, taman kanak-kanak tersebut segera berubah menjadi posyandu. Perempuan-perempuan hamil dan ibu-ibu yang baru melahirkan mampir dan wanita-wanita tua datang untuk memeriksakan tekanan darah mereka.

Jawalke menjadi tempat yang amat berbeda berkat Salve dan Sathe. Salve telah melakukan tugas kelilingnya di Jawalke sejak tahun 1984. Seingat Salve, ia telah membantu proses persalinan 551 bayi dan mengatakan bahwa dalam bantuannya, tidak ada ibu atau bayi yang meninggal. ”Ketika saya pertama kali memulai tugas, semua anak menderita kudis dan kotoran terdapat di mana-mana,” katanya mengisahkan. Banyak anak kecil yang meninggal dunia, perempuan hamil kehilangan nyawa saat dan setelah melahirkan. Kebersihan lingkungan yang buruk menyebabkan timbulnya malaria dan diare. Anak-anak tidak divaksin. Penyakit lepra dan tuberkulosis umum dijumpai.

Kutanyakan pada Salve perihal masalah-masalah kesehatan di Jawalke saat ini. ”Hipertensi dan diabetes,” katanya—penyakit negara makmur. Di sebagian besar wilayah pedesaan India, hanya yang berkecukupan yang menderita penyakit-penyakit tersebut.!break!

Kurangnya jumlah dokter di negara-negara miskin sangatlah disayangkan, khususnya di negara-negara berbahasa Inggris seperti Ghana, Malawi, dan India, di mana para dokterkerap hijrah ke luar negeri demi memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Mereka terdorong pergi karena kondisi di negerinya yang betul-betul menyedihkan—rumah-rumah sakit besar hanya mampu mempekerjakan segelintir dokter dan selusin perawat untuk melayani ratusan orang. Banyak pasien yang meninggal meski tidak seharusnya demikian. Gaji dokter sangat minim dan seringkali terlambat  hingga berbulan-bulan. Namun, para dokter dan perawat juga kerap ditarik bekerja ke Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia. Negara-negara tersebut tidak memiliki cukup dokter yang bersedia bekerja di wilayah pedesaan atau sama sekali tidak memiliki cukup perawat. Negara-negara itu mengisi kekosongan tersebut dengan tenaga kesehatan dari negara-negara miskin.

Akibatnya, Afrika, dan untuk batas yang lebih kecil India, kini efektif menyubsidi pengobatan di AS dan Inggris. Ghana, Malawi, dan Zimbabwe ada di antara 16 negara Afrika yang memiliki lebih banyak dokter yang berpraktik di luar negeri daripada yang di tanah airnya sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perawat yang meninggalkan Malawi untuk bekerja telah melebihi siswa yang lulus dari sekolah perawat. Hilangnya tenaga-tenaga medis tersebut merupakan salah satu masalah yang tengah dibahas oleh forum G8 yang terdiri atas negara-negara terkaya dunia, WHO, Harvard University, dan lembaga lainnya.

Namun upaya memikat para dokter dan perawat untuk tetap bekerja di tanah air mungkin bukanlah jawaban bagi krisis penanganan kesehatan di negara-negara miskin. Saya bertanya kepada Nils Daulaire, kepala sebuah kelompok yang berbasis di AS bernama Global Health Council, apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi kenyataan bahwa, misalnya, di Malawi hanya terdapat kurang lebih tiga dokter untuk setiap 150.000 penduduk.

”Bisakah kita mengurangi jumlahnya hingga dua orang dokter? Atau satu?” ujar dia menjawab.