Bidadari yang Dinanti

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 15:12 WIB

”Kalau begitu, Anda yang tanggung jawab,”  bentak Salve padanya. Ia berjongkok di depan api pembakaran untuk masak di halaman, memanaskan silet di api menggunakan sepasang alat penjepit.

”Jangan potong tali pusarnya,” kata si bidan. ”Jika Anda melakukannya, plasentanya akan masuk ke jantung!”

Ucapannya itu adalah sebuah takhyul lama; Salve menggelengkan kepalanya. Ia menggunakan silet yang kini telah steril dan memotong tali pusar. Salve kembali memeriksa Kalei. ”Saya pernah membantu proses persalinan anak kembar dengan selamat sebelum ini,” ia berujar lembut pada Kale. ”Namun, bayi ini tidak berada dalam posisi yang normal.”

Kale menyatakan bahwa rasa sakit dalam proses persalinan itu telah mereda. Itu bukanlah pertanda yang baik. Mengabaikan keberatan si dai, ia setuju menempuh perjalanan ke rumah sakit. !break!

Tersedotnya tenaga ahli kesehatan dari negara-negara miskin menciptakan sebuah perhatian baru terhadap para tenaga kesehatan masyarakat, tetapi negara-negara itu sudah mencoba sebelumnya. Eksperimen yang besar sekali adalah program ”dokter tanpa alas kaki” di China masa Mao—para pekerja dilatih dalam bidang kesehatan preventif dan kuratif serta dibayar dalam bentuk poin kerja dari komune mereka. Eksperimen China memicu lusinan program tenaga kesehatan desa yang lebih kecil di era 1970-an dan 1980-an. Harapannya adalah agar program-program tersebut tumbuh untuk menyediakan cara yagn murah dalam memperbaiki kesehatan jutaan penduduk. Namun banyak yang gagal dan kini hanya segelintir yang bertahan. Di China, setelah terjadinya pembubaran komune-komune, sejumlah tenaga kesehatan Mao menjadi apoteker atau dokter desa tak berlisensi yang berfokus pada pelayanan kuratif—pelayanan berbayar.

Ahli-ahli kesehatan kini tengah berpikir keras mengenai kegagalan beberapa dekade yang lalu dan telah mendiagnosis dua masalah yang fatal. Banyak program yang pada akhirnya cuma menelantarkan para tenaga kesehatan tanpa pelatihan, dukungan, maupun penyeliaan yang memadai. Juga, sebagian besar program yang lama berpendekatan dari atas ke bawah. Warga desa tidak menentukan sendiri masalah apa yang harus mereka tangani ataupun belajar keterampilan untuk mengambil alih pekerjaan tersebut. Hasilnya, perbaikan kesehatan hanya berlangsung ketika kelompok luar hadir di sana bersama dengan uang.

Berlawanan dengan itu, Jamkhed telah melakukan keduanya secara benar. Program tersebut menyediakan koneksi yang terus berjalan setiap minggu bagi para tenaga kesehatan desa untuk mengakses rumah sakit, tim keliling, sumber obat dan logistik, keterampilan dan pengetahuan yang baru, dan mungkin yang terpenting, program tersebut memastikan si perempuan tenaga kesehatan tetap berhubungan dengan rekan-rekan sesama tenaga kesehatan desa yang membantu si tenaga kesehatan tetap termotivasi. Selain itu, tenaga kesehatan Jamkhed juga melatih warga desa untuk mendiagnosis dan menanggulangi masalah-masalah mereka sendiri. ”Program ini unik karena sungguh-sungguh melibatkan warga,” kata Carl E. Taylor, seorang profesor emeritus di Bloomberg School of Public Health di Johns Hopkins University, Baltimore, yang sekaligus merupakan empu nomor satu di dunia dalam bidang program kesehatan masyarakat. Taylor adalah guru pasangan suami-istri Arole. ”Mereka termasuk murid-murid paling keras kepala yang pernah saya ajar,” katanya. ”Mereka menolak apapun yang memberikan kewenangan penuh kepada para ahli dalam pengambilan keputusan dan tidak melibatkan masyarakat.”

Di tempat lainnya, program-program tenaga kesehatan desa yang sukses telah tumbuh menjadi besar. Sebagai contoh, pemerintah Nepal memberdayakan jejaring yang luas dari para perempuan sukarelawan dari desa. Selain itu, Bangladesh Rural Advancement Committee atau BRAC menjalankan program yang pada dasarnya merupakan substitusi terhadap sistem kesehatan pemerintah dengan 70.000 tenaga kesehatan desa yang bekerja di 70.000 desa. ”Kecil itu indah, tetapi cakupan yang luas juga perlu,” kata Mushtaque Chowdury, seorang direktur eksekutif BRAC.!break!

Namun Jamkhed hingga saat ini masih merupakan produk keluarga Arole yang kini dijalankan oleh Shobha dan saudara lelakinya, Ravi, penyandanggelar master dalam bidang administrasi niaga. Saat ini program tersebut dilaksanakan hanya di 120 desa dan tim keliling secara aktif hanya mengunjungi 45 di antaranya. Mengapa Jamkhed belum berkembang? Ravi dan Sobha berpendapat bahwa program tersebut sebenarnya telah tumbuh, cuma saja dengan cara yang lain. Program tersebut telah menambah layanannya—seperti kredit mikro—dan memperluas jangkauan melalui pelatihan. Jamkhed telah memberikan kursus bagi 18.000 warga India dan 2.000 warga negara lainnya dari 100 negara, staf Jamkhed melakukan perjalanan untuk mengajari organisasi-organisasi di tempat lain. Terdapat berbagai program kecil yang tersebar di segala penjuru dunia, dari Nepal hingga Brasil yang menggunakan prinsip-prinsip Jamkhed dan seluruh wilayah negara bagian Andhra Pradesh di India tengah mengadopsi metode-metode Jamkhed dan telah mengirimkan ribuan pekerja pemerintah ke Jamkhed untuk menjalani pelatihan.

Saat ini, berkat pelatihan bisnis dan hibah usaha kecil dari Jamkhed, tenaga-tenaga kesehatan desa Jamkhed tidak lagi miskin. Misalnya Salve yang kini menjadi salah satu di antara perempuan yang lebih berpunya di desanya. Ia menjual gelang dan anting-anting, memiliki dua rumah, sebuah penggilingan tepung, dan dia berucap bangga, 15 sari; ia juga memiliki sebuah Jeep yang disewakan. Ini adalah strategi yang baik—semakin makmur si tenaga kesehatan, semakin berpengaruh dirinya di desa. Namun, ini bukanlah keseluruhan cerita. Mungkin rahasia Jamkhed yang sesungguhnya adalah bagaimana program itu mampu memotivasi para perempuan miskin, terkadang sangat melarat, yang mengalami penindasan teramat sangat untuk menghabiskan waktu berjam-jam dari hari mereka, melakukan pekerjaan yang tidak memberikan remunerasi finansial selain sesekali hadiah buah pepaya dari pasien yang berterimakasih. Jelas, sesuatu memotivasi mereka. Sebagian besar tenaga kesehatan Jamkhed mengemban tugas mereka seumur hidup. Sangat sedikit yang berhenti.

Menurut para perempuan itu, keuntungan-keuntungan yang nyata tidak dapat diukur dalam rupee. ”Ketika saya pertama kali memulainya, saya tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun, tidak berpendidikan, tidak punya uang,” kata Sathe. ”Saya seperti batu tanpa jiwa. Ketika saya datang kemari, mereka memberi saya bentuk, kehidupan. Saya belajar untuk berani dan gigih. Saya menjadi seorang manusia.”

Pada tahun 2005, Babai Sathe yang paria terpilih sebagai sarpanch—kepala desa—di Jawalke.

Dalam hitungan menit sejak Kale menyetujui untuk pergi ke rumah sakit, si pengemudi membawa mobil mini-bus Jamkhed ke rumahnya. Sathe membantu Kale masuk, diiringi segerombolan perempuan, dan anehnya, seorang pejalan kaki yang membutuhkan tumpangan. Ayah Kale dan anak lelakinya yang berusia empat tahun duduk di lantai bagian depan mobil. Bayi yang baru saja dilahirkan ada di pangkuan seseorang.!break!

Jalan yang dilalui adalah jalan aspal, tetapi lebarnya hanya satu setengah jalur. Setiap kali sebuah truk atau bus melaju ke arah kami, mobil pun terpaksa keluar jalan. Kami melewati gerobak-gerobak sapi; klakson mobil terdengar seakan terus ditekan. Salve menyeka muka Kale dan memberinya minum. Empat puluh lima menit kemudian kami tiba di rumah sakit Jamkhed, disambut tiga perempuan yang membawa kereta pengusung pasien dan lalu melarikan Kale ke ruang persalinan. Salve dan Sathe berdiri di kedua sisi Kale, memegangi kakinya sambil menenangkannya. Ia masih tidak mengalami kontraksi sehingga seorang dokter menyuntiknya dengan Pitocin untuk merangsang terjadinya kontraksi.

Seorang perawat mendatangkan sebuah alat pemantau detak jantung janin, yang tersimpan di dalam sebuah koper. Sathe memegangi koper tersebut sementara perawat mendorong corong pendengar alat tersebut ke permukaan perut Kale. Satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruangan hanyalah dengung alat itu. Mata Sathe menyapu sekeliling ruangan seiring berpindahnya corong pendengar itu. Dia tak berani menatap mata Kale. Waktu yang berjalan lambat itu akhirnya berlalu. Tidak ada detakan jantung.

Bayi yang meninggal itu perempuan. Pada sebagian besar keluarga di India, kejadian bayi perempuan yang lahir meninggal tidak menyebabkan kesedihan, tetapi tidak demikian halnya Kale. ”Saya sudah punya satu anak laki-laki,” ujarnya kemudian sambil menggendong bayi lelakinya, anaknya yang kedua. ”Sebenarnya saya mengharapkan bayi perempuan.” Namun bayi lelakinya sehat, lahir dengan berat sedikit di bawah tiga kilogram.

Sejatinya, dapatkah bayi perempuan tersebut diselamatkan? Mungkin—jika Kale mendapatkan pemeriksaan sonogram di rumah sakit pada waktu-waktu tertentu di masa kehamilannya. ”Kami dapat mendeteksi kehamilan beresiko tinggi tersebut dan memintanya untuk melahirkan di sini,” kata Shobha. ”Namun, terkadang pihak keluarga sulit diajak bekerja sama, walaupun sudah diberi semangat.”

Namun hal itu jarang terjadi jika mereka adalah warga Jawalke. Pada akhirnya, perbaikan kesehatan terbesar yang dihasilkan oleh Sarubai Salve dan Babai Sathe di desa tersebut bukanlah jamban-jamban yang segera dibangun, anak-anak yang sudah divaksinasi, pompa-pompa air di halaman belakang rumah, dapur hidup, atau hal-hal lainnya yang kasat mata. Hasil yang paling penting adalah bahwa para perempuan Jawalke paham apa saja yang dapat mendatangkan kehidupan yang lebih baik. Kini mereka menuntut untuk mendapatkannya. Ketika Salve datang ke rumah Kale setelah kelahiran bayi yang pertama, tiga perempuan telah berkumpul di sudut rumah tersebut—semuanya muda, semuanya hamil. Mereka mencari Salve untuk memeriksakan perkembangan kehamilan masing-masing.

Kepada mereka Salve mengangguk; ia tengah sibuk; mereka harus menunggu untuk saat ini.

Namun, mereka tahu bahwa esok hari ia akan datang.