Bidadari yang Dinanti

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 15:12 WIB

Ketika Sarubai Salve berjalan melintasi desanya, orang-orang mengerumuninya. Salve berusia 56 tahun, bertubuh langsing, tertutup, dia adalah perempuan berpendirian keras yang memakai kacamata pilot dan berambut hitam panjang yang telah menyemburatkan warna abu-abu. Pada hari-hari biasa, ia berangkat dari rumah dua kali, pukul sembilan pagi dan enam sore, menyusuri jalanan Jawalke, sebuah desa berpenghuni 240 keluarga yang terletak di pusat negara bagian Maharashtra di India. Salve membawa alat pengukur tekanan darah, stetoskop, timbangan bayi, dan buku catatan yang tipis. Sering pula ia ditemani oleh Babai Sathe, seorang perempuan ceria berusia 47 tahun, sedikit tambun, dengan senyum yang lebar sehingga memperlihatkan gigi-giginya.!break!

Kedua perempuan itu bertanggungjawab menjaga kesehatan warga Jawalke. Mereka membantu proses persalinan dan kemudian kembali berkunjung untuk memeriksa keadaan ibu dan bayi. Mereka menemui perempuan-perempuan dan orang-orang tua. Mereka memeriksa tekanan darah dan memantau warga yang telah sembuh dari lepra.

Hari ini, sebuah pagi yang cerah di bulan Januari, pasien pertama yang mereka kunjungi adalah Rani Kale. Rumah yang dihuni Kale terbuat dari lumpur, tanah, dan kotoran sapi, dan beratapkan rumput atau dedaunan kering. Seekor kucing bertengger di salah satu lereng atap. Di halaman, terdapat tumpukan batu bata, pakaian yang digantung di tali jemuran, dan lubang-lubang api kecil berisi ranting yang dipakai untuk memasak roti tipis dari sorgum. Seekor sapi cokelat berteduh dengan santai.

Kale tengah mengandung. Andaikan ia warga Jawalke, ia akan ditengok Salve berkali-kali dan dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan sonogram. Namun, Kale berasal dari sebuah desa yang berjarak tempuh satu jam dari Jawalke. Ia kini tinggal di rumah ibunya untuk melahirkan.

Bagi Kale, ini bakal menjadi anaknya yang kedua. Ia belum pernah memperoleh pemeriksaan prakelahiran hingga sepuluh hari yang lalu ketika pertama kali tiba di Jawalke. Salve memeriksa Kale dan menyarankan agar ia menjalani pemeriksaan sonogram. Namun, Kale tidak pernah mendapatkannya dan kini proses persalinan tinggal menunggu hari atau bahkan dalam hitungan jam. Salve memeriksa tekanan darah Kale, menilik kuku dan matanya untuk mencari tanda-tanda anemia, dan meraba kakinya untuk memastikan kandungan cairan tubuhnya. Ia membawa Kale masuk ke dalam gubuk dan membaringkannya di atas tikar untuk pemeriksaan panggul. Salve meletakkan kepalanya di perut Kale dan menyimak detak jantung si bayi.!break!

Namun perut Kale demikian kerasnya sehingga sulit untuk mendeteksi apapun. Sathe terlihat khawatir; ia yakin si bayi berada dalam posisi yang tidak semestinya. ”Namun, terkadang mereka bergerak,” ujarnya. Ia memberitahu Kale, ”Kami akan kembali dalam waktu satu dua jam. Jika posisi bayinya masih belum normal juga, kami akan membawamu ke rumah sakit. Jika kamu mulai mengalami proses persalinan, kirimkanlah seseorang untuk memanggil kami.” Salve meminta salah satu bibi Kale untuk memberinya teh.”Semua akan baik-baik saja,” ucapnya meyakinkan.

Persinggahan berikutnya adalah kediaman Manisha Mane, seorang ibu dari bayi lelaki berusia tiga bulan yang menderita cacat berupa langit-langit mulut yang terbelah. Sathe dan Salve mengamati sang bayi menyusu, kemudian meletakkannya di dalam timbangan kain dan mengukur berat badannya: empat setengah kilogram. Berat yang kurang. ”Kamu harus memberinya makanan tambahan,” kata Salve. Mereka mengajari Mane cara membuat bubur dari sorgum, minyak, dan sayuran. Mereka menjelaskan kondisi si bayi di dalam bagan pertumbuhan anak dan mulai membicarakan vaksinasi. Setelah memeriksa ibu mertua Mane yang menderita hipertensi, Sathe singgah di sebuah taman kanak-kanak di mana seorang pegawai pemerintah dijadwalkan untuk memberikan pelayanan vaksinasi. Setelah berita itu menyebar, taman kanak-kanak tersebut segera berubah menjadi posyandu. Perempuan-perempuan hamil dan ibu-ibu yang baru melahirkan mampir dan wanita-wanita tua datang untuk memeriksakan tekanan darah mereka.

Jawalke menjadi tempat yang amat berbeda berkat Salve dan Sathe. Salve telah melakukan tugas kelilingnya di Jawalke sejak tahun 1984. Seingat Salve, ia telah membantu proses persalinan 551 bayi dan mengatakan bahwa dalam bantuannya, tidak ada ibu atau bayi yang meninggal. ”Ketika saya pertama kali memulai tugas, semua anak menderita kudis dan kotoran terdapat di mana-mana,” katanya mengisahkan. Banyak anak kecil yang meninggal dunia, perempuan hamil kehilangan nyawa saat dan setelah melahirkan. Kebersihan lingkungan yang buruk menyebabkan timbulnya malaria dan diare. Anak-anak tidak divaksin. Penyakit lepra dan tuberkulosis umum dijumpai.

Kutanyakan pada Salve perihal masalah-masalah kesehatan di Jawalke saat ini. ”Hipertensi dan diabetes,” katanya—penyakit negara makmur. Di sebagian besar wilayah pedesaan India, hanya yang berkecukupan yang menderita penyakit-penyakit tersebut.!break!

Kurangnya jumlah dokter di negara-negara miskin sangatlah disayangkan, khususnya di negara-negara berbahasa Inggris seperti Ghana, Malawi, dan India, di mana para dokterkerap hijrah ke luar negeri demi memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Mereka terdorong pergi karena kondisi di negerinya yang betul-betul menyedihkan—rumah-rumah sakit besar hanya mampu mempekerjakan segelintir dokter dan selusin perawat untuk melayani ratusan orang. Banyak pasien yang meninggal meski tidak seharusnya demikian. Gaji dokter sangat minim dan seringkali terlambat  hingga berbulan-bulan. Namun, para dokter dan perawat juga kerap ditarik bekerja ke Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia. Negara-negara tersebut tidak memiliki cukup dokter yang bersedia bekerja di wilayah pedesaan atau sama sekali tidak memiliki cukup perawat. Negara-negara itu mengisi kekosongan tersebut dengan tenaga kesehatan dari negara-negara miskin.

Akibatnya, Afrika, dan untuk batas yang lebih kecil India, kini efektif menyubsidi pengobatan di AS dan Inggris. Ghana, Malawi, dan Zimbabwe ada di antara 16 negara Afrika yang memiliki lebih banyak dokter yang berpraktik di luar negeri daripada yang di tanah airnya sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perawat yang meninggalkan Malawi untuk bekerja telah melebihi siswa yang lulus dari sekolah perawat. Hilangnya tenaga-tenaga medis tersebut merupakan salah satu masalah yang tengah dibahas oleh forum G8 yang terdiri atas negara-negara terkaya dunia, WHO, Harvard University, dan lembaga lainnya.

Namun upaya memikat para dokter dan perawat untuk tetap bekerja di tanah air mungkin bukanlah jawaban bagi krisis penanganan kesehatan di negara-negara miskin. Saya bertanya kepada Nils Daulaire, kepala sebuah kelompok yang berbasis di AS bernama Global Health Council, apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi kenyataan bahwa, misalnya, di Malawi hanya terdapat kurang lebih tiga dokter untuk setiap 150.000 penduduk.

”Bisakah kita mengurangi jumlahnya hingga dua orang dokter? Atau satu?” ujar dia menjawab.

Daulaire cuma setengah bercanda. Menurutnya, dokter bukanlah solusi bagi penduduk termiskin di dunia. Jika tidak hijrah ke luar negeri, dokter pada umumnya menetap di perkotaan. Di Malawi, setengah dari jumlah keseluruhan dokter hanya bekerja di salah satu dari empat rumah sakit di kota-kota besar, walaupun 85 persen wilayah Malawi terdiri dari pedesaan. Dengan beberapa pengecualian, kebanyakan dokter di negara-negara miskin bekerja sebagai dokter dengan alasan yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia: untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Jika Malawi atau India berhasil merekrut seorang dokter untuk ditempatkan pada sebuah pos kesehatan di daerah udik, kemungkinan besar pasien-pasien yang datang mencarinya tidak akan menemuinya. Si dokter akan bekerja di ibu kota, melayani pasien yang mampu membayarnya.!break!

Dokter-dokter yang melayani penduduk pedesaan sekalipun jarang menghabiskan waktu guna mengajari penduduk tentang gizi, pemberian air susu ibu, kebersihan, dan pengobatan di rumah seperti solusi rehidrasi oral. Mereka tidak membantu penduduk desa untuk memperoleh air bersih, menciptakan sistem sanitasi, ataupun memperbaiki praktik bertani mereka—cara-cara yang dapat ditempuh untuk menghapus akar penyebab penyakit. Mereka tidak bekerja untuk menghilangkan berbagai mitos yang membuat orang tetap sakit. Mereka tidak melawan diskriminasi terhadap perempuan dan orang-orang dari kasta rendah, padahal diskriminasi itu menjadi racun bagi kesehatan. Para dokter juga menghadirkan lobi institusional yang kuat yang mampu menghambat solusi nyata bagi tempat-tempat seperti Jawalke: melatih penduduk desa seperti Sarubai Salve dan Babai Sathe untuk melakukan semua hal tersebut.

”Dokter memeromosikan perawatan medis karena hal tersebut adalah sumber datangnya uang,” ujar Raj Arole. ”Kami memeromosikan kesehatan.”  Perbedaan istilah tersebut sangat penting bagi Arole, 75 tahun, seorang dokter, yang bersama istrinya Mabelle (meninggal dunia tahun 1999) mendirikan program yang dikenal sebagai Jamkhed, yang memberikan pelatihan kepada Salve dan Sathe. Suami-istri Arole lulus dengan peringkat tertinggi di kelas dari salah satu sekolah kedokteran yang paling bergengsi di India, Christian Medical College di Vellore, Tamil Nadu. “Sekolah-sekolah kedokteran berupaya menerapkan pendidikan yang akan membuat  siswanya menjadi dokter yang bagus di Prancis atau Jerman,” kata Arole. Namun, pasangan Arole memiliki tujuan yang berbeda: memeromosikan kesehatan di kalangan penduduk miskin yang terpapa. Mereka bekerja di sebuah rumah sakit misionaris, kemudian menjalani masa magang praktik dan melanjutkan studi di bidang kesehatan masyarakat di AS.

Pada tahun 1970, pasangan Arole kembali ke India dan mendirikan Comprehensive Rural Health Project (Proyek Kesehatan Komprehensif Pedesaan) di Jamkhed, sebuah kota kecil yang dapat dicapai dalam waktu sekitar delapan jam perjalanan ke arah timur dari Mumbai. Mereka memilih lokasi tersebut—tidak jauh dari tempat Raj Arole dibesarkan—karena tempat tersebut merupakan salah satu wilayah termiskin di negara tersebut, sering dilanda kekeringan hingga nyaris menderita bencana kelaparan. Daerah tersebut tidak memiliki industri lokal ataupun jalur kereta api. Penduduknya bertahan hidup dengan menanam sorgum di petak-petak kecil. Pengairan lahannya berupa aktivitas meminta hujan kepada para dewa.

Ketika tiba di Jamkhed, pasangan Arole memulai sebuah rumah sakit kecil di bangunan klinik hewan yang sudah terbengkalai. Sebuah rumah sakit sangat dibutuhkan untuk melayani penyakit-penyakit berat maupun keadaan darurat dan itu memberikan proyek mereka kredibilitas dan dukungan politik. Rumah sakit tersebut juga menarik bayaran dari pasien yang mempu membayar. (Hingga saat ini, pemasukan tersebut bersama dengan donasi menyumbang terhadap sebagian besar anggaran tahunan Jamkhed yang besarnya sekitar 5 milyar rupiah untuk biaya operasional di pedesaan). Namun pasangan Arole paham bahwa pengobatan yang berorientasi penyembuhan hanya akan berdampak minim bagi kaum papa. Mereka perlu menekankan pengobatan yang berorientasi pencegahan dan memperkenalkannya ke desa-desa. Maka, mereka pun memutuskan untuk melibatkan warga pedesaan. Menurut Arole, seorang tenaga kesehatan desa mampu menangani 80 persen masalah kesehatan di desanya karena sebagian besar terkait dengan gizi dan lingkungan. Kematian anak sesungguhnya akibat tiga hal: kelaparan kronis, diare, dan infeksi pernafasan. Untuk ketiga hal tersebut, sesungguhnya peran seorang dokter tidaklah dibutuhkan. ”Masalah pedesaan sangatlah sederhana,” kata Arole. ”Air minum yang aman, pendidikan, dan pemberantasan kemiskinan mampu memeromosikan kesehatan dengan lebih baik dibandingkan uji diagnostik dan obat-obatan.”!break!

Ketika Salve dan Sathe mulai bekerja di Jawalke, mereka hidup dalam kondisi melarat. Sebagai anggota Dalit atau kasta paria, mereka tidak dianggap sebagai manusia, demikian hinanya sehingga orang-orang dari kasta yang lebih tinggi akan membuang makanan meski makanan itu hanya tersentuh ujung kain-sari mereka. Di pedesaan, mereka bepergian dengan bertelanjang kaki, berhubung perempuan dari kasta paria tidak diperbolehkan memakai sepatu. Sathe ingat ketika ia harus berdiri selama berjam-jam di pompa air bersih setempat—yang tidak boleh disentuhnya—menunggu seorang wanita dari kasta yang lebih tinggi untuk  mengasihaninya dan mengisi ember kosongnya. Salve demikian papanya sehingga ia hanya mampu mencuci rambutnya dengan lumpur dan hanya memiliki sehelai sari. Ketika ia mencucinya, ia harus tetap berendam di dalam sungai hingga pakaiannya kering.

Ketika pasangan Arole memperluas program mereka ke sedikitnya seratus desa di luar Jamkhed, mereka mendorong warga desa untuk memilih perempuan-perempuan dari kasta yang lebih rendah. ”Seorang perempuan yang terdidik umumnya berasal dari kasta yang tinggi—kemungkinan ia tidak akan [mau] bekerja bagi warga miskin yang terpapa,” kata Arole. Pasangan Arole percaya bahwa empati, pengetahuan tentang gaya hidup kaum miskin, dan keikhlasan untuk bekerja lebih  penting daripada keterampilan dan gengsi.

Banyak tenaga kesehatan desa yang sama sekali buta aksara ketika pertama kali dilatih. Ketika Sathe pertama kali bertugas keliling Jawalke, ia belum pernah merasakan bangku sekolah barang sekalipun. Adapun Salve sekolah hingga tamat kelas empat. Sathe menikah pada usia sepuluh tahun; Salve pada usia dua setengah tahun. Setiap pekerja yang saya temui telah menikah pada usia 13 tahun. Banyak yang telah ditelantarkan oleh suami mereka. Beberapa di antaranya mengisahkan pengalaman dianiaya; Surekha Sadafule, yang kini berusia 26 tahun, menceritakan bagaimana suaminya melemparkannya ke dalam sumur setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Orang tuanya tidak akan mengizinkannya pulang. ”Engkau harus menerima apapun yang diberikannya padamu,” kata mereka. ”Itulah budaya India.”

Tugas pertama dari para tenaga kesehatan adalah mengubah diri mereka, dimulai dengan pelatihan selama dua minggu di kampus Jamkhed. Putri pasangan Arole, Sobha, 47 tahun, seorang dokter yang kini menjabat sebagai associate director  program, memberikan sejumlah pelatihan. ”Saya bertanya kepada mereka, ’Siapa namamu?’ Mereka akan menjawab dengan nama desa asalnya dan kasta mereka. Mereka tidak memiliki kesadaran akan identitas diri,” ujarnya.!break!

Mereka tidak akan menatap matamu ataupun berbicara langsung. Mereka bahkan tidak percaya bahwa seorang perempuan memiliki inteligensia.” Ibu Sobha bertanya kepada para perempuan itu, ”Mana yang lebih cerdas—seorang perempuan atau seekor tikus?” Mereka akan menjawab, ”Tikus.”. Sobha melatih para perempuan tersebut belajar menyebutkan nama mereka di depan cermin.  Ia bertanya pada mereka, ”Siapakah seseorang yang tidak akan pernah meninggalkanmu?” Kemudian mereka akan berjalan ke belakang tirai untuk menghadapi cermin. Pelatihan tersebut meningkatkan rasa percaya diri mereka. ”Setiap orang dapat mengajarkan pengetahuan teknis,” kata Sobha. ”Yang membuat hal ini sukses adalah waktu yang dihabiskan untuk membangun kepercayaan diri mereka.” Pelatihan tersebut adalah kampanye yang terus berjalan: setiap hari Selasa, banyak di antara para perempuan tersebut pulang selama dua hari untuk mendiskusikan berbagai masalah yang ada di desa mereka, meninjau ulang apa yang mereka pelajari dari pekan sebelumnya, dan mempelajari sebuah topik baru, misalnya penyakit jantung. Para perempuan tersebut tidur di atas lantai, berselimutkan satu selimut besar yang mereka jahit bersama dari selimut-selimut kecil.

Tenaga-tenaga kesehatan tersebut tidak langsung berubah menjadi pemangku otoritas kesehatan desa. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk membuat warga desa mulai mendengarkan merka, sebuah proses yang ditopang seiring dengan kisah-kisah sukses dalam pemberian bantuan medis, semisal membantu proses persalinan bayi dari perempuan berkasta tinggi atau menyembuhkan demam seorang anak. Para perempuan tersebut juga mendapatkan bantuan dari sebuah tim keliling—seorang perawat, paramedis, pekerja sosial, dan terkadang seorang dokter—yang pada awalnya mengunjungi setiap desa tiap pekan, kemudian berangsur-angsur mengurangi frekuensi kunjungannya. Tim keliling tersebut mencari kasus-kasus tersulit kemudian memperkuat otoritas pekerja kesehatan desa. Sadafule menceritakan kepada saya bahwa suatu hari ia dan tim keliling mengunjungi rumah seorang perempuan berkasta tinggi di desanya. Sesuai dengan aturan sistem kasta, perempuan tersebut membuatkan teh bagi  para tamunya, tetapi tidak untuk Sadafule—si kasta paria. ”Si pekerja sosial memberikan teh tersebut padaku,” kata Sadafule. Ia membawa obat resep, tetapi perempuan berkasta tinggi tersebut tidak memercayainya dan melontarkan pertanyaan yang sama kepada si perawat. Perawat tersebut membenarkan resep tersebut dan meminta Sadafule untuk mengeluarkan kembali obat tersebut dari tasnya dan menyerahkannya kepada si perempuan.

Berkat kehadiran tenaga kesehatan terlatih dari Jamkhed, desa-desa yang mendapatkan pelayanan mereka berangsur-angsur mulai berubah. Setelah kurang lebih tiga tahun, desa-desa ini mulai terlihat berbeda dibandingkan tetangga-tetangganya. Dibandingkan penderitaan yang melanda wilayah pedesaan India era 1970-an dan 1980-an, telah terjadi beberapa kemajuan di desa-desa yang belum disentuh oleh Jamkhed: lebih banyak perempuan yang menunda pernikahan hingga usia 18 tahun, penggunaan kontrasepsi telah mengurangi jumlah anggota keluarga, dan semakin banyak perempuan yang bersekolah. Namun, banyak yang tidak berubah. Di desa Kharda, lima belas kilometer dari Jawalke, air limbah mengalir bebas ke kali. Tumpukan kotoran sapi dihinggapi kerumunan lalat. Anak-anak kecil seringkali menderita diare, muntah, dan demam. Beberapa anak muda berpendidikan menyatakan tidak lagi memercayai takhyul masa lalu, tetapi banyak diantaranya mengaku akan melarikan korban gigitan ular ke kuil, bukan ke rumah sakit.!break!

Berlawanan dengan itu, sukses yang ditimbulkan Jamkhed sungguh dramatis. Tiga puluh delapan tahun setelah pendiriannya, program tersebut telah melatih tenaga-tenaga kesehatan di 300 desa. Di antara penyakit yang ditangani dalam program itu selama beberapa tahun adalah momok tradisional seperti diare pada anak, pneumonia, kematian pasca kelahiran, malaria, lepra, tetanus pada ibu, tuberkulosis—nyaris sirna. Desa-desa Jamkhed memiliki tingkat vaksinasi yang jauh lebih tinggi dan tingkat kematian bayi sebesar 22 per 1.000 kelahiran, kurang dari separuh rata-rata angka kematian bayi di pedesaan Maharashtra. Hampir setengah dari keseluruhan anak India yang berusia di bawah tiga tahun menderita kekurangan gizi, sementara di desa-desa Jamkhed hampir tidak ada kasus yang tercatat. Di wilayah pedesaan Maharashtra, 56 persen proses persalinan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan, dibandingkan 99 persen di desa-desa Jamkhed.

Transformasi yang terjadi jauh melampaui masalah kesehatan. Di wilayah yang sebelumnya nyaris gundul tanpa pepohonan, kini penduduk desa yang turut berpartisipasi dalam program telah menanam jutaan tanaman dan sebagian besar warga telah memiliki dapur hidup yang menghasilkan bayam, pepaya, serta buah-buahan dan sayuran lainnya. Seluruh warga di desa-desa Jamkhed kini memiliki air bersih dan banyak yang telah memiliki sambungan pipa ke pompa air di halaman belakang masing-masing. Kebanyakan rumah  memiliki lubang resapan, sebuah sistem pembuangan air sederhana yang menghilangkan genangan air limbah.

Sathe dan Salve telah menyusun delapan kelompok perempuan di Jawalke yang berhasil membuahkan perubahan tersebut. Mereka mengajari anggota-anggotanya keterampilan usaha dan memulai sebuah koperasi simpan-pinjam—setiap orang menyetor beberapa rupee yang kemudian dipinjamkan kepada satu orang secara bergantian sehingga si peminjam dapat membeli ikan kering untuk dijual kembali atau membeli kambing untuk dipelihara. Ketika kami mengunjungi Jawalke, kampanye yang tengah berlangsung adalah pemasangan jamban. Hanya 85 dari 240 rumah di desa tersebut yang telah memilikinya dan Sathe berupaya mengatur hari kerja agar melibatkan semua warga dalam penggalian saluran air dan pemasangan toilet secara serentak.

Mungkin wilayah tersulit yang harus dijajah sebenarnya berada di dalam kepala para warga, tempat bercokolnya takhyul dan stigma. Bagi penduduk di wilayah Jamkhed, penyakit berasal dari para dewa. Ketika seorang ibu meninggal karena tetanus yang diakibatkan oleh pemakaian alat yang kotor saat pemotongan tali pusar, tidak seorang pun yang bersedia merawat bayinya, kata Salve. ”Orang-orang mengatakan bahwa si ibu akan berubah menjadi hantu dan mengambil pergi anaknya.” Ada takhyul-takhyul berkisar pada zat gizi dasar: perempuan hamil tidak disarankan makan terlalu banyak, dan ibu yang baru melahirkan harus menunggu beberapa hari sebelum menyusui. Adapun penderita jenis-jenis penyakit tertentu, seperti tuberkulosis dan lepra, yang tahu benar bahwa mereka akan dihindari oleh tetangganya, tidak berani mencari pertolongan secara terbuka.!break!

Sedikit demi sedikit, Salve dan Sathe membuang sikap-sikap seperti itu, melenyapkan hal-hal yang menyesatkan tentang kesehatan. Sebagai contoh, lepra kini ditangani seperti penyakit apapun lainnya, kenyataannya lepra sulit untuk ditularkan dan dapat disembuhkan melalui pengobatan. Perubahan tersebut terlihat nyata di tangan Sakubai Gite. Ia kini berusia 32 tahun dan tengah menginjak tahun keenamnya sebagai tenaga kesehatan di desa Pangulghavan. Penyakit lepra menyerang sebagian jemari tangannya ketika ia remaja, sebelum akhirnya dapat disembuhkan. Kedua tangannya kini berlekuk-lekuk dan cacat.

Bentuk kedua tangannya itulah yang menjadi salah satu alasan Jamkhed menginginkannya. “Kami ingin menunjukkan bahwa seorang pasien penderita lepra yang telah sembuh dapat menjadi tenaga kesehatan desa,” kata Gite. ”Kini saya bahkan sudah diizinkan untuk membantu proses persalinan.”

Diskriminasi terhadap kaum paria menjadi dasar berbagai kasus kekurangan gizi, pengabaian, dan penyakit, tetapi Jamkhed melawannya—seringkali dengan cara yang menjengkelkan. Selama bencana kelaparan melanda pada 1970-an, Jamkhed mendapatkan uang untuk menggali sumur. Kaum paria yang terpaksa tinggal di pinggiran desa memohon kepada Arole agar dibuatkan dua sumur pada tiap desa: Satu untuk para perempuan dari kasta yang lebih tinggi dan satu lagi di lingkungan mereka sehingga kaum paria dapat menggunakan pompa tersebut.

Arole menolak permintaan mereka. Ia tidak ingin mengemong diskriminasi kasta. Ia mendatangkan seorang geolog Amerika yang memiliki reputasi sebagai peramal untuk memilih titik terbaik bagi pengeboran. ”Tugasmu adalah,” Arole memberitahunya, ”berkeliling desa mencari air—tetapi menemukannya hanya di lingkungan tempat tinggal kaum paria.”

Tidak lama kemudian, penduduk dari kasta paria memeroleh air di tengah lingkungan tempat tinggal mereka. Perempuan dari kasta yang lebih tinggi, yang tidak lazim bepergian ke wilayah tersebut harus berpisah dari tradisi—air lebih penting daripada kasta. ”Ketika 50 desa akhirnya punya sumur, orang mulai bertanya-tanya mengapa kita hanya menemukan air di lingkungan tempat tinggal kaum paria,” kata Arole. ”Namun ketika hal tersebut mengemuka, sudah terlalu terlambat.”!break!

Sebuah kejutan menanti kami di rumah ibunya Kale. Sinar lampu temaram di pintu rumahnya membuat kami melihat Kale tergeletak di atas kain di belakang gubuknya dengan seorang bayi lelaki di antara kedua kakinya, tali pusarnya masih tersambung. Kejutan kedua: ada kembarannya yang masih di dalam perut.

Salve mencuci tangannya dan melakukan pemeriksaan panggul sementara Sathe memegang senter. ”Anak [kedua] ini sungsang,” ia mengumumkan. ”Kita harus membawamu ke rumah sakit.”

”Tidak, ia harus melahirkan di sini,” tukas seorang wanita tua. Ia adalah salah seorang tetangga dan sebelum Salve maupun Sathe bekerja di desa ini, ia telah bekerja sebagai bidan atau dai. Namun, ia telah kehilangan banyak sekali pelanggan usahanya. Kini, dia sudah berhasil membantu proses persalinan anak kembar yang pertama dan berniat membantu proses persalinan anak yang kedua. Banyak negara bagian di India yang tengah berusaha melatih para dai, tetapi sebagian besar tidak memiliki pengetahuan dasar tentang perawatan prakelahiran dan saat persalinan.

”Kalau begitu, Anda yang tanggung jawab,”  bentak Salve padanya. Ia berjongkok di depan api pembakaran untuk masak di halaman, memanaskan silet di api menggunakan sepasang alat penjepit.

”Jangan potong tali pusarnya,” kata si bidan. ”Jika Anda melakukannya, plasentanya akan masuk ke jantung!”

Ucapannya itu adalah sebuah takhyul lama; Salve menggelengkan kepalanya. Ia menggunakan silet yang kini telah steril dan memotong tali pusar. Salve kembali memeriksa Kalei. ”Saya pernah membantu proses persalinan anak kembar dengan selamat sebelum ini,” ia berujar lembut pada Kale. ”Namun, bayi ini tidak berada dalam posisi yang normal.”

Kale menyatakan bahwa rasa sakit dalam proses persalinan itu telah mereda. Itu bukanlah pertanda yang baik. Mengabaikan keberatan si dai, ia setuju menempuh perjalanan ke rumah sakit. !break!

Tersedotnya tenaga ahli kesehatan dari negara-negara miskin menciptakan sebuah perhatian baru terhadap para tenaga kesehatan masyarakat, tetapi negara-negara itu sudah mencoba sebelumnya. Eksperimen yang besar sekali adalah program ”dokter tanpa alas kaki” di China masa Mao—para pekerja dilatih dalam bidang kesehatan preventif dan kuratif serta dibayar dalam bentuk poin kerja dari komune mereka. Eksperimen China memicu lusinan program tenaga kesehatan desa yang lebih kecil di era 1970-an dan 1980-an. Harapannya adalah agar program-program tersebut tumbuh untuk menyediakan cara yagn murah dalam memperbaiki kesehatan jutaan penduduk. Namun banyak yang gagal dan kini hanya segelintir yang bertahan. Di China, setelah terjadinya pembubaran komune-komune, sejumlah tenaga kesehatan Mao menjadi apoteker atau dokter desa tak berlisensi yang berfokus pada pelayanan kuratif—pelayanan berbayar.

Ahli-ahli kesehatan kini tengah berpikir keras mengenai kegagalan beberapa dekade yang lalu dan telah mendiagnosis dua masalah yang fatal. Banyak program yang pada akhirnya cuma menelantarkan para tenaga kesehatan tanpa pelatihan, dukungan, maupun penyeliaan yang memadai. Juga, sebagian besar program yang lama berpendekatan dari atas ke bawah. Warga desa tidak menentukan sendiri masalah apa yang harus mereka tangani ataupun belajar keterampilan untuk mengambil alih pekerjaan tersebut. Hasilnya, perbaikan kesehatan hanya berlangsung ketika kelompok luar hadir di sana bersama dengan uang.

Berlawanan dengan itu, Jamkhed telah melakukan keduanya secara benar. Program tersebut menyediakan koneksi yang terus berjalan setiap minggu bagi para tenaga kesehatan desa untuk mengakses rumah sakit, tim keliling, sumber obat dan logistik, keterampilan dan pengetahuan yang baru, dan mungkin yang terpenting, program tersebut memastikan si perempuan tenaga kesehatan tetap berhubungan dengan rekan-rekan sesama tenaga kesehatan desa yang membantu si tenaga kesehatan tetap termotivasi. Selain itu, tenaga kesehatan Jamkhed juga melatih warga desa untuk mendiagnosis dan menanggulangi masalah-masalah mereka sendiri. ”Program ini unik karena sungguh-sungguh melibatkan warga,” kata Carl E. Taylor, seorang profesor emeritus di Bloomberg School of Public Health di Johns Hopkins University, Baltimore, yang sekaligus merupakan empu nomor satu di dunia dalam bidang program kesehatan masyarakat. Taylor adalah guru pasangan suami-istri Arole. ”Mereka termasuk murid-murid paling keras kepala yang pernah saya ajar,” katanya. ”Mereka menolak apapun yang memberikan kewenangan penuh kepada para ahli dalam pengambilan keputusan dan tidak melibatkan masyarakat.”

Di tempat lainnya, program-program tenaga kesehatan desa yang sukses telah tumbuh menjadi besar. Sebagai contoh, pemerintah Nepal memberdayakan jejaring yang luas dari para perempuan sukarelawan dari desa. Selain itu, Bangladesh Rural Advancement Committee atau BRAC menjalankan program yang pada dasarnya merupakan substitusi terhadap sistem kesehatan pemerintah dengan 70.000 tenaga kesehatan desa yang bekerja di 70.000 desa. ”Kecil itu indah, tetapi cakupan yang luas juga perlu,” kata Mushtaque Chowdury, seorang direktur eksekutif BRAC.!break!

Namun Jamkhed hingga saat ini masih merupakan produk keluarga Arole yang kini dijalankan oleh Shobha dan saudara lelakinya, Ravi, penyandanggelar master dalam bidang administrasi niaga. Saat ini program tersebut dilaksanakan hanya di 120 desa dan tim keliling secara aktif hanya mengunjungi 45 di antaranya. Mengapa Jamkhed belum berkembang? Ravi dan Sobha berpendapat bahwa program tersebut sebenarnya telah tumbuh, cuma saja dengan cara yang lain. Program tersebut telah menambah layanannya—seperti kredit mikro—dan memperluas jangkauan melalui pelatihan. Jamkhed telah memberikan kursus bagi 18.000 warga India dan 2.000 warga negara lainnya dari 100 negara, staf Jamkhed melakukan perjalanan untuk mengajari organisasi-organisasi di tempat lain. Terdapat berbagai program kecil yang tersebar di segala penjuru dunia, dari Nepal hingga Brasil yang menggunakan prinsip-prinsip Jamkhed dan seluruh wilayah negara bagian Andhra Pradesh di India tengah mengadopsi metode-metode Jamkhed dan telah mengirimkan ribuan pekerja pemerintah ke Jamkhed untuk menjalani pelatihan.

Saat ini, berkat pelatihan bisnis dan hibah usaha kecil dari Jamkhed, tenaga-tenaga kesehatan desa Jamkhed tidak lagi miskin. Misalnya Salve yang kini menjadi salah satu di antara perempuan yang lebih berpunya di desanya. Ia menjual gelang dan anting-anting, memiliki dua rumah, sebuah penggilingan tepung, dan dia berucap bangga, 15 sari; ia juga memiliki sebuah Jeep yang disewakan. Ini adalah strategi yang baik—semakin makmur si tenaga kesehatan, semakin berpengaruh dirinya di desa. Namun, ini bukanlah keseluruhan cerita. Mungkin rahasia Jamkhed yang sesungguhnya adalah bagaimana program itu mampu memotivasi para perempuan miskin, terkadang sangat melarat, yang mengalami penindasan teramat sangat untuk menghabiskan waktu berjam-jam dari hari mereka, melakukan pekerjaan yang tidak memberikan remunerasi finansial selain sesekali hadiah buah pepaya dari pasien yang berterimakasih. Jelas, sesuatu memotivasi mereka. Sebagian besar tenaga kesehatan Jamkhed mengemban tugas mereka seumur hidup. Sangat sedikit yang berhenti.

Menurut para perempuan itu, keuntungan-keuntungan yang nyata tidak dapat diukur dalam rupee. ”Ketika saya pertama kali memulainya, saya tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun, tidak berpendidikan, tidak punya uang,” kata Sathe. ”Saya seperti batu tanpa jiwa. Ketika saya datang kemari, mereka memberi saya bentuk, kehidupan. Saya belajar untuk berani dan gigih. Saya menjadi seorang manusia.”

Pada tahun 2005, Babai Sathe yang paria terpilih sebagai sarpanch—kepala desa—di Jawalke.

Dalam hitungan menit sejak Kale menyetujui untuk pergi ke rumah sakit, si pengemudi membawa mobil mini-bus Jamkhed ke rumahnya. Sathe membantu Kale masuk, diiringi segerombolan perempuan, dan anehnya, seorang pejalan kaki yang membutuhkan tumpangan. Ayah Kale dan anak lelakinya yang berusia empat tahun duduk di lantai bagian depan mobil. Bayi yang baru saja dilahirkan ada di pangkuan seseorang.!break!

Jalan yang dilalui adalah jalan aspal, tetapi lebarnya hanya satu setengah jalur. Setiap kali sebuah truk atau bus melaju ke arah kami, mobil pun terpaksa keluar jalan. Kami melewati gerobak-gerobak sapi; klakson mobil terdengar seakan terus ditekan. Salve menyeka muka Kale dan memberinya minum. Empat puluh lima menit kemudian kami tiba di rumah sakit Jamkhed, disambut tiga perempuan yang membawa kereta pengusung pasien dan lalu melarikan Kale ke ruang persalinan. Salve dan Sathe berdiri di kedua sisi Kale, memegangi kakinya sambil menenangkannya. Ia masih tidak mengalami kontraksi sehingga seorang dokter menyuntiknya dengan Pitocin untuk merangsang terjadinya kontraksi.

Seorang perawat mendatangkan sebuah alat pemantau detak jantung janin, yang tersimpan di dalam sebuah koper. Sathe memegangi koper tersebut sementara perawat mendorong corong pendengar alat tersebut ke permukaan perut Kale. Satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruangan hanyalah dengung alat itu. Mata Sathe menyapu sekeliling ruangan seiring berpindahnya corong pendengar itu. Dia tak berani menatap mata Kale. Waktu yang berjalan lambat itu akhirnya berlalu. Tidak ada detakan jantung.

Bayi yang meninggal itu perempuan. Pada sebagian besar keluarga di India, kejadian bayi perempuan yang lahir meninggal tidak menyebabkan kesedihan, tetapi tidak demikian halnya Kale. ”Saya sudah punya satu anak laki-laki,” ujarnya kemudian sambil menggendong bayi lelakinya, anaknya yang kedua. ”Sebenarnya saya mengharapkan bayi perempuan.” Namun bayi lelakinya sehat, lahir dengan berat sedikit di bawah tiga kilogram.

Sejatinya, dapatkah bayi perempuan tersebut diselamatkan? Mungkin—jika Kale mendapatkan pemeriksaan sonogram di rumah sakit pada waktu-waktu tertentu di masa kehamilannya. ”Kami dapat mendeteksi kehamilan beresiko tinggi tersebut dan memintanya untuk melahirkan di sini,” kata Shobha. ”Namun, terkadang pihak keluarga sulit diajak bekerja sama, walaupun sudah diberi semangat.”

Namun hal itu jarang terjadi jika mereka adalah warga Jawalke. Pada akhirnya, perbaikan kesehatan terbesar yang dihasilkan oleh Sarubai Salve dan Babai Sathe di desa tersebut bukanlah jamban-jamban yang segera dibangun, anak-anak yang sudah divaksinasi, pompa-pompa air di halaman belakang rumah, dapur hidup, atau hal-hal lainnya yang kasat mata. Hasil yang paling penting adalah bahwa para perempuan Jawalke paham apa saja yang dapat mendatangkan kehidupan yang lebih baik. Kini mereka menuntut untuk mendapatkannya. Ketika Salve datang ke rumah Kale setelah kelahiran bayi yang pertama, tiga perempuan telah berkumpul di sudut rumah tersebut—semuanya muda, semuanya hamil. Mereka mencari Salve untuk memeriksakan perkembangan kehamilan masing-masing.

Kepada mereka Salve mengangguk; ia tengah sibuk; mereka harus menunggu untuk saat ini.

Namun, mereka tahu bahwa esok hari ia akan datang.