Bumi Kita yang Subur

By , Selasa, 17 Maret 2009 | 14:30 WIB

Pada suatu hari yang hangat di Bulan September, petani dari berbagai penjuru negara bagian berkumpul di sekitar mesin-mesin raksasa. Mesin panen jenis gabungan (pemotong dan perontok), mesin bandela, mesin ripper, mesin penyiang, mesin garu piring, dan traktor dari berbagai jenis—semuanya ada di pameran tahunan Wisconsin Farm Technology Days. Namun, bintang kali ini adalah mesin-mesin panen raksasa, yang menjulang di tengah keramaian. Namanya mirip mobil sport—Claas Jaguar 970, Krone BiG X 1000—dengan cat secerah kembang api. Satu mesin ini beratnya 15 ton dan rodanya lebih tinggi daripada orang dewasa. Ketika saya mengunjungi Wisconsin Farm Technology Days tahun lalu, perusahaan John Deere mengizinkan pengunjung mencoba traktor 8530-nya, sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih sehingga saya tidak tahu cara mengoperasikannya. Tapi itu bukan masalah: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah. !break!

Para petani menyeringai saat menyaksikan mesin itu menderu di ladang jagung. Namun, pada jangka panjang, mereka mungkin menghancurkan mata pencariannya. Bunga tanah di daerah Midwest Amerika, salah satu lahan pertanian terbaik di dunia, terdiri atas gumpalan heterogen yang di sela-selanya dipenuhi kantong-kantong udara. Mesin yang besar dan berat seperti mesin panen ini memadatkan tanah basah menjadi lempeng seragam yang nyaris tak bisa ditembus—sebuah proses yang disebut pemadatan. Akar tak bisa menembus tanah padat; air tak bisa meresap ke dalam bumi, sehingga mengalir, mengakibatkan pengikisan. Dan karena pemadatan dapat terjadi jauh di dalam tanah, perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar dapat pulih seperti sediakala. Karena menyadari hal ini, perusahaan pembuat mesin pertanian menggunakan ban-ban raksasa di mesin mereka untuk menyebarkan impak. Dan petani menggunakan navigasi satelit untuk membatasi pergerakan kendaraan itu pada jalur tertentu, agar tanah yang lain tak terganggu. Namun, pemadatan jenis ini tetap merupakan masalah serius—setidaknya di negara-negara yang petaninya mampu membeli mesin panen seharga 3,6 miliar rupiah.

Malangnya, pemadatan hanyalah satu keping yang relatif kecil dalam mosaik masalah yang saling terkait yang memengaruhi tanah di seluruh penjuru bumi. Di negara-negara berkembang, tanah yang jauh lebih subur hilang akibat pengikisan dan penggurunan akibat perbuatan manusia, dan secara langsung memengaruhi kehidupan 250 juta jiwa manusia. Dalam kajian pertama—dan tetap yang paling lengkap—tentang penyalahgunaan tanah global, para ilmuwan di International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) di Belanda memperkirakan pada 1991 bahwa umat manusia telah mendegradasi hampir 20 juta kilometer persegi tanah kita. Dengan kata lain, spesies kita dengan cepat merusak kawasan seluas gabungan Amerika Serikat dan Kanada.

Defisit pangan yang terjadi tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas tanah dunia (lihat “Miskin Papa", halaman 108), telah menyebabkan kerusuhan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada 2030, ketika bayi-bayi saat ini sudah memiliki bayi, akan ada 8,3 miliar manusia yang menapaki muka bumi; untuk mencukupi pangannya, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan bahwa petani harus menanam biji-bijian hampir 30 persen lebih banyak daripada sekarang. Para pengamat keserampangan manusia akan melihat bahwa sementara manusia meningkatkan permintaannya terhadap tanah, kita malah merusaknya lebih cepat daripada sebelumnya. “Dalam jangka panjang, kita akan kehabisan tanah,” ujar David R. Montgomery, seorang geolog di University of Washington di Seattle.

Sayangnya, degradasi tanah adalah topik yang membosankan bagi banyak orang. Padahal, konsekuensinya—dan juga kesempatan—justru sangat besar, ujar Rattan Lal, ilmuwan tanah terkemuka di Ohio State University. Peneliti dan petani biasa di seluruh dunia menemukan bahwa tanah yang rusak pun bisa dipulihkan. Hasilnya, ujar Tal, adalah kesempatan bukan hanya untuk memberantas kelaparan namun juga memerangi masalah seperti kesulitan air dan bahkan pemanasan global. Bahkan, beberapa peneliti meyakini bahwa pemanasan global dapat dihambat secara signifikan dengan menggunakan cadangan karbon secara besar-besaran untuk merekayasa ulang lahan kritis dunia. “Stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan, dan kemiskinan memiliki akar yang sama,” ujar Lal. “Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, tanah.”!break!

Saat aku bertemu dengan Zhang Liubao di desanya di Tiongkok tengah musim gugur lalu, dia tengah menepuki ladang teras siringnya yang terkikis dengan sekop, agar dapat ditanami kembali—sesuatu yang dilakukannya setiap habis hujan selama lebih dari 40 tahun. Pada 1960-an, Zhang dikirimkan ke desa Dazhai, 320 kilometer di timur, untuk mempelajari Jalan Dazhai—suatu sistem pertanian yang dipercaya para pemimpin Tiongkok dapat mengubah bangsa. Di Dazhai, Zhang berkata dengan bangga kepadaku, “Tiongkok mengetahui segala hal tentang cara mengolah tanah." Hal yang benar, namun sayangnya tidak seperti yang dimaksud Zhang.

Dazhai merupakan anomali geologi yang disebut Dataran Tinggi Huangtu. Selamat berzaman-zaman, angin bertiup melintasi gurun pasir di sebelah barat, membawa pasir dan kerikil ke Tiongkok tengah. Ribuan tahun endapan debu menutupi kawasan itu dengan tumpukan lanau yang sangat banyak—loes (Huangtu), demikian para geolog menyebutnya—di beberapa tempat bahkan hingga ratusan meter tebalnya. Dataran Tinggi Huangtu kira-kira seluas gabungan Sumatra dan Jawa. Selama beberapa abad timbunan lanau hanyut ke Sungai Kuning—sebuah proses alami yang semakin parah, berkat Jalan Dazhai, hingga menjadi masalah pengikisan tanah yang dianggap terparah di dunia.

Setelah banjir melanda Dazhai pada 1963, sekretaris Partai Komunis setempat menolak bantuan pemerintah, alih-alih berjanji membuat desa baru yang lebih produktif. Panen melonjak, dan Beijing mengirimkan pengamat untuk mempelajari cara meniru metode Dazhai. Yang mereka lihat adalah para petani bersekop membuat teras pada seluruh lereng bukit-bukit loes, mencurahkan waktu istirahatnya untuk membaca buku merah kecil Mao Zedong yang berisi peribahasa revolusi. Terkesan oleh semangat mereka, Mao mengirimkan ribuan perwakilan desa ke pemukiman itu dengan bus, termasuk Zhang. Suasananya seperti pemujaan; suatu rombongan bahkan berjalan selama dua minggu hanya untuk melihat belulang di tangan pekerja Dazhai. Zhang terutama mempelajari bahwa Tiongkok memerlukan dirinya untuk menghasilkan padi-padian dari semua bidang tanah. Slogan, yang selalu mewarnai Tiongkok Maois, menjelaskan caranya: Ratakan Bukit, Uruk Jurang, Buat Dataran! Babat Hutan, Buka Belantara! Bertani, Belajarlah Dari Dazhai!

Zhang Liubao kembali dari Dazhai ke kampung halamannya di Zuitou dengan dipenuhi inspirasi. Zuitou demikian miskin, ujarnya kepada saya, sehingga orang hanya bisa makan enak cukup satu dua kali dalam setahun. Mengikuti petunjuk Zhang,  para petani menyebar, memotongi pohon-pohon kerdil di lereng bukit, memahat lereng menjadi teras-teras tanah, lalu menanam jawawut pada setiap permukaan datar baru yang diciptakan. Walaupun selalu kelaparan, mereka bekerja sepanjang hari, lalu kemudian menyalakan lampu dan terus bekerja pada malam hari. Akhirnya, ujar Zhang, mereka memperluas lahan pertanian Zuitou "sekitar seperlimanya"—hal besar bagi kawasan miskin.!break!

Sayangnya, dampak sebenarnya justru membuat lingkaran setan, demikian menurut Vaclav Smil, ahli geografi di University of Manitoba yang telah lama mempelajari lingkungan hidup Tiongkok. Pematang teras Zuitou, yang hanya terbuat dari lanau yang dipadatkan, terus-menerus runtuh, oleh karena itu Zhang perlu selalu menopang teras yang runtuh. Bahkan jika teras tidak tergerus sekalipun, air hujan menghanyutkan zat hara dan organik di dalam tanah. Setelah kenaikan awal, panen mulai menurun. Untuk mempertahankan hasil, petani membuka lahan dan membuat teras baru, yang kemudian terkikis juga.

Konsekuensinya berat. Hasil panen yang menurun pada tanah yang semakin gersang memaksa banyak petani pindah. Salah satunya karena sebab ini, Zuitou kemudian kehilangan setengah penduduknya. “Itu merupakan salah satu penyia-nyiaan tenaga kerja terbesar dalam sejarah,” ujar Smil. “Puluhan juta manusia siang malam mengerjakan proyek yang tampak bodohnya bagi anak kecil sekalipun. Menebang pohon dan menanam padi-padian di lereng yang curam—ide baik dari mana?”

Menanggapi hal tersebut, Republik Rakyat Tiongkok memulai rencana untuk menghentikan pembabatan hutan. Pada 1981 Beijing memerintahkan semua warga negara yang mampu dan berusia lebih dari 11 tahun untuk “menanam tiga hingga lima pohon per tahun” di mana pun yang mungkin. Beijing juga meluncurkan program ekologi yang mungkin terbesar di dunia hingga saat ini, proyek Tiga Utara: pepohonan sepanjang 4.500 kilometer yang berjajar seperti saringan panjang di sepanjang utara, timur laut, dan barat laut Tiongkok, termasuk perbatasan Dataran Tinggi Huangtu. Dijadwalkan selesai pada 2050, Tembok Hijau Tiongkok ini, secara teoretis, akan memperlambat angin yang menyebabkan penggurunan dan badai pasir.

Walaupun cakupannya luas, upaya ini tidak secara langsung menanggulangi degradasi tanah yang merupakan warisan Dazhai. Menentangnya terang-terangan itu sulit secara politis: Itu harus dilakukan tanpa mengakui kesalahan Mao. (Ketika saya menanyai pegawai dan ilmuwan setempat apakah “Sang Ketua” melakukan kesalahan, mereka mengalihkan topik pembicaraan.) Baru selama dasawarsa terakhir ini, Beijing mencanangkan arah baru: mengganti Jalan Dazhai dengan yang mungkin akan disebut sebagai Jalan Gaoxigou.!break!