Bumi Kita yang Subur

By , Selasa, 17 Maret 2009 | 14:30 WIB

Gaoxigou (Ngarai Gaoxi) terletak di barat Dazhai, di seberang Sungai Kuning. Penduduknya yang berjumlah 522 jiwa hidup di dalam yaodong—gua yang digali seperti sarang burung layang-layang di lereng terjal di sekitar desa. Dimulai pada 1953, saat para petani berbaris keluar dari Gaoxigou dan dengan upaya heroik membuat teras siring bukan hanya pada lereng gunung, namun seluruh pegunungan, memahatnya satu demi satu menjadi kue pengantin seratus tingkat, yang berlapis ladang jawawut, sorgum, dan jagung. Dalam pola yang nanti sangat dikenal, produksi naik sampai matahari dan hujan memanggang dan menghancurkan tanah pada teras yang telanjang itu. Untuk menampung loes yang tergerus, penduduk desa membangun bendungan tanah di sepanjang ngarai, dengan niat membuat ladang baru begitu ngarai tersebut penuh terisi lanau. Namun, karena hanya sedikit tumbuhan yang menghambat air, “setiap musim hujan dam-dam tersebut jebol,” ujar Fu Mingxing yang menjabat Kakanwil Departemen Pendidikan. Akhirnya, ujarnya, penduduk desa menyadari bahwa “mereka harus melindungi ekosistem, yang berarti melindungi tanah.”

Sekarang banyak teras Gaoxigou yang dengan susah payah dibuang loesnya kembali ke keadaannya yang alami. Dalam sistem yang disebut penduduk setempat sebagai sistem “tiga-tiga”, petani menanami ulang sepertiga tanah mereka—lereng yang paling curam dan rawan erosi-–dengan rumput dan pohon, penahan erosi alami. Mereka menggunakan sepertiga lainnya untuk kebun buah-buahan. Sepertiga terakhir, terutama bidang di dasar ngarai yang telah diperkaya oleh erosi sebelumnya, ditanami secara intensif. Dengan memusatkan persediaan pupuk mereka yang terbatas pada bagian itu, kaum petani mampu meningkatkan hasil panen untuk mengimbangi tanah yang mereka korbankan, ujar Jiang Liangbiao, kepala desa Gaoxigou.

Pada 1999 Beijing mengumumkan akan melaksanakan Jalan Gaoxigou di seluruh Dataran Tinggi Huangtu. Program Konversi Lahan Miring—dikenal sebagai “penghijauan lahan pertanian”—menyeru para petani agar mengubah lahan mereka yang paling curam kembali menjadi padang rumput, kebun buah-buahan, atau hutan, dan memberi mereka kompensasi berupa padi-padian dan sedikit uang sampai paling lama delapan tahun. Pada 2010 penghijauan lahan pertanian bisa mencapai lebih dari 210.000 kilometer persegi, sebagian besarnya berada di Dataran Tinggi Huangtu.

Namun, rencana besar yang dicanangkan di Beijing yang jauh itu sulit diejawantahkan di tempat seperti Zuitou. Pejabat desa, kabupaten, dan provinsi diberi imbalan jika mereka menanam pohon sesuai rencana, tanpa peduli apakah mereka memilih spesies yang cocok dengan kondisi setempat (atau mengindahkan para ilmuwan yang mengatakan bahwa pohon tidak cocok untuk tanaman di padang rumput sejak awal). Petani yang tidak memetik keuntungan dari pekerjaan itu tidak tergerak untuk memelihara pohon yang terpaksa mereka tanam. Saya melihat hasil yang sangat mudah diramalkan itu di jalan sepi dua jam di utara Gaoxigou: hamparan pohon mati, ditanam di lubang kecil berbentuk sisik ikan, di sisi jalan sepanjang beberapa kilometer. "Setiap tahun kami menanam pohon," ujar para petani, "namun tak ada yang hidup.”!break!

Beberapa petani di Dataran Tinggi Huangtu mengeluh bahwa almond yang wajib mereka tanam kini membanjiri pasar. Yang lain mengeluh bahwa rencana bagus Beijing dimanipulasi oleh pejabat lokal yang tidak membayarkan subsidi kepada petani. Yang lain tidak tahu mengapa mereka diminta berhenti menanam jawawut, atau bahkan arti “erosi” sekalipun. Walaupun Beijing telah mengeluarkan banyak perintah, masih banyak kalau tidak sebagian besar petani yang tetap bercocok tanam di lereng curam. Setelah berbincang dengan Zhang Liubao di Zuitou, saya melihat salah satu tetangganya mencabut lobak dari ladang yang demikian curam sehingga dia sulit berdiri tegak di sana. Setiap kali dia mencabut, tanah berguguran melewati kakinya ke bawah bukit.

Suatu saat pada 1970-an, “Sahel” menjadi semboyan bagi kelaparan, kemiskinan, dan kehancuran lingkungan hidup. Secara teknis, nama itu merujuk ke zona semiarid di antara gurun Sahara dan hutan basah Afrika tengah. Hingga 1950-an, Sahel hanya didiami segelintir orang. Namun ketika terjadi ledakan penduduk, orang mulai bercocok tanam di kawasan itu secara lebih intensif. Masalah teredam cukup lama berkat masa curah hujan tinggi yang tidak biasa. Namun kemudian kemarau tiba. Akibat terburuknya terjadi dalam dua gelombang—satu di awal 1970-an dan yang kedua, lebih parah lagi, pada awal 1980-an—dan membentang dari Mauritania di Atlantik hingga Cad di tengah benua Afrika. Lebih dari 100.000 pria, wanita, dan anak-anak, bahkan mungkin lebih banyak lagi, meninggal akibat kelaparan yang diakibatkannya.

“Jika punya modal untuk pindah, orang pasti pindah,” ujar Mathieu Ouédraogo, spesialis pembangunan di Burkina Faso, sebuah negara di tengah daratan yang berada di jantung Sahel. “Yang tertinggal di sini hanyalah orang yang tak punya apa-apa—tidak cukup untuk pergi.”

Para ilmuwan masih memperdebatkan penyebab Sahel berubah dari sabana menjadi lahan kritis. Beberapa teori menyatakan penyebabnya termasuk perubahan acak pada suhu permukaan laut, polusi udara yang mengakibatkan awan terbentuk terlalu cepat, pembabatan tumbuhan oleh petani yang pindah ke pinggiran gurun—dan tentu saja, pemanasan global. Apa pun penyebabnya, konsekuensinya jelas: Didera oleh terik matahari dan angin kencang, sebagian besar tanah berubah menjadi gumpalan sekeras baru yang tak tembus akar tanaman dan air hujan. Seorang petani Sahel pernah membiarkanku mencangkul ladang jawawutnya dengan beliung. Serasa mencacah aspal.!break!

Saat kekeringan mendera, berbagai kelompok bantuan internasional tumplak ke Sahel. (Ouédraogo, misalnya, memimpin proyek Oxfam untuk daerah Burkina tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.) Banyak yang masih berada di sana; setengah plang-plang di Niamey, ibu kota Niger yang bertetangga dengannya, berisi pengumuman program baru dari Persatuan Bangsa-Bangsa, pemerintah negara Barat, atau lembaga amal swasta. Salah satu yang terbesar adalah proyek Keita, yang didirikan 24 tahun lalu oleh pemerintah Italia di Niger tengah yang bergunung-gunung. Tujuannya: membuat 4.860 kilometer persegi tanah tandus yang rusak—kini ditinggali oleh 230.000 jiwa—menjadi sehat secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Para insinyur dan agronom Italia membangun 312 kilometer jalan melintasi lereng, menggali 684 sumur di tanah berbatu itu, mendirikan 52 sekolah desa, dan menanam lebih dari 18 juta pohon. Dengan buldoser dan traktor, pekerja menggali 41 bendungan di bukit untuk menampung air hujan musim panas. Untuk melubangi tanah yang akan ditanami pohon, seorang Italia bernama Venanzio Vallerani merancang dan membuat dua bajak besar—“raksasa” demikian gambaran yang disampaikan oleh Amadou Haya, seorang spesialis lingkungan di proyek itu. Pekerja menghela mesin-mesin itu ke bukit-bukit gundul, mengisi tangkinya dengan bahan bakar, lalu menghidupkannya. Menderu di dataran tinggi itu selama berbulan-bulan, mesin itu bisa membuat hingga 1.500 lubang per jam.

Pada suatu pagi Haya membawa kami ke waduk penampung air hujan di luar desa Koutki, sekitar 20 menit melalui jalan tanah yang tidak rata dari pusat proyek Keita. Airnya yang terbentang seperti oase seluas beberapa hektare terlihat sangat tenang; burung-burung terdengar ramai berkicau. Beberapa wanita merandai untuk mengisi jeriken plastik, sementara pakaian mereka yang cerah mengapung di sekitar mata kakinya. Dua puluh lima tahun lalu Koutki hanyalah pemain kecil dalam tragedi Sahel. Sebagian besar hewan peliharaan sudah mati atau dimakan. Tak terlihat tumbuhan hijau sedikit pun. Tak ada burung yang bernyanyi. Masyarakatnya bertahan hidup dengan sesuap nasi pemberian badan amal asing. Dalam perjalanan ke Koutki kami bertemu dengan mantan tentara yang ikut membagikan bantuan. Wajahnya membeku saat dia berbicara tentang anak-anak kelaparan yang dilihatnya. Sekarang ada barikade pohon untuk menahan angin, teras rendah untuk menanam pohon, serta barisan batu untuk menghambat aliran air hujan yang menggerus. Tanah di sekitar waduk masih kering dan gersang, namun masih bisa menjadi mata pencarian.

Dengan anggaran lebih dari 900 miliar rupiah, Keita merupakan proyek yang mahal—pendapatan per kapita Niger, rendah bahkan untuk ukuran Sahel, hanya 7,2 juta rupiah per tahun. Pendukung Keita dapat berargumen bahwa itu hanya dua pertiga harga jet tempur F-22. Namun, Sahel sangat luas—lebar Niger saja sekitar 1.500 kilometer. Reklamasi sebagian wilayah ini saja memerlukan uang yang sangat banyak jika dilakukan dengan metode Keita. Akibatnya, para pengkritik berpendapat bahwa upaya pemulihan tanah di lahan kering nyaris tak ada gunanya: lebih baik mengurusi lahan yang lebih menjanjikan.

Salah, kata Chris Reij, seorang ahli geografi di Vrije Universiteit Amsterdam. Setelah bekerja sama dengan mitra Sahel selama lebih dari 30 tahun, Reij kini percaya bahwa petani sendiri telah mengalahkan gurun di beberapa kawasan yang luas. “Ini adalah salah satu kisah keberhasilan ekologi terbesar di Afrika,” katanya, “sebuah contoh bagi tempat lain di dunia.” Namun hampir tak ada orang luar yang memperhatikan; jika tanah itu topik yang membosankan, tanah di Afrika merupakan topik yang membosankan kuadrat.!break!