Bumi Kita yang Subur

By , Selasa, 17 Maret 2009 | 14:30 WIB

Sombroek bertanya-tanya apakah petani modern dapat membuat terra preta sendiri—terra preta nova, demikian dia menyebutnya. Sama seperti revolusi hijau yang secara dramatis memperbaiki panen dunia berkembang, terra preta dapat menciptakan sesuatu yang disebut jurnal ilmiah Nature sebagai “revolusi hitam”, di sepanjang lengkungan tanah miskin dari Asia Tenggara hingga Afrika.

Kunci terra preta adalah arang yang dibuat dengan membakar tanaman dan sampah pada suhu rendah. Pada bulan Maret, sebuah tim peneliti yang dipimpin Christoph Steiner, yang saat itu bekerja di Universitas Bayreuth, melaporkan bahwa penambahan kepingan arang dan asap cair pada lahan kritis tropis yang umum dapat menghasilkan “kenaikan eksponensial” pada populasi mikrobe—memicu ekosistem bawah tanah yang penting bagi kesuburan. Tanah tropis kehilangan kandungan mikrobe dengan cepat ketika dijadikan lahan pertanian. Arang sepertinya menyediakan habitat bagi mikrobe—membuat tanah buatan di dalam tanah—sebagian karena zat hara jadi terikat ke arang, tak lagi dihanyutkan air. Pengujian yang dilakukan oleh tim AS-Brasil pada 2006 menemukan bahwa terra preta mengandung mikroorganisme yang jauh lebih banyak dan beragam daripada tanah tropis pada umumnya—tanah itu secara harfiah lebih hidup .

Revolusi hitam bahkan mungkin membantu memerangi pemanasan global. Pertanian menyumbang lebih dari seperdelapan gas rumah kaca produksi manusia. Tanah yang sering dibajak mengeluarkan karbon dioksida begitu bahan organik yang terkubur di dalamnya terpapar. Sombroek berpendapat bahwa pembuatan terra preta di seluruh dunia akan menggunakan banyak sekali arang yang kaya karbon sehingga dapat mengimbangi pelepasan karbon tanah ke atmosfer. Menurut  William I. Woods, seorang ahli geografi dan ilmu tanah di University of Kansas, terra preta yang kaya arang mengandung karbon 10 hingga 20 kali tanah tropis pada umumnya, dan karbon itu bisa dikuburkan lebih dalam. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa “jumlah karbon yang dapat kita masukkan ke dalam tanah mengejutkan,” ujar Woods. Tahun lalu ilmuwan tanah Johannes Lehmann dari Cornell University memperkirakan dalam Nature, bahwa dengan mengubah sisa-sisa dari hutan komersial, lahan pertanian yang tidak ditanami, serta tanaman tahunan menjadi arang, hal itu dapat mengompensasi sepertiga emisi bahan bakar fosil AS. Bahkan, Lehmann dan dua rekannya berpendapat bahwa penggunaan bahan bakar fosil oleh manusia di seluruh dunia dapat diimbangi dengan menyimpan karbon di terra preta nova.

Harapan seperti itu tak mudah dipenuhi. Mengidentifikasi organisme yang ada di terra preta tak mudah dilakukan. Dan tak seorang pun yang tahu pasti berapa banyak karbon yang dapat disimpan di dalam tanah—beberapa kajian menyatakan bahwa mungkin ada batasnya. Namun Woods percaya bahwa kemungkinan keberhasilan itu cukup besar. “Dunia akan mendengar lebih banyak tentang terra preta,” ujarnya.!break!

Saat berjalan sepanjang jalan pertanian yang menjadi tuan rumah Wisconsin Farm Technology Days, mudah bagi saya menebak apa yang membuat Jethro Tull khawatir. Bukan Jethro Tull band rock tahun 1970-an—tapi Jethro Tull pembaharu pertanian abad ke-18. Di bawah telapak kaki, tanah prairi ini telah digencet oleh traktor dan mesin panen menjadi permukaan aneh yang terasa seperti lantai karet tuang di tepi kolam renang. Ini adalah versi modern fenomena yang dicatat Tull: Ketika petani terus membajak jalur yang sama, tanah menjadi “padat seperti Jalan Tol oleh Kerbau yang menarik Garu.”

Tull tahu pemecahannya: Jangan membajak di jalur yang sama. Kenyataannya, petani semakin meninggalkan bajak sama sekali—sebuah sistem yang disebut pertanian tanpa bajak. Namun mesin-mesin lainnya terus tumbuh semakin besar dan berat. Di Eropa, pemadatan tanah diperkirakan memengaruhi 33 juta hektare lahan pertanian, dan seorang pakar memperkirakan penurunan hasil panen akibat pemadatan tanah itu merugikan petani Midwest sebesar 900 miliar rupiah setiap tahun.

Alasan utama bahwa pemadatan tetap merundung negara kaya itu sama dengan alasan yang membuat masalah degradasi tanah lain merundung negara miskin: Lembaga politik dan ekonomi tidak dibuat untuk memperhatikan tanah. Pejabat Tiongkok yang diberi imbalan karena menanam pohon tanpa peduli kelangsungan hidupnya tak jauh berbeda dengan petani di Midwest yang tetap menggunakan mesin panen raksasa karena tak dapat membayar pekerja untuk menjalankan beberapa mesin yang lebih kecil.

Di tepi jalan padat pertanian Wisconsin ada peragaan bajak yang ditarik kuda. Tanah yang melingkar dari mata bajak berwarna hitam, lembap, dan terang—bunga tanah Midwest yang sempurna. Fotografer Jim Richardson tiarap di tanah untuk memotretnya. Dia memintaku berjongkok dan memegang lampu. Tak lama kemudian kami dikerumuni sekelompok kecil orang yang heran. Seseorang menjelaskan bahwa kami sedang melihat tanah. “Buat apa mereka melakukan hal itu?” tanya seorang wanita dengan lantang. Di suaranya dapat kudengar pikirannya: membosankan.

Saat aku menceritakan kisah ini via telepon kepada David Montgomery, geolog di University of Washington, aku hampir dapat mendengar dia menggelengkan kepalanya. “Dengan adanya delapan miliar manusia, kita semua harus mulai tertarik pada tanah,” ujarnya. “Kita tak akan bisa memperlakukannya seperti kotoran lagi.”