Mencari Shangri-La

By , Selasa, 21 April 2009 | 15:20 WIB

Di dalam bisnis wisata wilayah barat China yang menggeliat, para turis bersuka cita mencoba membuat alat raksasa itu berputar. Dengan tinggi tidak kurang dari 15 meter dan garis tengah 7,5 meter, Roda Doa Kemenangan Beruntung menggambarkan kerja sama 56 kelompok etnik di China dalam semangat kesatuan yang sempurna pada pahatan roda. !break!

Tiga biksu berjubah merah marun yang pelontos dan kuat datang membantu. Para wisatawan itu telah mencoba mendorong roda doa berlawanan arah jarum jam—arah yang salah dalam Buddha Tibet. Para biksu mengubah energi mereka dan membuat roda berputar seperti gasing yang sangat besar.

Telepon genggam seseorang mengumandangkan lagu pop China. Seorang perempuan berbalut stoking nilon ungu pucat merogoh tas tangannya yang besar. Seorang pria yang pakaiannya setelan menjangkau mantel kulit hitamnya. Seorang anak perempuan bersepatu basket Converse kotak-kotak menggeledah ransel peraknya. Namun adalah seorang biksu yang menjauh dari roda dan menarik telepon genggam dari lipatan-lipatan jubahnya.

Ia berbicara dengan suara keras di telepon seraya melayangkan pandang melintasi kota yang ada di bawah. Ada Hotel Paradise di sana, hotel bintang lima yang megah dengan kolam renang dan replika plastik putih Gunung Kawagebo suci yang besar sekali. Di kota itu, membentang blok-blok rumah susun ke segala penjuru. Di sana, di depan lereng bukit yang jauh, ada Kuil Ganden Sumtseling abad ke-17 yang telah diperbaiki, bangunan versi lebih kecil dari Istana Potala di Lhasa, Tibet. Ganden Sumtseling bersinar dalam kabut asap-kayu laksana istana khayalan.

Selamat datang di Shangri-La.Satu dekade silam tempat ini adalah desa kecil tak terkenal di tepian Dataran Tinggi Tibet. Kini setelah perubahan radikal, tempat ini menjadi salah satu kota wisata paling menggairahkan dan menguntungkan di China. Kota inilah yang menjadi gerbang ke situs pusaka dunia Tiga Sungai Berbanjar di bagian barat laut Provinsi Yunnan.!break!

Sepuluh tahun silam desa yang asli menjadi kota hantu dengan bangunan-bangunan terlantar dan jalan-jalan berdebu yang sepi. Kebanyakan penduduk pindah dari rumah tradisional mereka—rumah petani yang luas dengan dinding batu dan balok-balok kayu mengagumkan—ke bangunan-bangunan lebih modern dengan sistem aliran air dan pembuangan. Tempat yang mereka tinggalkan terlihat seperti menerima ajalnya.

Pariwisata menyelamatkan tempat tersebut. Rumah-rumah petani Tibet tiba-tiba dilihat sebagai arsitektur yang unik, khas, dan dapat mendatangkan laba. Pembangunan kembali dimulai segera. Saluran air dan gorong-gorong ditanam di bawah gang-gang yang berliku. Kabel-kabel listrik dan Internet dipasang mengular. Rumah-rumah tua dibangun kembali dan diubah menjadi toko barang mewah. Toko-toko baru dibangun dalam gaya yang sama, tetapi dengan fasad gaya barok—penuh ukiran naga, angsa, dan harimau—untuk menarik wisatawan China. Mereka berhasil: lebih dari tiga juga wisatawan, hampir 90 persennya adalah orang China, mengunjungi Shangri-La tahun lalu.

Contohnya perempuan bercelana kulit hitam yang keluar dari mobil Hummer yang diparkir di halaman Kuil Sumtseling, menyerahkan dompet kecilnya ke seseorang, dan menaiki yak yang didandani dengan semarak dan disewakan oleh seorang Tibet yang berbusana tradisional lengkap dengan pedang. Teman-temannya menjepret foto-foto. Perempuan itu dengan mudah bisa menjadi seorang wisatawan yang menaiki kuda di Deadwood, Dakota Selatan, atau berdiri di samping seekor bison di Jackson Hole, Wyoming. Sama seperti budaya Amerika Asli telah menjadi barang dagangan di Barat Amerika, budaya Tibet telah dikomersialkan di bagian barat China. Di kota tua, toko-toko barang mahal menjual permata Tibet imitasi, aneka pisau dan bulu binatang—kulit anjing yang dicelup sehingga menyerupai kulit tutul jenis kucing—telah menggantikan ayam dan babi yang pernah menghuni lantai dasar rumah-rumah di Shangri-La.

Di roda doa raksasa para wisatawan dan biksu telah lelah memutar roda doa yang penuh hiasan dan pergi, ketika seorang wanita tua Buddha datang. Ia memakai celemek wol tradisional, tetapi sangat kotor, seolah-olah ia telah menempuh perjalanan sangat jauh dan melakukan banyak sujud sepanjang perziarahannya. Selendang kepala merah keunguan dijalin di rambut kelabunya yang dikepang. Ia mendaraskan 108 manik-manik doa seraya mengulang dalam bisikan gumaman mantra suci om mani padme hum, sebuah doa untuk belas kasih dan pencerahan. Wanita tua itu merengkuh kayu palang gelondong raksasa dan, mengerahkan seluruh tenaganya sebagai tindakan pengabdian, membuat roda berputar.!break!

Tidak seperti tempat-tempat lain dengan nama berbau mistis, seperti Timbuktu atau Machu Picchu, Shangri-La tidaklah pernah benar-benar ada sampai sekarang. Nama tersebut berasal dari novel James Hilton tahun 1933, Lost Horizon, kisah tentang orang-orang yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang dan menemukan jalan ke biara lama khayali bernama Shangri-La di tanah gersang Tibet. Dalam buku tentang biara lama yang ditemukan pada abad ke-18 oleh seorang misionaris Katolik bernama Perrault dan sekarang diurus oleh lama tinggi, Shangri-La terletak di kaki gunung yang disebut Karakal, gunung berbentuk piramida yang berbinar terang. Biara tersebut menjadi tempat tinggal 50 lebih biksu dari berbagai bangsa di seluruh dunia, semuanya terpekur dalam studi spiritual. Dengan begitu, biara itu menjadi gudang besar bagi kebajikan manusia, merangkul apa yang terbaik dari peradaban timur dan barat. Di tengah-tengah cerita novel, para pembaca menemukan bahwa lama tinggi itu tak lain adalah Perrault. Umurnya 200 tahun lebih, menjadi awet muda lantaran studi yang serius, tenggelam dalam kedamaian Shangri-La, dan terisolasi dari dunia modern tak berbudi yang terseret ke dalam malapetaka.

Dikatakan, Hilton dikatakan memperoleh inspirasi tentang Shangri-La sebagian dari tulisan-tulisan ahli botani nyentrik Joseph Rock yang kisah-kisah eksplorasi dan petualangannya di daerah terpencil Yunnan, Tibet, dan tempat lain muncul di National Geographic kurun 1922 hingga 1935. Rock yang cepat naik darah memimpin sejumlah ekspedisi dalam rangka mencari tetumbuhan eksotis dan aneka kebudayaan yang belum dikenal. Ia menulis tentang menyeberangi Sungai Mekong dengan getek, beberapa serangan penyamun, sejumlah ritual misterius dan beberapa pertemuan dengan para raja. Bakat Rock untuk berbahasa bunga pastilah memesona Hilton, penulis roman Inggris yang menulis 22 novel, termasuk Goodby, Mr. Chips.

Hilton juga mengambil dari sumber lain, salah satunya jauh lebih tua daripada tulisan Joseph Rock. Shangri-La kedengarannya seperti—dan hampir pasti adalah—penyamaran tipis untuk Shambhala, surga duniawi dalam Buddha Tibet di mana tidak ada perang dan penderitaan di sana, serta di mana orang-orang hidup dalam damai dan harmoni melalui meditasi dan disiplin diri. Dalam teks-teks Buddha, Shambhala dikatakan berada di balik Himalaya di kaki gunung kristal, para penduduknya tidak terpengaruh oleh suap dan ketamakan dunia luar. Bagi Hilton yang lahir pada 1900 dan menyaksikan kehancuran Perang Dunia I dan Depresi, legenda Timur yang memikat ini tentu memiliki daya tarik yang kuat. !break!

Ramulah imajinasi novelis dengan mitologi Tibet, tambahkan sepercik kisah Joseph Rock dan kerinduan akan dunia ideal dalam novel, maka Anda memperoleh resep bagus untuk Lost Horizon. Walau novel tersebut jarang dibaca sekarang, kata Shangri-La dan apa yang disimbolkannya—suatu tempat nun jauh di sana yang indah, pemenuhan spiritual, dan usia panjang yang gaib—telah lama menjadi bagian dari budaya pop dunia.