Mencari Shangri-La

By , Selasa, 21 April 2009 | 15:20 WIB

Di dalam bisnis wisata wilayah barat China yang menggeliat, para turis bersuka cita mencoba membuat alat raksasa itu berputar. Dengan tinggi tidak kurang dari 15 meter dan garis tengah 7,5 meter, Roda Doa Kemenangan Beruntung menggambarkan kerja sama 56 kelompok etnik di China dalam semangat kesatuan yang sempurna pada pahatan roda. !break!

Tiga biksu berjubah merah marun yang pelontos dan kuat datang membantu. Para wisatawan itu telah mencoba mendorong roda doa berlawanan arah jarum jam—arah yang salah dalam Buddha Tibet. Para biksu mengubah energi mereka dan membuat roda berputar seperti gasing yang sangat besar.

Telepon genggam seseorang mengumandangkan lagu pop China. Seorang perempuan berbalut stoking nilon ungu pucat merogoh tas tangannya yang besar. Seorang pria yang pakaiannya setelan menjangkau mantel kulit hitamnya. Seorang anak perempuan bersepatu basket Converse kotak-kotak menggeledah ransel peraknya. Namun adalah seorang biksu yang menjauh dari roda dan menarik telepon genggam dari lipatan-lipatan jubahnya.

Ia berbicara dengan suara keras di telepon seraya melayangkan pandang melintasi kota yang ada di bawah. Ada Hotel Paradise di sana, hotel bintang lima yang megah dengan kolam renang dan replika plastik putih Gunung Kawagebo suci yang besar sekali. Di kota itu, membentang blok-blok rumah susun ke segala penjuru. Di sana, di depan lereng bukit yang jauh, ada Kuil Ganden Sumtseling abad ke-17 yang telah diperbaiki, bangunan versi lebih kecil dari Istana Potala di Lhasa, Tibet. Ganden Sumtseling bersinar dalam kabut asap-kayu laksana istana khayalan.

Selamat datang di Shangri-La.Satu dekade silam tempat ini adalah desa kecil tak terkenal di tepian Dataran Tinggi Tibet. Kini setelah perubahan radikal, tempat ini menjadi salah satu kota wisata paling menggairahkan dan menguntungkan di China. Kota inilah yang menjadi gerbang ke situs pusaka dunia Tiga Sungai Berbanjar di bagian barat laut Provinsi Yunnan.!break!

Sepuluh tahun silam desa yang asli menjadi kota hantu dengan bangunan-bangunan terlantar dan jalan-jalan berdebu yang sepi. Kebanyakan penduduk pindah dari rumah tradisional mereka—rumah petani yang luas dengan dinding batu dan balok-balok kayu mengagumkan—ke bangunan-bangunan lebih modern dengan sistem aliran air dan pembuangan. Tempat yang mereka tinggalkan terlihat seperti menerima ajalnya.

Pariwisata menyelamatkan tempat tersebut. Rumah-rumah petani Tibet tiba-tiba dilihat sebagai arsitektur yang unik, khas, dan dapat mendatangkan laba. Pembangunan kembali dimulai segera. Saluran air dan gorong-gorong ditanam di bawah gang-gang yang berliku. Kabel-kabel listrik dan Internet dipasang mengular. Rumah-rumah tua dibangun kembali dan diubah menjadi toko barang mewah. Toko-toko baru dibangun dalam gaya yang sama, tetapi dengan fasad gaya barok—penuh ukiran naga, angsa, dan harimau—untuk menarik wisatawan China. Mereka berhasil: lebih dari tiga juga wisatawan, hampir 90 persennya adalah orang China, mengunjungi Shangri-La tahun lalu.

Contohnya perempuan bercelana kulit hitam yang keluar dari mobil Hummer yang diparkir di halaman Kuil Sumtseling, menyerahkan dompet kecilnya ke seseorang, dan menaiki yak yang didandani dengan semarak dan disewakan oleh seorang Tibet yang berbusana tradisional lengkap dengan pedang. Teman-temannya menjepret foto-foto. Perempuan itu dengan mudah bisa menjadi seorang wisatawan yang menaiki kuda di Deadwood, Dakota Selatan, atau berdiri di samping seekor bison di Jackson Hole, Wyoming. Sama seperti budaya Amerika Asli telah menjadi barang dagangan di Barat Amerika, budaya Tibet telah dikomersialkan di bagian barat China. Di kota tua, toko-toko barang mahal menjual permata Tibet imitasi, aneka pisau dan bulu binatang—kulit anjing yang dicelup sehingga menyerupai kulit tutul jenis kucing—telah menggantikan ayam dan babi yang pernah menghuni lantai dasar rumah-rumah di Shangri-La.

Di roda doa raksasa para wisatawan dan biksu telah lelah memutar roda doa yang penuh hiasan dan pergi, ketika seorang wanita tua Buddha datang. Ia memakai celemek wol tradisional, tetapi sangat kotor, seolah-olah ia telah menempuh perjalanan sangat jauh dan melakukan banyak sujud sepanjang perziarahannya. Selendang kepala merah keunguan dijalin di rambut kelabunya yang dikepang. Ia mendaraskan 108 manik-manik doa seraya mengulang dalam bisikan gumaman mantra suci om mani padme hum, sebuah doa untuk belas kasih dan pencerahan. Wanita tua itu merengkuh kayu palang gelondong raksasa dan, mengerahkan seluruh tenaganya sebagai tindakan pengabdian, membuat roda berputar.!break!

Tidak seperti tempat-tempat lain dengan nama berbau mistis, seperti Timbuktu atau Machu Picchu, Shangri-La tidaklah pernah benar-benar ada sampai sekarang. Nama tersebut berasal dari novel James Hilton tahun 1933, Lost Horizon, kisah tentang orang-orang yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang dan menemukan jalan ke biara lama khayali bernama Shangri-La di tanah gersang Tibet. Dalam buku tentang biara lama yang ditemukan pada abad ke-18 oleh seorang misionaris Katolik bernama Perrault dan sekarang diurus oleh lama tinggi, Shangri-La terletak di kaki gunung yang disebut Karakal, gunung berbentuk piramida yang berbinar terang. Biara tersebut menjadi tempat tinggal 50 lebih biksu dari berbagai bangsa di seluruh dunia, semuanya terpekur dalam studi spiritual. Dengan begitu, biara itu menjadi gudang besar bagi kebajikan manusia, merangkul apa yang terbaik dari peradaban timur dan barat. Di tengah-tengah cerita novel, para pembaca menemukan bahwa lama tinggi itu tak lain adalah Perrault. Umurnya 200 tahun lebih, menjadi awet muda lantaran studi yang serius, tenggelam dalam kedamaian Shangri-La, dan terisolasi dari dunia modern tak berbudi yang terseret ke dalam malapetaka.

Dikatakan, Hilton dikatakan memperoleh inspirasi tentang Shangri-La sebagian dari tulisan-tulisan ahli botani nyentrik Joseph Rock yang kisah-kisah eksplorasi dan petualangannya di daerah terpencil Yunnan, Tibet, dan tempat lain muncul di National Geographic kurun 1922 hingga 1935. Rock yang cepat naik darah memimpin sejumlah ekspedisi dalam rangka mencari tetumbuhan eksotis dan aneka kebudayaan yang belum dikenal. Ia menulis tentang menyeberangi Sungai Mekong dengan getek, beberapa serangan penyamun, sejumlah ritual misterius dan beberapa pertemuan dengan para raja. Bakat Rock untuk berbahasa bunga pastilah memesona Hilton, penulis roman Inggris yang menulis 22 novel, termasuk Goodby, Mr. Chips.

Hilton juga mengambil dari sumber lain, salah satunya jauh lebih tua daripada tulisan Joseph Rock. Shangri-La kedengarannya seperti—dan hampir pasti adalah—penyamaran tipis untuk Shambhala, surga duniawi dalam Buddha Tibet di mana tidak ada perang dan penderitaan di sana, serta di mana orang-orang hidup dalam damai dan harmoni melalui meditasi dan disiplin diri. Dalam teks-teks Buddha, Shambhala dikatakan berada di balik Himalaya di kaki gunung kristal, para penduduknya tidak terpengaruh oleh suap dan ketamakan dunia luar. Bagi Hilton yang lahir pada 1900 dan menyaksikan kehancuran Perang Dunia I dan Depresi, legenda Timur yang memikat ini tentu memiliki daya tarik yang kuat. !break!

Ramulah imajinasi novelis dengan mitologi Tibet, tambahkan sepercik kisah Joseph Rock dan kerinduan akan dunia ideal dalam novel, maka Anda memperoleh resep bagus untuk Lost Horizon. Walau novel tersebut jarang dibaca sekarang, kata Shangri-La dan apa yang disimbolkannya—suatu tempat nun jauh di sana yang indah, pemenuhan spiritual, dan usia panjang yang gaib—telah lama menjadi bagian dari budaya pop dunia.

Tentu saja masalah yang ada dengan buku itu adalah masalah yang ada dengan segala narasi khayali: novel itu menganggap enteng hal negatif tak kurang dari penderitaan umat manusia seperti rasa cemburu, nafsu, ketamakan, dan ambisi. Kesimpulannya, hal tersebut membuat buku dan tema yang menyatukannya, Shangri-La, kelihatan menyederhanakan--benar-benar bertolak belakang dengan kota Shangri-La modern, sebuah tempat yang mungkin tak bisa lebih rumit dan kacau lagi.

Dalam kehidupan sebelumnya, Shangri-La adalah Zhongdian, kota pada ketinggian 3.160 meter di atas permukaan laut yang terletak di jalur perdagangan nan ramai, tepat di bagian timur beberapa ngarai terdalam dan paling dramatis di dunia. Tiga sungai besar--Yangtze, Mekong, dan Salween dipisahkan oleh rangkaian pegunungan yang menjulang dan dikenal di daerah itu sebagai Jinsha, Lancang, dan Nu—ketiga sungai mengalir di timur Himalaya, kemudian berbelok ke selatan dalam formasi sejajar ketat sebelum mengalir ke arah berbeda. Inilah kawasan terpencil yang dijelajahi Rock pada 1920-an dan 30-an.

Namun banyak yang telah berubah setelah itu. Pembalakan komersial skala besar dimulai pada 1950-an. Jalan-jalan membelah pegunungan dan ribuan hektar hutan tua dipapas dari lereng-lereng curam. Pada pertengahan 1990-an, lebih dari 80 persen pendapatan wilayah tersebut berasal dari aktivitas perkayuan. Kemudian pada 1998, sebagian karena penebangan berlebihan di kawasan tangkapan air Jinsha, sungai meluap. Hampir 4.000 orang meninggal dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. Sebagai tanggapan, pemerintah China melarang semua pembalakan komersial di kawasan Tiga Sungai.!break!

Zhongdian yang dipaksa untuk merevisi perekonomiannya beralih ke pariwisata, bermodalkan arsitektur kota yang unik dan kedekatannya pada geografi yang dahsyat. Saat itu Zhongdian tidak punya bandar udara, dan perlu dua hari di jalan tidak rata untuk mencapai kota dari Kunming, kota utama terdekat. Bandar udara dibangun pada 1999, dan jalan ke Kota Kunming diselesaikan setahun kemudian. Pada 2001, pendapatan dari industri pariwisata telah melampaui apa yang pernah diperoleh dari pembalakan.

Di tahun yang sama itu, lewat lobi yang signifikan, para pejabat lokal yang pintar dan oportunis mendapat izin dari Beijing untuk mengubah nama kota dan kabupaten mereka dengan Shangri-La—sebuah gebrakan pemasaran, mengingat betapa banyak kota di Yunnan dan Sichuan berlomba memanfaatkan nama Shangri-La yang terkenal. Roda Doa Fortunate Victory didirikan tahun berikutnya, dan hotel-hotel serta toko-toko cinderamata mulai bermunculan seperti jamur matsutake yang mahal yang dipanen orang-orang Tibet di musim panas untuk diekspor ke Jepang.

Pencapaian tertinggi dalam menarik wisatawan terjadi tahun 2003 ketika PBB secara resmi mengakui keanekaragaman hayati yang luar biasa dari ngarai sungai di sana dan memilih kawasan Tiga Sungai Sejajar sebagai situs Pusaka Dunia. Dalam sekejab, Shangri-La menjadi daerah paling menggairahkan yang baru bagi para pelancong China yang hendak mendaki gunung dan menikmati pengalaman di alam liar.

Tiga sungai besar yang diasupi badai muson itu mengeruk ngarai-ngarai yang teramat dalam, seringkali melebihi 3.000 meter, dua kali kedalaman rata-rata Grand Canyon. Situs Pusaka Dunia itu juga mencakup lebih dari 100 puncak gunung di atas 5.000 meter. Karena sudut kecuraman yang dramatis, ekosistem di daerah itu dapat bervariasi dari subtropis ke ekosistem mirip arktika dalam rentang berkilo-kilometer. !break!

Digambarkan oleh PBB sebagai “episentrum keanekaragaman hayati China,” Tiga Sungai Sejajar memiliki lebih dari 6.000 spesies tumbuhan berpembuluh—lebih dari 200 jenis azalea, 300 spesies pohon kayu, dan sekitar 500 tumbuhan obat. Dengan keanekaragaman flora seperti itu, fauna pun jadi melimpah. Sedikitnya, ada 173 mamalia—termasuk spesies langka seperti macan dahan dan sero merah (Naemorhedus baileyi yang berkerabat dengan sero Sumatra)—di samping lebih dari 400 jenis burung. Topografi yang ekstrem juga menyebabkan keanekaragaman manusia. Dipisahkan oleh sunga-sungai yang tidak terseberangi dan pegunungan menjulang, berbagai kelompok etnik tunggal mengembangkan bahasa dan tradisi yang unik untuk lingkungan mereka sendiri. Tiga Sungai Sejajar sedikitnya punya selusin kelompok etnik, termasuk suku Tibet, Yi, Naxi, Lisu, dan Nu, terdiri dari kira-kira 300.000 jiwa.

Penyematan gelar situs Pusaka Dunia bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman lingkungan dan budaya yang tak tergantikan, maka adalah ironis bahwa piagam Tiga Sungai Sejajar tidak melindungi ketiga sungai itu sendiri. Salah satu alasannya adalah bahwa kebanyakan habitat alami di sepanjang ketiga sungai itu telah dipengaruhi permukiman manusia. Namun, mengecualikan ketiga sungai memiliki tujuan yang lain lagi: memenuhi kebutuhan China yang mendesak terhadap energi. Delapan puluh persen pasokan listrik negara China dipasok oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun batu bara adalah energi yang kotor dan polusi udara membahayakan kesehatan jutaan orang China. Pembangkit tenaga air yang sekarang menghasilkan 15 persen daya listrik China, mewakili alternatif yang nyata dan kontroversial. Selusin bendungan direncanakan untuk Jinsha, empat di antaranya sudah dalam pembangunan. Lancang telah memiliki tiga bendungan, dua lagi sedang dibangun, dan diusulkan hingga sembilan bendungan lagi. Hanya dua bendungan telah dibangun di Nu, tetapi porposal yang diusulkan pada 2003 menyebutkan 13 bendungan lagi. Cemas, para aktivis bekerja keras menyelamatkan sungai.

“Pembuatan bendungan-bendungan di Nu telah menjadi debat nasional di China,” kata Yu Xiaoang, pendiri Daerah Aliran Sungai Hijau. Sejauh ini Yu bersama dengan para jurnalis dan akademisi lingkungan telah ikut menghalangi pembangunan bendungan lebih lanjut di Nu dan mengurangi jumlah usulan bendungan ke depan, dari 13 menjadi empat. Namun mengingat membengkaknya kebutuhan energi China dan negara-negara sekitarnya—sebagian besar tenaga listrik ditujukan untuk diekspor—setidaknya beberapa usulan bendungan kemungkinan akan segera dibangun.!break!

Meski ngarai monumental terdekat gampang dijangkau dari berbagai hotel wisata di Shangri-La, hampir tidak satu pun keanekaragaman hayati dari kawasan Tiga Sungai Sejajar dapat dijumpai di dekat kota. Jika ada Shangri-La yang lain—sebuah tempat terasing dan damai yang mirip mite memikat dalam imajinasi kolektif kita—tempat itu pastilah berada di lokasi di mana Rock menemukan tempat brutal nan memperdaya yang diejawantahkan Hilton sebagai surga. Ke sanalah saya mencari Shangri-La yang lebih sejati.

Melintasi aliran salju di bawah deretan panji-panji doa yang berkelepak laksana cemeti, saya dan Rick Kent yang jadi rekan pendakian benar-benar tertiup keluar Celah Shu yang ketinggiannya 4.815 meter di atas permukaan laut, terlempar dari Provinsi Yunnan, melintasi perbatasan yang bebatuannya setajam pisau menuju Tibet. Kami menyeberang dari daerah aliran sungai (DAS) Lancang ke titik DAS Nu. Jarak lurus kedua sungai tersebut adalah 35 kilometer, tetapi lanskap di sini tak ada yang rata. Gunung Kawagebo, gunung tertinggi di Tiga Sungai Sejajar, menjulang hingga lebih dari 6.740 meter, puncaknya selama musim ini tertutup awan.

Dua hari pendakian di celah dimulai dari ketinggian 2.150 meter, di mana Lancang tampak luas dan cokelat lantaran lumpur dan perbukitan ditumbuhi kaktus—lembah tersebut begitu hangat sehingga para petani membudidayakan anggur. Setiap ketinggian 300 meter dari sungai terdapat zona ekologi baru: hutan pohon meranggas, dedaunannya yang menguning bertebaran di jalan setapak laksana perhiasan; hutan hijau tak kenal musim dengan daun lebar tegak dalam diam laksana bayangan; hutan pohon runjung iklim sedang dengan daun jarumnya yang panjang dan tajam berjalin di hamparan lumut; padang rumput pegunungan dengan ara-ara yang menyembul dari lapisan salju.

Di atas segalanya, Gunung Kawagebo tegak menjulang ke luar dari dekapan kabut laksana monster, puncaknya yang dipenuhi tumpukan salju setebal puluhan meter menjadi pertanda buruk. Tujuh belas pendaki asal Jepang dan China meninggal dalam longsoran salju di sana pada 1991. Gunung Kawagebo sekarang ditutup untuk pendakian, bukan karena bahaya melainkan untuk menghormati arti penting keagamannya. Kawagebo adalah salah satu puncak paling sakral dalam cerita rakyat Tibet. Setiap tahun ribuan peziarah Buddha mengelilingi gunung itu dengan berjalan kaki selama kora atau jalan melingkar yang berlangsung dua minggu dengan tujuan mencari penyucian dan dengan begitu memastikan reinkarnasi yang lebih baik. !break!

Tetapi zaman sedang berubah. Kita bisa mendengar sekelompok peziarah – semua remaja Tibet, nmenyanyi dan cekikikan – sebelum kami melihat mereka. Mereka melewati kami seperti rombongan sirkus. Tidak ada kesungguhan dan suasana muram bagi anak-anak ini, perziarahan adalah perayaan besar. Salah satu dari mereka menyetel MP3 player, suaranya begitu keras hingga dapat didengar dari luar headset pribadi.

Turun terus, jalan setapak menjadi begitu curam, sehingga jalurnya mulai dibuat berkelak-kelok setiap enam meter, jalan setapak yang kerap dilintasi itu menjadi berbentuk selokan sedalam setengah meter hingga ke bagian batuan lunaknya. Hamparan salju pun berganti dengan bebatuan, lalu menjadi hutan lebat. Sekilas, saya mengintip melalui lubang di jalinan lumut kelabu seolah-olah masuk ke dunia lain. Ratusan meter di bawah kami, terdesak di dalam lekukan lembah di samping hutan tua yang curam, ada lapangan kecil hijau nan berkilau—satu lagi pemandangan akan Shangri-La.

Perlu waktu berjam-jam untuk menuruni jalan setapak nan berliku itu untuk mencapai tempat yang indah. Seorang pria yang memangul tumpukan kayu sedang menunggu. Ia memandu jalan di bawah sebatang pohon kenari raksasa, turun melewati kawanan babi yang gugup dan kambing yang masa bodoh, melintasi pagar batu di sepanjang lapangan pohon jawawut kuning menyala ke sebuah rumah Tibet bercat putih yang mirip benteng. Di atas tempat landai yang kotor, kami menarik sabuk kulit, pintu kecil terbuka, dan kami melangkah ke abad 15. Seorang perempuan keriput dalam balutan kain kepala warna merah menyalami kami dengan kedua tangannya, menuang dua cangkir teh mentega yak yang mendidih, kemudian menghilang.

Skema lantai tempat itu khas tradisional Tibet. Di tengah adalah serambi besar yang terbuka, sinar mentari hangat menerobos ke dalam. Pagar kotak-kotak kayu—dipasang dengan bermacam tanaman herba—di lantai utama serambi pada lantai utama, menjaga anak-anak yang masih merangkak jatuh ke lantai dasar, di mana babi-babi dan anak-anak ayam hidup senang di lantai kotor. Di atas tangga takikan tangan adalah atap yang berupa lantai lumpur rata yang dari bagian tengahnya dijadikan serambi. Atap ditutupi dengan persediaan makanan dan pakan ternak: buah cemara ditumpuk seperti nanas, dua macam jagung, buah berangan ditebar di lembaran plastik, kenari di lembaran plastik lain, tiga macam cabe dalam berbagai tahap pengeringan, apel hijau dalam keranjang, berkarung-karung beras, dendeng babi yang dikeringkan dengan diangin-anginkan, bangkai yang kelihatannya seperti marmut.!break!

Kakek-nenek, orangtua, anak-anak, dan seorang paman semua tinggal di rumah petani. Semua punya tugas masing-masing: paman yang kurus kering membawa karung-karung jagung dan mengatur kembali sepatu kuda dalam tumpukan; ibu muda sambil menggendong bayi di punggungnya memasak dan menyiapkan makan malam; Bapak rumah itu perlahan menulis sesuatu di sebuah buku besar dalam tulisan Tibet yang gemetar. Perempuan tangguh yang menghidangkan kami teh adalah ibu dalam rumah itu. Ia menghalau babi-babi dengan ember dapur, menuang isinya lewat pagar, kemudian pergi ke luar untuk memerah beberapa sapi serta memberi makan sejumlah kuda dan mengaduk mentega yak. Melalui serangkaian gerakan mimik ia menjelaskan bahwa ia menderita sakit di belakang matanya dan meminta kami obat. Yang saya punya hanya ibuprofen.

Di malam hari, tempat ini gelap pekat dan di dalam rumah dingin membekukan. Suara mendecit yang hebat memecah keheningan. Si bapak memutar engkol logam yang terpasang di dinding, menggulung kabel. Ketika ia mengunci lengan engkol di tempatnya, bola-bola lampu TL yang berayun-ayun di seputaran rumah mulai bersinar. Kabel logam yang baru belakangan terlihat membentang ke sungai yang jaraknya 365 meter dari rumah petani. Di sana kabel itu ditempelkan pada peti berukir dari kayu gelondongan. Memutar engkol menarik kabel yang mengangkat peti, membuat aliran air sungai masuk ke dalam tong kayu besar. Terpasang di dasar tong adalah sebuah pipa plastik biru yang membawa air turun ke generator air tenaga air buatan China seukuran drum 19 liter.

Makan malam dihidangkan. Nasi dengan aneka lauk – lemak babi dalam saos bawang putih, daging yak dengan lada, tumis sayur-mayur, gelas-gelas anggur jawawut buatan sendiri yang membakar tenggorokan, apel-apel untuk pencuci mulut. Dan kemudian figur ayah membuka pintu kabinet berukir dan menyalakan televisi dengan remote control. Ada pertandingan sepak bola di TV yang tidak ingin ia lewatkan. Para perempuan di rumah tangga itu bangun beberapa jam sebelum fajar, mengambil air dan kayu, memerah susu dan memberi makan ternak. Ibu muda menuangkan kami teh mentega yak. Namanya Snaw. Ia memakai topi bisbol hitam berbordir tengkorak dan tulang menyilang, dengan mantel rombeng ungu csehingga terlihat tubuh kurusnya kelihatan, selendang bulu tiruan, jins ketat, dan sepatu kets hijau tentara China. Dengan bayi di satu tangan, ia menyusui bayi sambil memasukkan kayu api ke dalam tungku, memeriksa nasi, mengaduk teh mentega yak, melempar potongan-potongan kentang melewati pagar ke babi-babi, mencuci piring, menyortir lada, dan berbincang.!break!

Snaw 17 tahun usianya. Bayinya tiga bulan dan punya beberapa masalah kesehatan yang tak jelas. Ia mengatakan impiannya adalah meninggalkan tempat ini—yang dalam khayalan saya adalah Shangri-La—dan pergi ke kota Shangri-La yang nyata. Ia mendengar bahwa para perempuan seusianya pergi ke sekolah di sana dan berbelanja di hari Sabtu sambil berjalan bergandengan tangan di sepanjang mal.

Impian sebagian perempuan muda telah menjadi kenyataan. Yang Jifang, perempuan tinggi menarik yang berusia 22 tahun dari Naxi, lulus dari Eastern Tibet Training Institute (ETTI) di pusat kota Shangri-La. Di sana ia belajar bahasa Inggris dan komputer; ia sekarang bekerja sebagai pemandu di Khampa Caravan, biro perjalanan-petualangan. Ia punya apartemen sendiri dan pulang ke kampung halamannya setiap bulan, membawa uang dan obat untuk orangtuanya.

“Kehidupan orangtua saya di desa sangat keras,” katanya. “Tidak ada bisnis, hanya bertani.”

Institut pelatihan didirikan pada 2004 oleh Ben Hillman, profesor di Australian National University yang memiliki spesialisasi dalam bidang pengembangan di China bagian barat. Institut tersebut menyelenggarakan kursus intensif 16 minggu dan tinggal di asrama, sekolah kejuruan yang didanai penuh ini dirancang untuk membantu para siswa dari pedesaan melewati kesenjangan terhadap peluang kerja di perkotaan.!break!

“Kebudayaan adalah sesuatu yang secara tetap berkembang,” ujar Hillman, yang mengingatkan saya untuk tidak bersikap romantis terhadap Shangri-La lantaran eksotisme budayanya. Kami duduk di kafe Raven di kota tua, mendengarkan Bob Dylan dan minum bir Dali. Raven, sebuah toko reparasi sepatu yang dibangun kembali, merupakan semacam bar kopi modern yang Anda temukan di Kathmandu – kue wortel dalam menu, poster John Coltrane di dinding. dimiliki oleh seseorang dari Seattle AS dan rekannya dari London, bar dikelola oleh dua karyawan perempuan Tibet.

“Perkembangan ekonomi dapat kembali membangkitkan minat terhadap warisan budaya, yang tak dapat dihindari menjadi diinterpretasikan ulang,” kata Hillman. “Saya pikir kita tidak bisa menilai hal tersebut tanpa kembali pada elitisme seperti itu di mana masyarakat yang makmur dan sejahtera, yang dapat melancong ke bagian-bagian terpencil planet ini, ingin tetap menempatkan segala sesuatunya dalam taman budaya.”

Tantangan yang sesungguhnya bagi berbagai etnik minoritas Shangri-La, menurut Hillman adalah mengembangkan keterampilan demi dunia modern. “Mereka secara tradisional adalah petani-peternak, ahli dalam pertanian subsisten—menanam jawawut, memelihara yak dan babi. Tetapi ini bukanlah keterampilan yang dibutuhkan kebanyakan kaum muda saat ini.”

Para murid Hillman berasal dari berbagai etnik--Tibet, Bai, Lisu, Naxi, Han, Yi—tetapi kebanyakan datang dari keluarga petani miskin. Semua harus memohon kepada orangtua mereka agar diizinkan ke sekolah tersebut, sebuah tempat dengan kelas yang bersih, kamar asrama, dan dapur yang nyaman. Tak seorang pun berniat kembali pada kehidupan pertanian yang keras melelahkan. Institut pelatihan adalah semacam tempat yang diimpikan Snaw seraya memerah yak-yak di tengah badai salju yang membekukan.!break!

Sore hari, sejumlah lulusan institut tersebut duduk bersama di sofa di ruangan guru, begitu bersemangat menceritakan kisah-kisah yang hampir tak bisa mereka tahan. Yang terakhir bicara adalah Tashi Tsering, pria tinggi semampai penuh semangat, berusia 21 tahun dengan rambut hitam yang cukup panjang untuk menutupi wajahnya. Pemuda Tibet itu juga belajar bahasa Inggris dan keterampilan industri jasa di ETTI dan sekarang bekerja sebagai pemandu, membawa wisatawan ke kota-kota dan desa-desa Tibet yang sejauh Lhassa. Menyadari telah lepas dari kehidupan yang menjemukan, ia berharap teman-temannya di desa dapat memiliki peluang yang sama seperti yang ia nikmati. “Sekarang saya dapat memainkan peran penting di masa depan!” katanya.

Tsering menatap dengan bangga teman-teman sekelasnya yang juga telah lulus, kemudian keluar jendela di Shangri-La yang sibuk, derek-derek konstruksi berayun di atas rumah-rumah petani dari batu, taksi-taksi lalu lalang di sekeliling kereta kuda, hiasan-hiasan wisatawan dijual bersebelahan dengan potongan besar daging yak. Matanya mengikuti sebuah pesawat yang turun ke bandara Shangri-La.

Kita tidak dapat melihatnya dari sini, tetapi di tengah persimpangan pertama meninggalkan bandara berdiri sebuah stupa putih besar, monumen suci Tibet di mana orang-orang Buddha berjalan mengelilingi searah jarum jam, arah yang sama seperti putran roda doa. Tetapi mobil-mobil yang melintas di persimpangan harus memutari stupa berlawanan dengan jarum jam. Alhasil, tuntutan agama mereka membuat kaum perempuan harus tunduk di bawah muatan besar tangkai-tangkai jagung, menuju ke rumah untuk memberi makan babi-babi mereka, dan kaum pria menggembalakan yak-yak yang mereka miliki selama berabad-abad, berjalan lurus menuju jalan-jalan bus para wisatawan yang datang dari arah berlawanan. Ada pertentangan-pertentangan, tetapi betapa pun ada hasilnya.